Oleh: Slamet Makhsun*
Sepeninggal KH Bisyri Syansuri—Rais ‘Aam Nahdlatul Ulama—pada tahun 1980, sampai dengan usainya Munas ‘Alim Ulama Situbondo (1983), Nahdlatul Ulama (NU) benar-benar dalam kekacauan yang parah. Saat itu adalah ketika NU mengalami kekosongan pemimpin. Para tokoh besarnya, banyak yang terlibat dalam intrik politik mereka sendiri. Jamaah NU pun lalu berdiaspora menjadi banyak kelompok, yang masing-masing memiliki panutannya sendiri.
Secara umum, kala itu, setidaknya NU terbagi menjadi dua kelompok besar. Pertama, mereka yang menunda pengisian pemimpin sampai datangnya muktamar yang akan datang. Kelompok ini terdiri dari para politisi. Mereka berpegang teguh pada AD/ART, sehingga jika memang ingin disegerakan adanya pemimpin baru, maka tinggal mengukuhkan Wakil Rais ‘Aam (KH Dr. Anwar Musaddad).
Kedua, kelompok yang menginginkan agar segera dipilih pemimpin baru. Kebanyakan, kelompok ini terdiri dari para kyai. Asumsi mereka, jika tidak segera dipilih pemimpin baru, maka dikhawatirkan akan terjadi malapetaka besar kepada NU. Mengingat situasi saat itu menjelang Pemilu 1982—mulai merangsang kalangan politisi NU untuk berjalan sendiri-sendiri. Hal ini bisa dipahami, karena KH Bisyri Syansuri juga menjabat sebagai Rais ‘Aam Majelis Syura dari Partai PPP.
- Iklan -
Kedua belah pihak pun tak kunjung menuai titik kesepakatan. Sampai akhirnya, pada Muktamar ke-27, bulan Desember 1984, Gus Dur terpilih sebagai Ketua Umum PBNU. Didapuknya Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU, merupakan pilihan yang terbaik. Beliau bukan salah satu dari dua pihak yang bertikai. Nama Gus Dur lebih dikenal sebagai budayawan dan cendekiawan Islam. Dan ini yang terpenting, beliau berhak mewarisi kepemimpinan NU karena memiliki nasab dengan KH Hasyim ‘Asy’ari—pendiri NU.
Walau saat-saat proses pemilihannya begitu pelik dan sulit karena pihak luar (Pemerintahan Suharto) ikut meng-intervensi NU dengan menghadirkan kandidat tandingan, berkat rahmat Allah SWT, NU telah terlepas dari masa-masa kritisnya. Yakni bisa bangkit dan menyatukan suaranya lagi.
Di era Suharto, NU—termasuk tokoh-tokohnya—acapkali mengalami diskriminasi dan guncangan kuat. NU adalah ormas Islam terbesar di Indonesia, dengan jamaah yang begitu banyak dan solid, tentu menjadi ancaman serius bagi pemerintahan Suharto. Terlebih, banyak dari kyai dan tokoh NU yang kontra dengannya. Oleh sebab itulah, Suharto getol sekali melakukan berbagai upaya represif untuk melemahkan NU.
Dalam sepak terjang kepemimpinan di NU, Gus Dur pernah membeberkan refleksi sekaligus apa yang akan ia lakukan untuk NU ke depannya. Ceramah ini, beliau sampaikan ketika menghadiri undangan dari Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Jawa Barat pada tanggal 8-9 Maret 1989 di Pesantren Dar al-Tauhid.
Menurutnya, pernyataan penting terkait “Kembali kepada Khittah NU 1926” pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo, bahwa keputusan itu tidak diambil untuk berhenti, melainkan prinsip-prinsip yang ada di Khittah harus dikembangkan terus. Muktamar tersebut sebagai pertanda bahwa NU lepas dari politik dan kembali menempati posisinya sebagai organisasi masyarakat (ormas). Sudah terbukti ketika NU menjadi parpol, banyak dampak negatif yang ditimbulkan. Para kyai pecah menjadi banyak kubu, masyarakat akar rumput yang tidak tahu apa-apa, hanya menjadi korban dari aktor politik.
Dalam menunjang penerapan dari Khittah itu sendiri, yang harus NU lakukan adalah penataan organisasi secara tuntas, peningkatan mutu pendidikan, peningkatan dakwah, serta peningkatan taraf hidup dari anggota jam’iyah-nya.
Harus diakui bahwa NU sebelum muktamar di Situbondo, telah sedemikian parah. Niilai-nilai keagamaan warganya pun menurun, karena banyak perilaku yang telah dipolitisasi, baik oleh orang NU sendiri ataupun orang luar. Bisa dibayangkan, jika NU tidak melakukan gerakan kembali ke Khittah, maka organisasi ini akan mengalami nasib yang sama dengan PPP—pemimpinnya akan dipilihkan oleh orang luar (rezim Suharto).
Muktamar di Situbondo, menjadikan NU secara organisatoris tidak terkait dengan kekuatan sosial-politik mana pun. Hal ini lalu memudahkan bagaimana NU bisa benar-benar konsen mengurusi dan mengembangkan warganya. Akan tetapi, sikap seperti itu memang nampak kekurangannya. Yaitu ketidakjelasan posisi yang akan diambil. Apalagi menjelang pemilu, banyak partai politik yang akan sowan untuk mencari dukungan.
Kata Gus Dur, posisi seperti ini, jangan membuat NU terlalu banyak berharap kepada siapa pun, termasuk kepada pemerintah. Yang terpenting, Khittah tersebut diambil sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar warga NU. Pada kuncupnya, leksikal seperti ini membuat NU sebagai organisasi yang dibutuhkan orang, tanpa terikat kepada siapa pun. Sehingga, menempatkan NU di posisi yang strategis. Dalam ungkapan Gus Dur, disebut “ada di mana-mana, namun tidak ke mana-mana”.
Jadi, Muktamar NU di Situbondo, harus benar-benar menghasilkan keputusan dan solusi yang tepat dalam rangka membawa warga NU menyongsong era lepas landas, yakni mampu menjawab tantangan seperti kepastian hukum, sepak terjang agama dalam pemerintahan, serta dapat menyambut era industrialisasi dengan baik.
Era lepas landas menuntut beberapa persyaratan di luar bidang ‘agama’. Yakni pertumbuhan ekonomi harus tetap tinggi. Pertumbuhan yang tinggi hanya mungkin jika ada efisiensi serta kemampuan mengelola segala sumber daya dengan sebaik-baiknya. Yang berarti pula, membutuhkan kecakapan sains dan ilmu pengetahuan dalam proses pengerjaannya. Selain itu, roda ekonomi turut bergerak dengan adanya objektivitas hak dan kewajiban bagi para pelakunya.
Objektivitas itu bisa tumbuh dengan baik jika ada jaminan hukum. Jaminan hukum bisa berdiri tegak jika ada kedaulatan hukum, bukan kehendak satu atau dua orang penguasa. Kedaulatan hukum berarti hak untuk bicara secara bebas. Hal ini, akan membuahkan mekanisme kontrol atas pemerintahan secara efektif.
*) Slamet Makhsun lahir tanggal 31 Mei 2001. Alumni PP Muntasyirul Ulum asuhan Kyai Ali Affandi ini memiliki hobi ngopi dan membaca buku. Turut pula bergabung dengan PMII Rayon Pembebasan dan anggota IPNU PAC Mlati, Sleman. Kini menempuh pendidikan di Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga.