Judul: Membangun Ilmu Pendidikan Nusantara
Penulis: Prof. Dr. Syamsul Ma’arif, M.Ag.
ISBN: 978-623-6769-29-4
Cetakan: I, November 2020
Tebal: 15,5 x 23 cm, xiii + 228 Halaman
Penerbit: CV. Pilar Nusantara & FPK UIN Walisongo
Peresensi: Hamidulloh Ibda
Membaca buku karya Prof. Dr. Syamsul Ma’arif, M.Ag., ini tidak hanya membuat pembaca berselancar ke dalam sejarah dan setting historis ilmu pendidikan Nusantara secara paradigmatik. Pembaca juga akan menemukan beberapa novelty (kebaruan) yang selama ini sudah dijalankan oleh lembaga-lembaga pendidikan di Nusantara namun belum tersusun rapi secara ilmiah.
Buku ini menguliti filsafat pendidikan, dan struktur ilmu mulai dari ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Penulis juga mendeskripsikan karakteristik ilmu pendidikan dan struktur ilmu pendidikan. Pada BAB III, penulis menyuguhkan rekonstruksi ilmu pendidikan Nusantara dimulai zaman penjajahan sampai era reformasi. Buku ini juga menjelaskan bahwa ilmu pendidikan Nusantara memiliki distingsi menarik karena ada pesantren sebagai model pendidikan Nusantara. Uniknya lagi, penulis menyuguhkan pedagogi pesantren.
Buku ini terbit karena dilatarbelakangi kenyataan belum beranjaknya sistem pendidikan Indonesia. Terkesan sistem pendidikan masih mencari formula dan sayangnya selalu mengikuti, untuk tidak dikatakan mengekor, dengan sistem dunia luar–yang dianggapnya tepat dan efektif. Seringnya gonta-ganti pemimpin, secara otomatis juga berimbas pada perubahan sistem pendidikan. Kadang bedampak pada anomali para guru dan praktisi pendidikan dalam merealisasikannya di lapangan (hlm.iv).
Jika melacak akar sejarah sistem pendidikan pesantren, model pedagogi pesantren yang telah dikembangkan oleh para kiai tersebut telah memainkan peran yang cukup besar dalam mencerdaskan dan membangun mentalitas bangsa serta mewujudkan integrasi Nusantara ini (hlm. 130). Asal-muasal sistem pedagogy pesantren berawal dari model dan konsep pedagogy yang diterapkan Ampeldenta, sebuah pesantren yang dipimpin langsung oleh Sunan Ampel telah menginspirasi dan direalisasikan untuk mengatasi berbagai persoalan demoralisasi Majapahit saat itu sebagaimana diceritakan M. Radhi As’ad (2006).
- Iklan -
Penerapan pedagogi dengan sistem pesantren di Majapahit tersebut bermula dengan surat undangan ke Cempa, pada 1401 pada saat terjadinya senjakala dinasti Majapahit. Pada saat itu Raja Brawijaya V prihatin melihat banyaknya punggawa dan keluarga raja yang banyak menyimpang dari ajaran budi pekerti. Maka setelah mendengarkan nasihat dari ratunya, bernama Dewi Candrawulan, untuk mendatangkan guru budi pekerti yang tiada lain adalah iparnya sendiri, yaitu Raden Rahmat/Sunan Ampel tersebut.
Setelah memenuhi undangan ke Cempa tersebut, Sunan Ampel menerapkan pedagogi khas pesantren yang sebenarnya tidak berbeda dengan para guru yang mendahuluinya di Singosari dan Majapahit. Disebabkan oleh para santrinya yang tidak berasal dari Jawa saja, maka bahasa pengajaran yang digunakanya adalah bahasa Melayu (lingua franca).
Model pendidikan yang diterapkanya bersifat integratif dengan memadukan antara pelajaran agama dan umum. Selain mengajarkan agama, beliau mengajarkan baca tulis serta ilmu-ilmu lainya seperti ilmu penerintahan, politik, dan tata kota. Oleh sebab itu, bisa dikatakan Sunan Ampel adalah orang yang berperan sangat penting dalam meletakkan konsep dasar pembangunan kota Surabaya dan menjadi salah satu pencetus lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa (Demak Bintara).
Setelah itu, model pedagogi ini kemudian diteruskan oleh para santrinya, hingga mengalami pertentangan/persaingan dengan model pendidikan Kolonialisme seperti telah dijelaskan di atas.Kemudian pesantren mengalami dinamika perkembangan sampai sekarang, dengan tetap menampilkan sebagai sebuah pedagogi dengan berbagai karakteritik uniknya (hlm. 131). Bangunan keilmuan tentang apa yang dimaksud pedagogi pesantren disajikan penulis ke dalam BAB V yang berisi Pedagogi Pesantren. Penulis menyebut, bahwa pesantren memiliki tujuan khas dan kurikulum tersendiri.
Kurikulum khas pesantren menurut Prof Syamsul dalam buku ini, terbagi atas beberapa varian. Pertama, kurikulum berbentuk pendidikan agama Islam (hlm. 138). Kedua, kurikulum berbentuk pengalaman dan pendidikan moral (hlm. 142). Ketiga, kurikulum berbentuk sekolah dan pendidikan umum (hlm. 143). Keempat, kurikulum berbentuk keterampilan dan kursus (hlm. 145). Selain keunikan itu, pesantren juga memiliki keunggulan mendidik dengan hati.
Hal itu diperkuat dengan metode-metode pembelajaran yang memang khas Nusantara. Seperti metode sorogan atau individual learning process. Metode sorogan merupakan metode pengajaran bersifat individual yang sering digunakan di pesantren. Biasanya metode ini untuk tingkat pemula dan dilakukan dengan cara santri mengajukan suatu kitab kepada kiai untuk dibaca di hadapan kiai (hlm. 154).
Kedua, metode wetonan (collective learning person). Metode ini sering juga disebut bandongan, sistem wetonan/bandongan adalah pengajian yang dilakukan oleh seorang kiai yang diikuti oleh santrinya dengan tidak ada batas umur atau ukuran tingkat kecerdasan. Sistem pembelajaran model ini, kabarnya merupakan metode yang diambil dari pola pembelajaran ulama Arab. Sebuah kebiasaan pengajian yang dilakukan di lingkungan Masjid al-Haram (hlm, 157).
Ketiga, metode hafalan dan majelis ta’lim. Metode hafalan atau sering disebut tahfiz yaitu sistem belajar yang mewajibkan santri membaca di luar kepala kitab-kitab yang diajarkan kiai, meskipun tanpa memahaminya (hlm. 159). Keempat, mudzakarah, musyawarah, dan bahtsul masail (hlm. 160). Metode mudzakarah, musyawarah, dan bahtsul masail ini menjadi distingsi bahwa pesantren selain unggul dalam bidang agama, namun juga dalam menjalankan tradisi ilmiah, intelektual, juga didasarkan pada forum debat, seminar, lokakarya, atau forum ilmiah yang mendasarkan pada literatur, turots, tidak sekadar asumsi-asumsi para santri.
Buku ini bagi peresensi adalah awal untuk membuka kran-kran keunikan pedagogi pesantren di Nusantara. Sebab, meski sudah mengawali menulis tentang pedagogi pesantren sebagai bagian dari ilmu pendidikan Nusantara, ke depan perlu lagi menulis dan meriset secara spesifik ilmu pendidikan Nusantara dari tipologi berbeda. Sebut saja pesantren-pesantren yang sudah mapan seperti Lirboyo, Tebu Ireng, dan lainnya. Namun dengan membaca buku ini, kita semakin yakin bahwa ilmu pendidikan Nusantara itu ada. Pesantren tidak sekadar pelaku best practice (praktik baik) secara empirik, namun juga membangun paradigma keilmuan Nusantara yang itu memang lahir dari pesantren.
-Peresensi adalah dosen dan Wakil Ketua I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan STAINU Temanggung, Dewan Pengawas LPPL Temanggung TV, Kabid Media Massa, Hukum dan Humas FKPT Jawa Tengah