Cerpen Wening Niki Yuntari
Aku kembali ke kampung halaman; sebuah kampung kecil di sudut pulau Kalimantan. Tempat yang sudah lebih dari lima tahun tak kujejaki. Kata rindu sepertinya tak bisa menggambarkan betapa besar keinginan untuk segera sampai di sana. Rasanya ingin cepat-cepat bertemu bapak, ibu dan kelima adikku—memeluk dan meresapi berbagai perubahan yang tercipta dalam rentang waktu yang cukup lama.
Dalam bus yang sekarang sedang berhenti di terminal, bersautan kenangan-kenangan selama lima tahun terakhir. Tentang betapa inginnya diriku menjadi seorang guru, dan membangun kembali pendidikan di tanah kelahiranku. Jantungku berdetak lebih keras bila mengingat masa-masa itu. Waktu aku masih bermimpi tinggi untuk menjadi seseorang yang bisa bermanfaat bagi orang-orang di sekelilingku, seperti kata guru mengaji sewaktu kecil, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”
Aku ingat betul perjuangan ketiga adikku untuk sampai ke sekolah. Sama sepertiku, mereka harus bangun subuh, salat, mandi, sarapan, lalu berangkat saat langit masih gelap. Jarak sekolah yang jauh, memaksa kami menjadi lebih rajin dan tak suka mengeluh. Tak boleh ada rasa malas, tak boleh ada kata lelah. Jauhnya sekolah dari rumah, memang jadi penghambat, tetapi selalu berubah menjadi penyemangat. Nasib si bungsu tidak boleh sama seperti kakak-kakaknya. Pun dengan anak-anak lain di sana. Mereka harus mendapat pendidikan yang dekat dan layak.
- Iklan -
“Ada yang berkelahi!”
Seseorang yang duduk di kursi pada deret kiri tiba-tiba berteriak sambil menunjuk ke arah jendela tempatku duduk. Seluruh mata seketika memandang jauh ke luar. Seorang anak laki-laki kecil tampak begitu kesakitan saat tinju pria dewasa menghantam rahangnya. Kedua tangan kecilnya sibuk melindungi kepala. Bibirnya terus mengucapkan sesuatu yang tak dapat kudengar. Orang-orang di sekitarnya hanya menonton pemandangan itu penuh iba, tapi tidak jua melerai mereka.
Pukulan demi pukulan terus dilancarkan, hingga diakhiri dengan sebuah tendangan tepat di perut anak itu. Pria itu pergi begitu saja, seolah perlakuannya itu adalah sesuatu yang wajar. Orang-orang yang tadinya menonton, sibuk mengerumuni anak itu dan membawanya pergi. Mungkin lelaki kecil itu dibawa ke rumah sakit. Sekali lihat dari jarak jauh saja aku tahu, bahwa keadaannya cukup parah. Bisa jadi tulangnya ada yang patah.
Aku membenarkan posisi dudukku agar nyaman. Kejadian barusan mengingatkanku pada pengalaman mengajar di sebuah sekolah dasar di kota pelajar. Pengalaman itu awalnya membuatku sangat bersemangat untuk menjadi guru terbaik yang dapat membimbing anak-anak menjadi lebih baik. Namun, tak semudah itu. Ada berbagai hal yang membuatku kembali merenungkan diri. Apakah aku bisa menjadi guru yang baik untuk murid-muridku kelak? Apakah keputusanku untuk pulang ini sekaligus memulangkan pula mimpiku untuk menjadi guru?
Ingatanku kembali berputar pada satu hari yang membuatku menjadi sedih sekaligus rindu. Kata orang, menjadi guru sekolah dasar adalah hal mudah. Padahal, nyatanya tidak segampang kelihatannya. Ada banyak hal yang membutuhkan perhatian tinggi. Apalagi anak-anak zaman sekarang sangat bebas dan tidak terduga. Proses pendekatan dan cara mengajarnya tak serupa dengan zaman sebelumnya. Bila luput sedikit saja, maka hancurlah semua.
Kupakai tangan kananku untuk menopang dagu. Sungguh, suasana hatiku mendadak sendu mengingat hal itu.
***
“Angga, tolong hapus papan tulisnya.”
“Sarah saja, Bu. Sana, Sar kamu kan piket,” celetuk Angga.
“Iya. Kamu belum piket kan tadi pagi? Seenaknya saja,” sahut Mawar dengan bibir cemberut kesal.
