Cerpen Setia Naka Andrian
Hari masih sangat pagi. Pagi sekali. Leman Soleman baru saja terjaga dari tidurnya yang tak panjang. Ia bangun karena kaget yang diciptakan sendiri. Ya, alarm membanting suara yang memukuli telinganya, berkali-kali, menyesakkan dada. Napasnya nampak terengah-engah. Sepertinya baru saja ia pejamkan mata, tak juga sampai bermimpi apa-apa, Leman harus sudah membuka mata lagi. Berangkat kerja lagi.
Ia angkat kepalanya, meski terasa masih sangat berat. Duduklah ia di ranjang tempatnya tidur bersama istri dan seorang anak laki-lakinya yang masih berusia belum genap setahun. Kakinya menapak di lantai, masih sangat dingin. Ia menatap ke arah jendela, dari balik tirai putih, hari masih nampak gelap. Masih pagi sekali, alarm dibunyikan tepat pukul 03.30. Setiap hari Leman selalu begitu. Sudah pulangnya hingga magrib, berangkatnya selepas subuh persis. Seakan tak pernah melihat atau menikmati terbit dan tenggelamnya matahari dari rumah. Apalagi untuk menyaksikan perputaran bumi dengan pelan, tanpa tergesa-gesa seperti hari-hari yang dilaluinya.
Leman menoleh ke belakang, istri dan anaknya terlihat masih sangat lelap. Dalam hati, ia bertanya-tanya, kapan semua ini akan berakhir. Lebih-lebih saat anaknya terlahir, hampir tak pernah ia dapat menyambut senyum manisnya. Mau bagaimana lagi, saat ia berangkat, anaknya masih tidur. Saat ia pulang, anaknya sudah tidur. Hanya saja, ia merasa agak lega jika sesekali dari padepokan bisa diam-diam video call istrinya. Itu pun harus sangat hati-hati, jika ketahuan atasan bisa jadi urusan panjang. Apalagi jika sampai kepergok Haji Slimut, bakal jadi panjang urusannya. Bisa dipecat seketika!
- Iklan -
Pukul 04.00, Leman sudah selesai mandi. Ia langsung bergegas berangkat ke Padepokan Slimut. Memang tak begitu jauh, hanya membutuhkan waktu tempuh setengah jam saja. Motor dikendarainya dengan tak begitu cepat. Sebab hari masih sangat pagi, jalanan masih sangat sepi. Maka tak perlu ngebut sudah bisa diperkirakan sampai tepat pukul 04.30, seperti aturan yang dikehendaki padepokan.
Hampir satu minggu penuh, Leman berangkat ke padepokan. Bahkan saat lebaran pun, ia harus salat Id di padepokan, sungkem kepada Haji Slimut dulu daripada ke orangtuanya. Aturannya memang begitu, semua karyawan dan pengajar wajib berangkat, tanpa terkecuali.
Padepokan Slimut, sebuah lembaga pendidikan dengan kurikulum yang susah dijelaskan. Bagaimana tidak, jika mau dibilang formal, namun nyatanya sangat tidak. Jika mau dibilang nonformal, namun nyatanya juga terkadang sangat formal. Bahkan bisa melampaui lembaga pendidikan formal lainnya. Seperti halnya didapati suatu bidang yang biasanya hanya ekstrakurikuler, namun di Padepokan Slimut menjadi mata pelajaran. Misalnya berbagai macam kesenian dan tentu bela diri. Seharian penuh siswa menjalani kegiatan belajar mengajar, ini sudah berlangsung sejak awal beridiri, jauh-jauh sebelum full day school diberlakukan.
Leman tiba di padepokan. Gerbangnya terpampang tulisan besar: Padepokan Slimut. Dari namanya menampakkan bahwa padepokan ini milik Haji Slimut. Sudah terkenal ke mana-mana, sebuah padepokan yang mengutamakan pendidikan ilmu bela diri, namun tetap diajarkan pula mata pelajaran umum, seperti matematika, kewarganeragaan, agama, bahasa, serta mata pelajaran umum lainnya. Di padepokan didapati jenjang pemula, menengah dan atas. Setara dengan SD, SMP, dan SMA.
Leman mengampu mata pelajaran teater. Bagusnya padepokan ini, teater masuk dalam kurikulum sebagai mata pelajaran wajib untuk semua jenjang. Tidak seperti di sekolah umum, jika teater hanya sebagai ekstrakurikuler saja. Itu salah satu alasan kenapa Leman sejak lulus kuliah langsung memilih untuk mengabdikan diri di padepokan ini. Selain memang gajinya sudah cukup tinggi, hampir setara dengan gaji guru PNS yang lengkap dengan seabrek tunjangannya.
Ia melangkah masuk, langsung menuju kamar-kamar para petarung, membangunkan mereka dan lekas digiring ke masjid untuk menjalankan salat subuh. Ya, di padepokan ini siswa disebut petarung. Mereka dididik sangat keras. Sesekali mirip pendidikan militer, namun kerap kali jauh melampaui itu. Meski sesungguhnya, kepada para guru lebih keras lagi. Ibaratnya jika para petarung yang melakukan kesalahan punggungnya dijatuhi beras lima puluh kilogram, maka para guru yang melakukan kesalahan, kepalanya akan dijatuhi beras seratus kilogram.
Selepas salat subuh berjamaah, para petarung digiring kembali menuju kamarnya masing-masing. Mereka diminta untuk lekas mandi. “Lekas kembali ke kamar, dan segeralah mandi. Yang tertib, jangan rebutan. Satu kamar mandi di kamar ini untuk lima orang dalam waktu setengah jam itu sangat cukup! Jangan sampai beralasan telat lagi seperti kemarin! Selepas mandi langsung segera menuju ruang makan umum! Jangan menunggu lainnya, jika satu sudah selesai langsung ke sana!”
Begitulah ucap Leman bernada komando keras. Sama halnya yang dilakukan oleh guru lain. Setiap guru punya tugas menjadi wali kelas dan bertanggung jawab kepada seluruh petarungnya. Dari mulai membangunkan tidurnya hingga menggiringnya kembali ke kamarnya selepas kegiatan belajar hari ini usai. Tentu akan digiring selepas usai salat magrib berjamaah. Lalu selepas itu para guru boleh pulang meninggalkan padepokan. Namun hanya bagi yang sudah menikah, bagi yang masih lajang tetap tinggal di padepokan. Setiap malam punya tugas menjaga padepokan beserta isinya. Termasuk menjaga dan melindungi para petarung yang sudah dititipkan baik-baik oleh orangtua mereka, datang dari berbagai belahan daerah.
Sebelum pukul 06.00, saat para petarung sedang makan, didapati waktu lebih kurang setengah jam yang digunakan oleh Haji Slimut untuk mengumpulkan para guru di tengah lapangan, tak jauh dari ruang makan umum bagi para petarung. “Sudah lengkap semua?” tanya Haji Slimut dengan suara pelan namun menekan. Cerutu dalam gigitan bibirnya pun sedikit menghambat suara. Para guru diam tak menjawab, mereka berdiri tegap dan kepalanya menunduk. “Coba sebutkan nama kalian, berurutan dari ujung kiri ke kanan!”
Sontak para guru memulai menyebutkan nama mereka dari ujung kiri ke kanan barisan.
“Mustafa Basir”
“Kanal Bait”
“Sifa Permata”
“Firman Utama”
“Kodir Masir”
“Dina Maula”
“Rita Tamasya”
“Marhaban”
“Samsul Rahman”
“Alan Muzakir”
“Mia Tulana”
“Cidra Dianita”
Saat sudah selesai, Haji Slimut memastikan, “Sudah lengkap?”
Semua masih menunduk. Tak ada jawaban dari para guru. Sepertinya mereka takut, menjawab benar saja kerap disalahkan, apalagi jika menjawab salah. Mata Haji Slimut menyambar ke arah para petarung yang sedang lahap sarapan. Kemudian ia mengarah kepada para guru. Satu-satu dipandanginya, para guru masih menunduk. Melihat ke bawah, rerumputan hijau yang juga dirawat mereka setiap hari. Sebab selain mengajar, mereka juga punya tanggung jawab untuk membersihkan seluruh lingkungan padepokan. Kebersihan bukan jadi urusan kerja tukang kebun saja.
“Leman Soleman mana?”
Semua guru tetap diam saja, tak ada yang berani menjawab. Selain memang takut, juga memang mereka tak ada yang tahu di mana keberadaan Leman, teman seperjuangan mereka dalam mengabdi di padepokan. Bahkan boleh dikatakan, Leman merupakan guru paling senior di antara mereka. Ia terhitung paling lama masa kerjanya di padepokan. Bahkan tidak hanya mengajar saja, ia kerap kali dibebaskan tugas untuk tidak mengajar. Namun diberi tugas kehormatan untuk mengurus program pembangunan di padepokan. Bagi Haji Slimut itu sebuah tugas kehormatan, tetapi entah bagi yang diberi tugas itu sendiri bagaimana.
“Alan Muzakir.”
“Ya, Pak Haji. Maaf.”
“Berat badanmu berapa?”
“Maaf Pak Haji, berat badan saya empat puluh dua kilogram.” Jawab Alan dengan penuh ketakutan. Ia memang guru paling kurus, bidang seni rupa yang diampunya membuat tak begitu memikirkan pola makan. Kesehariannya hanya melukis, melukis, dan melukis. Bahkan hampir seluruh lukisan yang ada di padepokan adalah karyanya.
“Gemukkan! Sebulan lagi kalau berat badanmu nggak bisa naik jadi lima puluh kilogram, saya pecat!”
Alan kian menunduk, tak berani mengeluarkan kata sepatah pun. Begitu pula dengan guru lainnya. Haji Slimut berjalan pelan-pelan di depan para guru, memandangi wajah mereka satu-satu, pun sekujur tubuhnya dilihat semua. Tak hanya guru laki-lakinya saja, guru perempuan pun juga dilihatnya.
Tepat di depan Cidra Dianita, Haji Slimut berhenti. Ia memandangi lekat-lekat dari ujung rambut hingga kaki. Cidra diam saja, masih tetap menundukkan kepala. “Berat badanmu berapa, Cidra?”
Cidra berusaha menjawab, meski nampak berat diselimuti rasa takut. “Maaf, Pak Haji. Hanya empat puluh kilogram.”
“Gemukkan! Buat menjadi padat seperti Rita Tamasya itu lho! Kalau susah, pakailah karet gembus biar nampak lebih berisi!”
Begitulah yang sering dilakukan Haji Slimut saat apel pagi. Urusan berat badan pun menjadi salah satu perhatiannya. “Ingat ya, kalian di sini ini adalah pelayan. Lihat itu pegawai bank, mereka kelihatan ganteng-ganteng, cantik-cantik, segar-segar, badannya berisi. Nggak ada yang kerempeng. Apalagi kalau yang perempuan, selain cantik juga harus nampak berisi!” Sambil ia masih berjalan di depan para guru, memandangi mereka satu-satu.
Tiba-tiba Haji Slimut ingat kembali tentang Leman. “Leman Soleman di mana?” Semua masih diam saja. Tak ada yang berani menjawab. “Jawab, jangan diam saja!”
Mustafa Basir mengangkat kepalanya, hendak menjawab. Perawakannya kekar, ia guru bela diri tingkat atas yang paling ditakuti oleh para petarung. “Maaf Pak Haji, kami tak tahu.” Jawabnya dengan sangat pelan, sambil menunduk lagi.
“Tak tahu? Kenapa kalian semua bisa nggak tahu?” Kemudian Haji Slimut melihat jam tangan di pergelangan. “Ini waktu sarapan para petarung sudah hampir selesai. Tentu waktu apel ini juga akan selesai. Kalian akan kembali masuk ke kelas untuk mendidik para petarung. Ingat, mereka itu aset. Mereka itu raja kalian. Tanpa ada mereka, kalian tak berarti apa-apa!” Haji Slimut terdiam sejenak, sambil mengisap dan mengepulkan cerutunya. Memang usianya sudah hampir menginjak kepala delapan. Namun tubuh masih kelihatan kekar, apalagi ditambah warna kulitnya yang begitu gelap. “Kenapa juga sampai detik ini Leman Soleman belum juga datang?”
Sejurus kemudian, Haji Slimut melangkah masuk ke dalam mobil. Belum sampai menyalakan mobilnya, Leman datang. Guru-guru masih berbaris pada posisi semula, masih menunduk pula. “Hai, kenapa masih di sini? Bos ke mana?” tanya Leman dengan enteng. Para guru masih diam saja. “Siapa itu di mobil? Siapa?” sambil melongok-longok mata Leman ke kaca mobil yang menampakkan siapa yang duduk di balik setir. Namun sama sekali tak jelas diterima mata Leman. Memang kali ini tak biasa, Haji Slimut membawa mobilnya hingga di lapangan tempat apel.
Leman masih penasaran. Ia melangkahkan kaki kian mendekati mobil Haji Slimut. Leman melongok-longok. “Siapa dia?” Nada tanya Leman kian pelan. Guru lain masih diam saja. Leman pun makin penasaran. Tak lama kemudian, turunlah Haji Slimut dari mobilnya. Melangkah mendekat ke hadapan Leman.
“Matamu itu sudah nggak beres! Setelah ini ke ruang saya, ada pesangon buat operasi matamu!” Haji Slimut nampak marah. Keringat butiran jagung memenuhi wajah Leman. Mulutnya seakan terkunci rapat-rapat. Begitu pula guru lainnya, masih tetap menunduk saja. Meski hati mereka berkecamuk tak karuan mendengar semburan api dari mulut Haji Slimut, pemilik tunggal padepokan. ***
Kendal, Mei 2020
*SETIA NAKA ANDRIAN, lahir dan tinggal di Kendal sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Buku puisi terbarunya Mendaki Dingin (PSK Kendal, 2020). Buku puisinya Kota yang Mukim di Kamar-Kamar (PSK Kendal, 2019) memperoleh Nomine Antologi Puisi Terbaik Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah.