Oleh: Vito Prasetyo
Entah, -kata- ini mungkin lebih bijak, meski bisa menimbulkan ketidakadilan. Semua mata, di pelbagai penjuru dunia saat ini begitu terfokus pada penyebaran wabah Covid-19. Bahkan tanpa kesepakatan tertulis, banyak pihak sudah merumuskan sebagai sebuah bencana. Sadar bahwa sebuah bencana akan menjadi duka bagi siapa saja, maka kita sering lupa dengan kata yang merujuk pada “kesabaran”. Korban yang meninggal akibat virus corona sudah ribuan. Seharusnya tidak ada korban meninggal. Tetapi kita semua dalam posisi ketidakpastian, serta rumus logika manusia bisa terbantahkan.
Seiring dengan “bencana” ini, meski seakan kurang pas untuk mengatakannya demikian, ada pihak-pihak yang merasa adil dengan tindakannya dengan pendapat yang digagas. Keadilan ini dianggap sebagai kebebasan mengeluarkan pendapat, meski kadang dengan tanpa teori logika yang mendasar. Sering telah merasakan sebuah keadilan ketika menyampaikan pendapat (gagasan) dan/atau membagikan visualisasi gambar ke orang lain, dan seolah-olah menjadi pengadil dengan caranya sendiri. Tetapi hal ini bisa berimbas menjadi ketidakadilan bagi orang lain.
Menyitir bahasa yang sering digunakan dalam media, terutama media digital, mungkin kita sering mendengar apa yang disebut sebagai cyber crime (kejahatan siber). Sampai saat ini, kejahatan siber secara sistemik sulit untuk diberantas. Kemajuan alih teknologi, telah kemampuan alat atau instrumen teknologi yang berbasis jaringan internet. Metoda uji coba seakan tidak berhenti hanya sekedar untuk riset analitik yang memanfaatkan teknologi learning machine (aplikasi dari disiplin ilmu kecerdasan buatan). Sehingga, dalam pikiran kita yang awam, apa sebetulnya tujuan pengembangan teknologi ini?
- Iklan -
Belakangan ini, kita mengenal raksasa-raksasa teknologi ikut berperan untuk mengembangkannya. Alih-alih yang dijadikan alibi adalah karena perubahan masa atau zaman dianggap sebagai tuntutan regenerasi teknologi. Semakin menjamurnya hoaks yang beredar, maka harus berbanding lurus dengan penemuan pendeteksi anti-hoaks. Sehingga tanpa sadar, orang tergiring dengan anggapan bahwa mata rantai jaringan hoaks harus diputus dengan riset analitik yang mampu menghasilkan penemuan pendeteksi anti-hoaks. Penemuan ini sangat sistemik dan terstruktur, yang akhirnya menjadi politisasi teknologi.
Pemikiran yang terdorong oleh emosional nafsu oleh kelompok atau orang-orang, yang secara teorema sangat minim pendalaman agamanya karena menganggap teknologi itu ciptaannya. Dan dalil-dalil keabsahan ilmu agama sangat jarang tersentuh dan dibaca oleh mereka. Tidak ada pemikiran bijak, bagaimana menyelamatkan generasi bangsa (anak/siswa). Penemuan teknologi bisa jadi “diagungkannya” tanpa menyadari dirinya adalah sebuah entitas (wujud) yang diciptakan oleh Tuhan.
Menelisik pendalaman agama (islam) ada beberapa hadits yang bisa dijadikan penolakan dalam memerangi kejahatan teknologi. “bertaqwalah kepada Allah dimana saja kamu berada” (HR. At-Tirmidzi), dan juga seperti “barang siapa tidak mensyukuri sesuatu yang sedikit, ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak” (HR. Ahmad). Ini hanya sebuah renungan dalam memaknai keadilan. Harus ada keberanian untuk mengajarkan secara praktik kepada anak/siswa, mana yang baik.
Lantas, bagaimana manusia mampu memerangi pandemi Covid-19, yang kini dianggap sebagai wabah ganas yang mampu mematikan!? Tentu ini bukan persoalan mudah bagi semua pihak, karena jika ini dianggap sebuah ujian, maka sangat menguras tenaga dan pikiran. Semua lapisan dimensi akan terkena imbas dan saling bergantungan satu sama lainnya. Maka, kalau ini adalah sebuah ujian, manusia sebagai makhluk yang bernalar dalam orientasi agama dan kepercayaan, melepas makna “entah” dengan sebuah nilai kesabaran.
Kini dengan makin banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat bawah, maka sangat penting adanya konsep pola desain pembangunan ekonomi yang bisa berperan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, sesuai yang tersirat dari falsafah negara Pancasila dan Dasar Negara Kesatuan RI, yakni UUD Tahun 1945. Konsep ini adalah pemerintah mendorong kepada masyarakat untuk meningkatkan kemampuan (skill) sesuai bidang dan kemampuannya, seperti pelatihan usaha kecil dan makro.
Sangat diharapkan, jika sistem pemberdayaan masyarakat lapisan bawah harus memperhatikan konsep keadilan dan kesetaraan. Tentu tujuan ini bukan semata-mata lapisan masyarakat bawah melakukan pelatihan kemudian tidak ada tindaklanjut. Mekanisme yang dibangun harus memiliki nilai ukur yang jelas, sehingga masyarakat tidak berpikir skeptis dengan pemberdayaan masyarakat, apalagi dengan situasi dan kondisi yang cukup sulit karena dampak pandemi berkepanjangan.
Rasa ketidakadilan biasanya muncul karena wujud permasalahan yang menumpuk dan berlarut-larut. Sehingga dengan simbolik kaidah agama, ini sudah menjadi norma yang mendasari perilaku manusia. Anjuran agama tentu sangat plural (majemuk) maknanya, bahwa ajakan kesabaran itu berlaku untuk pemeluk agama apa pun. Maka substansi yang dibangun untuk menyejajarkan konsep ketidakadilan dan kesabaran, ibarat melemparkan sebuah polemik yang harus dicarikan sisi persamaannya. Salah satu sumber daya manusia yang harus selalu dibangun dengan prinsip-prinsip kemanusiaan adalah pembangunan keluarga sehat. Sehat iman, sehat pola pikir dan sehat ekonomi. ***
*) Penulis adalah pegiat sastra dan peminat budaya