Kelas menjadi ribut, saling melempar tanggung jawab. Kepalaku yang sedang pusing menjadi lebih pening. Karena tak mempunyai tenaga lebih untuk berteriak, kuketukkan penghapus di meja dengan kencang. Aku mencoba sabar dengan tingkah anak-anak kelas tiga yang baru kupegang selama dua bulan itu.
Aku kembali meminta petugas piket untuk menghapus papan tulis. Akan tetapi, tak seorang pun maju, justru menunjuk Sarah yang duduk menunduk di bangku pojok paling belakang. Anak itu seperti orang yang takut menatap masa depan, seolah di bahunya dicengkeram pengalaman yang menyakitkan sehingga membuatnya enggan melangkah.
“Sarah, tolong hapus papan tulisnya, ya.”
Anak itu maju dengan perlahan ke depan. Sewaktu mengambil penghapus di meja guru, kulihat ada yang berbeda darinya. Ia tampak pucat dan tidak gembira. Kupegang tangan kecilnya yang tampak ringkih. Astaga, matanya tampak layu dan sedikit merah, menyiratkan kelelahan dan kesedihan yang luar biasa.
“Kamu kenapa, Sar?”
“Ti… tidak apa-apa, Bu.”
“Yakin? Kamu pucat sekali.”
“Tidak apa-apa, Bu. Sarah hanya… belum sarapan.”
“Ya sudah. Kamu kembali ke tempat dudukmu saja. Istirahat pertama sebentar lagi. Nanti jajan nasi ya,” kataku sambil mengecek suhu tubuhnya menggunakan punggung tangan, “Angga, tolong hapus papan tulisnya.”
“Kok jadi Angga sih, Bu? Kan Sarah yang belum piket!”
“Temanmu sakit, Ngga. Kamu tega membiarkan temanmu yang sakit menghapus papan tulis?”
“Tidak, Bu. Itu kan salah Sarah sendiri, tadi pagi belum piket!”
Kuembuskan napas, mencoba sabar. Menghadapi anak-anak memang tidak mudah.
“Angga, sekarang ibu bertanya padamu. Kalau kamu sedang sakit, tapi belum piket seperti Sarah, apakah kamu mau tetap mau menghapus papan tulis?”
“Aku pasti piket, Bu. Pasti! Aku ketua kelas. Sudah pasti aku akan memberi contoh dan menjalankan tugasku dengan baik.”
Rasanya kesabaranku sudah berada diambang batas. Sedikit lagi, kemarahanku akan meledak. Namun, aku tetap mencoba sabar dan kembali mengingatkan diri, bahwa yang kuhadapi sekarang adalah anak kelas tiga sekolah dasar. Anak kecil yang belum memahami dengan benar tentang konsep simpati dan empati. Membayangkan itu, bahuku kembali melemas. Tugasku bertambah satu lagi.
Kulihat dari ekor mata, Sarah berdiri menunduk takut. Ia mainkan jemarinya di depan perut. Bahunya bergetar, anak itu menangis dalam diam.
“Ada yang bersedia menghapus papan tulisnya?”
Kelas mendadak menjadi hening. Seluruh siswa saling lirik. Bila diperhatikan lebih saksama, akan lebih tepat bila disebut bahwa mereka melirik Angga, menunggu komando sang ketua kelas. Sedangkan yang dilirik, memandang dengan tegas ke depan, seolah tak terpengaruh. Sekali lihat saja aku tahu kalau anak itu mempunyai ‘peran’ penting di kelas ini.
Sejak awal mengajar, aku perhatikan Angga memang sangat mendominasi. Namun, tidak kusangka bila pengaruhnya sebesar ini. Bahkan hanya untuk perkara sepele seperti ini, semua menunggunya mengetuk palu.
“Pokoknya, ini tanggung jawab Sarah, Bu. Ibu bilang kita harus menjalankan kewajiban. Tapi kenapa Sarah tidak? Kenapa sikap ibu berbeda?” tanya Angga penuh tuntutan.
Aku kembali mengembuskan napas, menahan pusing yang kian menjadi. Lebih baik diriku mengalah saja lalu menghapus papan tulis sendiri. Sekarang sudah hampir bel istirahat. Tak kusangka, ternyata waktu berdiskusi tentang ‘siapa yang harus menghapus papan tulis’ membutuhkan waktu selama ini.
“Sekarang lanjutkan diskusi kalian. Sebentar lagi bel. Diskusi kalian harus selesai sebelum bel. Setelah istirahat kita bahas hasil diskusi kelompok kalian,” kataku lalu menghapus papan tulis.
***
“Bu Nisa! Bu!”
Aku yang baru saja membaringkan tubuh di UKS untuk beristirahat sejenak meredakan pusing, mendengar teriakan panik salah seorang siswa. Seketika aku terbangun dan bergegas menuju ke arah suara. Kudapati Nadia sedang membungkuk, sambil memegangi lutut mengatur nafas. Ia tampak begitu panik dan terengah-engah.
“Bu Nisa… bu!”
“Iya, kenapa, Nadia?”
“Itu, Bu… mereka… di… di kelas… berkelahi,” katanya patah-patah.
Aku langsung berlari ketika sudah bisa menerka permasalahan yang membuat Nadia tergagap seperti itu. Kelas tiga terletak di ujung sebelah utara, tapi dapat kulihat siswa-siswi sudah berjubel ingin melihat kejadian di dalamnya. Suara teriakan mulai terdengar cukup jelas. Firasat buruk mulai merayap dalam benakku.
Setelah kejadian lempar tanggung jawab menghapus papan tulis tadi, kelas memang menjadi lebih tenang. Namun, bukan tenang seperti yang aku harapkan. Suasana menjadi lebih tegang dan penuh ancaman. Sayangnya, aku tak tahu pasti penyebabnya. Mengingat hal itu, semakin kupercepat lariku.
Sesampainya di kelas, kejadiannya ternyata tak sesederhana yang kubayangkan. Sarah ditendang perutnya oleh Angga, sedangkan tiga temannya yang lain memegangi tangan dan kaki Sarah. Kelas menjadi sangat berantakan, buku-buku pelajaran berjatuhan di lantai. Bahkan buku dan vas bunga yang ada di meja guru.
“Angga! Dimas, Mawar, Nana! Hentikan! Apa yang kalian lakukan?”
Aku mencoba melerai mereka. Dengan paksa kulepaskan pegangan anak-anak itu dari Sarah yang penampilannya sudah berantakan. Wajah anak perempuan itu sudah merah, peluh membanjiri tubuhnya, dan darah menetes dari dahinya. Anak itu sesekali merintih kesakitan dan memegangi perutnya.
“Nadia, tolong panggilkan Pak Doni dan Bu Fatma ke sini.”
Kubaringkan tubuh Sarah di lantai dan memeriksa dengan saksama luka di tubuhnya. Di dahinya ada luka lecet kecil yang membuat darah malu-malu mengalir. Selain itu, belum kutemukan luka terbuka lainnya. Aku hanya dapat berharap bahwa luka anak itu hanya sebatas ini saja dan tidak lebih parah lagi.
Sesaat kemudian, kulihat Pak Doni, Bu Fatma, dan beberapa guru yang lain datang. Kuminta Pak Doni agar menyiapkan mobilnya untuk membawa Sarah ke puskesmas terdekat. Sedangkan Bu Fatma kumintai tolong membopong Sarah menuju mobil.
“Bu, saya minta tolong untuk mengurus mereka dulu ya,” pintaku pada guru lain sambil menunjuk murid-murid yang berkerumun. Mereka mengangguk. Dari raut wajah mereka, dapat kulihat iba di sana. Entah iba pada Sarah atau padaku, guru honorer fresh graduate yang baru mengajar dua bulan, harus menghadapi situasi seburuk ini.
Sesampainya di puskesmas, Sarah langsung ditangani dokter. Bu Fatma dan Pak Doni tak berhenti menenangkanku. Kugigiti kuku jariku yang sudah pendek. Aku takut sekali bila terjadi apa-apa padanya. Anak itu adalah tanggung jawabku. Bila sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, sudah pasti rasa bersalah akan menghantuiku seumur hidup.
Tak lama setelahnya, dokter mengatakan bahwa tidak ada luka serius di tubuh Sarah, hanya memar karena tendangan di bagian perut. Aku menahan tangis saat melihat anak itu terbaring lemah. Karena kelalaianku, anak ini luka-luka dan kemungkinan akan mengalami trauma seumur hidupnya.
Setelah urusan puskesmas selesai, kami mengantar Sarah pulang. Rumahnya tampak sejuk dengan berbagai pepohonan dan bunga di halaman. Saat kami datang, di rumah hanya ada seorang asisten rumah tangga. Ketika aku bertanya tentang orang tua Sarah, jawabannya cukup mengagetkanku.
“Ayah Dik Sarah… di rumah sakit jiwa, Bu. Beliau terpukul karena tidak mendapat banyak suara saat pemilu beberapa bulan yang lalu. Padahal kami sama-sama tahu kalau modal yang dikeluarkan beliau tidak sedikit,” wanita paruh baya itu berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “Dik Sarah jadi sering marah-marah. Suka banting-banting barang, Bu. Saya sampai bingung bagaimana menanganinya.”
Kami terhenyak, sangat terkejut dengan hal itu. Pada titik inilah aku menyadari bahwa pengetahuan tentang anak didikku nol besar. Latar belakang mereka tak kuketahui dengan baik. Padahal hal itulah yang harusnya menjadi pertimbanganku untuk menetukan cara menangani masing-masing anak.
“Lalu ibunya di mana, Bu?”
“Ibunya sudah meninggal karena sakit. Mungkin sekitar setahun lalu.”
Pernyataan itu membuatku menelan ludah. Sudah tentu semua kesalahan ini ada padaku. Guru macam apa yang tidak tahu apa-apa tentang muridnya?
***
“Kenapa kalian melakukan semua ini, Nak? Angga, Dimas, Mawar, Nana, tolong jawab pertanyaan Ibu,” tanyaku lembut, nyaris putus asa. Sudah enam kali bertanya selama hampir sepuluh menit kami duduk di perpustakaan, tak satu pun jawab kudapatkan.
Gigi Angga bergemeletak seperti menahan marah. Matanya menatap tajam ke arah jendela. Raut wajahnya keras, menafikan segala hal yang diperbuatnya hari ini. Tiga orang lainnya, hanya menunduk merasa bersalah, tapi takut untuk buka suara.
Angga adalah anak yang cerdas. Ia mudah memahami materi dan bisa memecahkan berbagai soal dengan cepat dan tepat. Anak itu cukup sopan, keras, dan tegas. Bila merasa prinsipnya disenggol orang lain, ia tak akan tinggal diam. Namun, kejadian tadi pagi sepertinya terlalu sepele untuk menjadikan masalah sebesar ini. Pasti ada penyebab lain yang membuat anak itu menjadi hilang kendali. “Sekarang Angga bisa keluar dulu, Nak? Ibu ingin bicara dengan temanmu yang lain.”
Tanpa banyak komentar, dia melenggang keluar begitu saja. Di dalam perpustakaan tersisa aku dan ketiga anak didikku. Langsung saja aku tembak mereka dengan pertanyaan yang sudah tidak sabar menunggu jawaban.
“Sejak ayah Sarah gila, kami tidak mau berteman dengan dia, Bu. Kami tidak mau berteman dengan anak orang gila.”
“Kenapa begitu? Ingat, Sarah dan ayahnya berbeda. Sarah adalah anak yang sehat.”
“Tapi Sarah suka mengata-ngatai kami, Bu. Dia pernah bilang tasku jelek. Mengatai Nadia tidak cantik. Bahkan dia pernah mengatai Angga tidak punya orang tua karena Angga nakal, makanya orang tuanya tidak sayang lagi padanya dan meninggalkannya.”
“Dia juga tidak pernah piket, Bu. Datangnya selalu terlambat. Kan kami jadi kerepotan!”
“Apakah itu yang membuat kalian mengganggu Sarah hingga terluka seperti itu?”
“Ah, ibu tidak tahu sih. Sebelum Ibu mengajar kami, Sarah pernah melempar penghapus ke Diana, sampai dia pindah sekolah.”
“Kami tidak mau berteman dengan orang seperti itu, Bu. Dia jahat sekali pada kami. Sepertinya dia memang sudah gila. Sekarang, teman-teman di kelas tidak ada yang mau jadi temannya.”
Pusing kepalaku yang tadi sempat hilang karena panik dengan keadaan Sarah, kembali datang ketika mendengar penuturan mereka. Jawaban mereka sangat di luar dugaan. Selama ini ternyata ada kasus perundungan di kelasku dan bodohnya itu tak tercium sama sekali.
Setelah merasa cukup dengan penjelasan ketiga anak itu, aku memanggil Angga.
Dia masih tetap dengan wajah kerasnya.
“Angga baik-baik saja? Ibu tidak akan marah. Ibu hanya ingin bertanya sedikit,” tanyaku lembut, agar tidak memancing emosinya.
Anak itu mengangguk kecil sambil memainkan tangannya. Aku tersenyum.
“Ta….”
“Sarah yang mulai dulu, Bu! Saat istirahat tadi, dia bilang kalau aku anak buangan. Aku tidak suka ada yang bilang begitu. Ayah ibuku menyayangiku. Dia tidak tahu apa-apa tapi selalu berkata yang tidak-tidak. Aku membencinya, Bu Nisa.”
“Tapi tadi Sarah terlihat lemas dan pucat, Ngga.”
