Oleh Taufiq, S.Pd.I, Alhafidz
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan pemerintah saat ini menjadi salah satu agenda ambisius untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan anak-anak Indonesia. Gagasan ini lahir dari keprihatinan bahwa masih banyak anak sekolah yang datang dengan perut kosong, kurang asupan gizi, bahkan dalam kondisi stunting. Pemerintah berusaha menghadirkan solusi dengan menyediakan makanan bergizi secara gratis, sehingga setiap anak bisa belajar dengan optimal tanpa dibebani rasa lapar. Namun, seperti banyak program besar lainnya, pelaksanaan MBG tidak bebas dari tantangan. Salah satu yang paling mengkhawatirkan adalah munculnya kasus keracunan siswa akibat konsumsi makanan yang seharusnya menyehatkan. Di sinilah ironi muncul: makanan yang seharusnya menjadi penopang masa depan justru berubah menjadi ancaman bagi keselamatan anak-anak.
Program MBG sebenarnya bukan hal baru dalam dunia pendidikan. Banyak negara sudah melakukannya, dari Jepang, Finlandia, hingga India, dengan tujuan mencegah anak kelaparan di sekolah dan meningkatkan daya belajar. Di Indonesia sendiri, gagasan ini sudah lama didiskusikan, bahkan beberapa daerah pernah menjalankan program serupa secara lokal. Bedanya, kali ini pemerintah berkomitmen menjalankannya secara nasional dengan anggaran yang besar. Harapannya jelas: anak-anak tumbuh sehat, cerdas, dan kuat, sekaligus mengurangi angka stunting yang masih cukup tinggi di Tanah Air.
Namun, setiap kebijakan yang menyangkut makanan massal selalu menyimpan risiko. Pengadaan dalam jumlah besar sering kali berhadapan dengan persoalan kualitas bahan, higienitas pengolahan, distribusi yang terburu-buru, hingga lemahnya pengawasan. Jika tidak diantisipasi, risiko ini bisa berujung fatal, seperti keracunan massal siswa yang belakangan terjadi di sejumlah daerah. Kasus-kasus tersebut menjadi peringatan keras bahwa MBG bukan sekadar soal memberi makan gratis, melainkan juga soal memberi makan yang aman dan benar-benar bergizi.
- Iklan -
Keracunan makanan di sekolah bukan fenomena baru. Sebelum MBG digulirkan pun, sudah banyak kasus serupa yang berasal dari jajanan kantin atau makanan dari luar sekolah. Masalah klasiknya adalah rendahnya standar kebersihan, penggunaan bahan berbahaya, hingga cara penyimpanan yang tidak sesuai. Ketika program MBG hadir, potensi masalah ini bisa semakin besar karena skala penyajiannya jauh lebih luas. Jika tidak ada standar ketat, program ini justru bisa mengulang kesalahan lama dengan dampak yang lebih serius.
Salah satu titik lemah yang harus diwaspadai adalah rantai pasok bahan pangan. Siapa yang menjamin beras, sayur, daging, dan lauk yang digunakan benar-benar segar, bersih, dan bebas dari bahan berbahaya? Apakah ada sistem uji mutu yang konsisten sebelum bahan masuk dapur? Dalam program sebesar ini, pengadaan sering kali melibatkan banyak pihak: mulai dari pemasok lokal, koperasi sekolah, hingga pihak ketiga yang ditunjuk pemerintah daerah. Setiap mata rantai yang longgar bisa membuka celah terjadinya penyelewengan atau kelalaian. Jangan sampai bahan pangan yang seharusnya memberi gizi justru terkontaminasi bakteri, pestisida, atau zat kimia berbahaya.
Selain itu, persoalan kebersihan dapur dan cara pengolahan juga sangat menentukan. Tidak semua sekolah memiliki fasilitas dapur yang layak untuk memasak makanan dalam jumlah besar. Banyak yang masih bergantung pada katering lokal dengan standar yang berbeda-beda. Padahal, dalam memasak untuk anak-anak, standar kebersihan harus jauh lebih tinggi dibandingkan konsumsi biasa. Hal kecil seperti tidak mencuci tangan, menggunakan peralatan kotor, atau menyimpan makanan terlalu lama bisa memicu keracunan. Apalagi tubuh anak-anak jauh lebih rentan terhadap kontaminasi dibanding orang dewasa.
