Oleh Suci Ayu Latifah
Judul buku : Aib dan Nasib
Penulis : Minanto
Tahun terbit : Pertama, Juli 2020
Penerbit : CV Marjin Kiri
Tebal buku : i-vi dan 263 halaman
ISBN : 978-602-0788-00-5
Keberhasilan Minanto menjadi pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019 adalah bukti betapa hal-hal yang memuat konflik masyarakat rural (pedesaan) menarik dikabarkan lewat sastra. Melalui novel bergengsi ini, Minanto secara total menyajikan potret pedesaan di tanahnya, Indramayu. Sepakat dengan sastrawan George Bernard Shaw, sastra novel tidak jauh dari kehidupan pengarang itu sendiri.
Dengan diterbitkannya buku yang lahir dari perundungan novelis, Aib dan Nasib sesungguhnya cerminan masyarakat kita. Di balik konflik yang didominasi peran laki-laki, ada kegagapan teknologi berupa telepon genggam. Minanto menggambarkan tokoh-tokoh pemuda bergantian menggunakan telepon untuk sekadar bermain facebook. Mereka membuat akun pribadi, dan memanfaatkan untuk berkenalan—berhubungan dengan seorang wanita tidak dikenal. “…Dengan menggunakan akun Sidik Sodikin, kini ia mengobrol mesra dengan Olif.” (hal. 152).
- Iklan -
Kehilangan Identitas
Meminjam latar cerita di desa Tegalurung dan Tegalsembadra, Indramayu, novel yang masuk 5 nominasi sastra pilihan Tempo 2020 ini menunjukkan kepada pemerintah bilamana persoalan masyarakat rural belum selesai. Laiknya kutukan.
Karenanya, aib dan nasib bukan lagi menjadi aib dan nasib. Orang bilang aib sama saja dengan nasib (hal. 106). Nasib-nasib setiap tokoh, tumbuh gunjingan rimbun atas aibnya. Pasalnya, daripada kesemua nasib berakhir ketidakuntungan dan ketermaluan.
Tengoklah, Mang Sota lantas pergi setelah membungkus jenazah cucunya Duloh dalam karung bantal dan meninggalkan Uripah, anaknya. Nurumubin gagal menelurkan keturunan terdidik. Sobirin lengah mendidik anaknya hingga hamil di luar nikah. Kartono tidak bertanggungjawab atas pernikahan dan rumah tangga. Ketidakmampuan Baridin mendidik anak tanpa kekerasan fisik. Eni menjadi TKW untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Yuminah menikmati kesendirian ditinggal mati anaknya dan suaminya merantau.
Serangkain daripada aib dan nasib tokoh-tokoh di atas dan tokoh lainnya, dikemas dalam lima babak. Minanto mengemas cerita seperti mozaik—kepingan-kepingan cerita warna-warni hingga membentuk kesatuan cerita. Alur campuran menjadi daya kompleksitas kisah awal hingga akhir dari setiap tokoh.
Barangkali, inilah yang menarik juri untuk memenangkan novel ini. Novel bertema sosial, yang sempurna menghadiahkan gelora kebaruan. Stilistika penceritaan mengolaborasi pandangan dan budaya masyarakat dulu (gagap teknologi dan informasi) dan kekinian (ahli mesin). Sangat baik dalam detail karakter dan interpretasi objektivitas sosial sesuai logika sastrawi.
Terlepas dari kekurangan tata ketik, kesabaran dalam proses penggarapan Aib dan Nasib tentunya menjadi keseriusan novelis untuk memainkan kompleksitas kehidupan setiap tokoh. Tidak tertinggal, kecintaan terhadap bahasa daerah ada beberapa kosakata menggunakan bahasa Indramayu. Sebutlah telembuk, yang berarti pelacur. Midang, berarti duduk bersama. Bonteng, penyebutan mentimun, blesak berarti jelek, jaburan berarti makanan ringan, dan lain sebagainya.
Ironi Nasib
Pembacaan Aib dan Nasib, khas masyarakat rural tak lengkap tanpa persoalan ekonomi. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya tokoh yang tidak memiliki pekerjaan. Mulai dari petani, peternak, tukang becak, ketua RT, supir angkot, kuli, penjaga toko, penggali kubur, buruh, TKW, dan lain sebagainya. Semua bekerja, hingga pada gadis-gadis Tegalurung dan Tegalsembadra baru lulus diterbangkan atau dikawinkan. Pekerjaan-pekerjaan itulah penyelamat kehidupan. Mereka tak ubahnya burung, setiap bertengger meninggalkan jejak berupa bon atau hutang.
Karenanya, sepakat dengan Nurumubin, berpendidikan dalam arti sekolah sangatlah penting. Sekolah dapat mementaskan dari kemiskinan. Setidaknya, pemakan bangku sekolah lebih terhormat daripada pemakan tanah. Nurumubin akhirnya memutuskan menyekolahkan adik-adik Marlina, Pang Randu dan Godong Gunda. Melalui kemampuan mengutak-atik mesin, tokoh menaruh harapan besar kepada mereka.
Minanto, melalui keterbukaan pandangan masa kini meruntuhkan Nurumubin. Kegagapan informasi dan teknologi, dan keliaran pergaulan membuatnya tidak menahu apa yang dilakukan anak-anaknya. Minanto menggambarkan anak terpelajar dan tidak terpelajar terperosok pada perundungan cyber. Keterkejutan teknologi tidak dibekali literasi digital, yang ada seperti Bagong Badrudin candu terhadap gambar dan video porno, hingga pada pembuatan akun facebook lebih dari tiga nama: Rian Rinaldi, Sodik Sodikin, dan Bagong Badrudin.
Lainnya, tengok anak perempuan Sobirin. Gulabia sebagai pelajar beranjak dewasa, gagal sebelum UN karena hamil. Ia berpacaran dengan Kicong, teman sekolahnya hingga melakukan hubungan intim. Gulabia pula khilaf, karena begitu akrab dengan tukang angkot bernama Kartono sehingga berhubungan intim pula. Nasib kehamilan Gulabia memaksanya menikah dengan Kartono. Aib terterima keluarga Sobirin yang dikenal sebagai kiai desa.
Dikira bahagia, setelah pernikahan ia mendapat perlakuan tidak baik. Kekerasan dialami Gulabia hingga merasa akrab atas keganjilan. Gulabia harus meladeni Kartono dengan beradegan BDSM (Bondage, Discipline, Sadism, Masochism). Perlakuan semacam itu, mengingatkan pada tesis Foucault, seks menjadi energi untuk memberontakan bagi segala kepengapan. Kepengapan rumah tangga dan setoran angkot menjadikan Kartono kehilangan rasa kemanusiaan.
Suatu yang lumrah. Kehidupan tidak henti pada perputaran konflik. Secara nyata representasi kehidupan rural terpotret dalam Aib dan Nasib. Minanto, menyusun rangkaian cerita tidak lekang dari kutukan aib dan nasib. Minanto pula hendak menunjukkan potret keterkejutan setelah munculnya teknologi.
Kebahagiaan hanyalah mimpi dalam Aib dan Nasib. Mimpi pun tak jarang merasa di taman dikelilingi bunga-bunga. Kehidupan Aib dan Nasib, sungguh tidak berbunga. Konflik keluarga dan masyarakat selalu mengitari. Baik yang tampak maupun endap. Semoga ada bunga bermekaran sebagaimana kehidupan desa dalam benak kita. Jauh dari keterusingan dan kebisingan zaman. Apa adanya.
Persoalan urban yang dulu jadi persoalan khas kaum urban (kota) kini juga jadi persoalan masyarakat desa. Jika novel adalah fiksi yang mungkin berdasarkan realita, kita patut bertanya: di mana identitas kita sebagai orang Indonesia?
*Peresensi: Suci Ayu Latifah, komunitas literasi Sutejo Spectrum Center Ponorogo.