“Dia itu suka berpura-pura, Bu. Apalagi kalau ada orang dewasa. Setelah ibu keluar kelas saja, dia berteriak seperti itu padaku. Aku marah dong!”
Aku menelan ludah, merasa begitu polos. Segera aku melupakan itu dan mencoba menenangkan Angga yang sedang berapi-api.
“Angga, sebaiknya buktikan kalau ucapan Sarah tidak benar dengan tindakan yang lebih terpuji. Misalnya, dengan cara mendapatkan nilai yang bagus. Itu bisa membuktikan bahwa kamu bisa berhasil berkat doa ayah dan ibu yang menyayangi kamu. Ingat, bahwa Allah paling benci dengan orang yang bermusuhan dan suka bertengkar. Kamu mau dibenci Allah?”
Anak itu hanya menunduk, tak merespons. Ternyata kejadiannya tidak sesederhana yang kuperkirakan. Perundungan yang selama ini hanya aku lihat di televisi, nyatanya memang ada. Sarah yang awalnya merundung, berakhir dirisak oleh temannya. Mungkin saja masalah di rumah memicunya untuk melakukan hal yang membuatnya dimusuhi teman satu kelas. Satu yang pasti, hukum karma itu nyata.
***
Permasalahan tadi pagi, tidak selesai begitu saja. Ketika jam dinding sudah menunjukan pukul dua, tiba-tiba saja seorang perempuan yang berpenampilan begitu modis, datang mengetuk kantor guru. Wanita itu adalah kerabat Sarah. Dia tidak terima dengan kejadian yang menimpa keponakannya.
“Saya tidak terima keponakan saya dikeroyok seperti ini. Ini adalah bukti kalau sekolah ini lalai! Sekalipun kejadiannya sewaktu istirahat, guru tetap harus memantau dong!”
Sekarang, di ruang kepala sekolah, aku, ibu kepala sekolah, Sarah, dan tantenya mendiskusikan keputusan terbaik. Aku hanya diam dan pasrah, menyadari bahwa kejadian tadi pagi adalah kesalahanku yang tidak mengenali anak didik sendiri.
“Pokoknya, saya ingin sekolah bertanggung jawab. Kalau besok-besok ada kejadian seperti ini lagi bagaimana? Sekolah tidak mau tanggung jawab lagi?” tuntutnya dengan nada tinggi.
“Saya akan bertanggung jawab dengan semua kejadian hari ini, Bu. Saya akui bahwa telah lalai dalam mendidik dan mengajar mereka. Sebagai wujud tanggung jawab, saya akan berhenti mengajar di sekolah ini,” ujarku dengan tegas sambil menguatkan hati.
***
Suara mesin bus yang kembali menyala menyadarkanku dari lamunan. Kejadian yang berakhir secara kekeluargaan itu membawa berbagai pengalaman untukku. Guru tidak hanya sekadar mengajar, tetapi juga memahami siswanya. Setiap anak memiliki latar belakang dan masalahnya masing-masing. Tak adil rasanya bila menyamakan perlakuan terhadap mereka.
Setelah direnungkan lagi, mungkin saja kejadian itu adalah peringatan dari Allah agar aku mengingat tujuan awal kuliah keguruan. Aku ingin menjadi guru, tetapi bukan di kota besar seperti tempatku mengajar dulu. Di sana sudah berlimpah tenaga pendidik. Tingkat pembangunan manusianya juga sudah bagus. Berbeda sekali dengan guru di kampungku yang masih perlu dorongan untuk maju. Jangankan untuk mendapatkan pendidikan terbaik, anak-anak tetap semangat sekolah di tengah segala keterbatasan saja sudah patut diacungi jempol.
Ada banyak orang yang ingin menjadi guru di kota-kota besar dan sekolah favorit yang memiliki piranti penunjang yang lengkap. Namun, tidak banyak yang tertarik mengajar di pelosok yang tak tersentuh teknologi atau transportasi modern seperti kampungku. Indonesia tak sebatas Jakarta, Jogja, atau Surabaya. Kalau bukan aku yang mengabdi di pelosok negeri, lalu siapa lagi?
Sebuah senyuman terbit di bibirku ketika menemukan pemahaman baru. Muara semua keruwetan di sekolah waktu itu adalah kata pulang. Pulang dan mengabdi, seperti janji di awal yang selalu kusebut-sebut sekaligus menjadi pecut ketika semangatku menyusut.
Perjalananku sebagai pendidik bukannya berhenti, tetapi baru saja dimulai. ***
*Wening Niki Yuntari lahir dan tinggal di Yogyakarta. Bisa dihubungi melalui email: nikiyuntari@yahoo.com