Distribusi makanan juga menjadi tantangan tersendiri. Bayangkan jika makanan dimasak di satu titik lalu harus dibagikan ke puluhan sekolah dalam jarak yang cukup jauh. Proses distribusi yang memakan waktu berjam-jam tanpa pendinginan memadai bisa membuat makanan basi sebelum sampai di tangan siswa. Di sinilah potensi keracunan semakin besar. Maka, aspek logistik tidak boleh dipandang sepele. Makanan bergizi hanya bermanfaat jika sampai di meja makan anak-anak dalam kondisi masih segar dan aman dikonsumsi.
Selain faktor teknis, ada pula persoalan pengawasan dan akuntabilitas. Program besar dengan anggaran triliunan rupiah rawan disalahgunakan. Jangan sampai MBG berubah menjadi ladang korupsi baru dengan modus mark-up harga bahan, pengurangan porsi, atau penggunaan bahan murah berkualitas rendah. Dalam situasi seperti ini, yang paling dirugikan adalah siswa—mereka mendapat makanan seadanya, bahkan berisiko sakit. Oleh karena itu, transparansi pengelolaan anggaran dan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan mutlak diperlukan.
Keracunan akibat MBG bukan hanya soal kesehatan, tapi juga soal kepercayaan publik. Begitu kasus semacam ini mencuat, orang tua akan ragu mengizinkan anak-anak mereka memakan makanan gratis dari sekolah. Padahal, tanpa dukungan penuh masyarakat, program ini bisa kehilangan makna. Jika orang tua justru membekali anak dengan makanan sendiri karena takut, tujuan MBG untuk pemerataan gizi akan terganggu. Maka, pemerintah harus menunjukkan keseriusan dengan memastikan setiap kasus keracunan ditangani transparan, pelakunya diberi sanksi tegas, dan sistem pengawasan diperbaiki agar tidak terulang.
Di sisi lain, perlu juga dipahami bahwa MBG tidak boleh hanya dipandang sebagai program makan bersama. Harus ada pendidikan gizi yang menyertainya. Anak-anak perlu dikenalkan sejak dini pada pentingnya memilih makanan sehat, menghindari jajanan berisiko, dan membiasakan pola makan seimbang. Tanpa edukasi, MBG hanya menjadi rutinitas konsumsi tanpa nilai tambah. Lebih jauh lagi, melibatkan guru, orang tua, dan komunitas lokal dalam proses ini akan memperkuat kesadaran bersama bahwa gizi adalah investasi masa depan.
Untuk mencegah agar MBG tidak menjadi “makan bergizi tragis”, ada beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan. Pertama, standarisasi kualitas harus ditetapkan dengan jelas dan ketat, mulai dari bahan, proses masak, hingga penyajian. Setiap penyedia makanan wajib mengikuti standar tersebut dengan pengawasan rutin dari lembaga independen. Kedua, fasilitas dapur sekolah perlu ditingkatkan. Jika memungkinkan, setiap sekolah memiliki dapur higienis sendiri agar proses masak bisa lebih terkontrol. Ketiga, sistem distribusi makanan harus diperbaiki dengan memperhatikan jarak, waktu, dan metode penyimpanan.
Keempat, transparansi anggaran dan pengadaan wajib dijalankan. Publik harus bisa mengakses informasi soal pemasok, biaya, hingga menu makanan yang disajikan. Dengan begitu, potensi kecurangan bisa ditekan melalui kontrol sosial. Kelima, edukasi gizi dan sanitasi harus berjalan paralel. Anak-anak, guru, dan orang tua harus dilibatkan dalam membangun budaya makan sehat. Terakhir, sanksi tegas perlu diberikan kepada pihak yang lalai hingga menyebabkan keracunan. Tanpa penegakan hukum yang konsisten, program sebesar ini akan terus rawan disalahgunakan.
Program MBG adalah cita-cita mulia. Tidak semua negara berani mengambil langkah sebesar ini karena konsekuensi anggaran dan kerumitan pelaksanaannya. Indonesia patut diapresiasi karena berani memprioritaskan gizi anak-anak bangsa. Namun, apresiasi itu tidak boleh membutakan kita dari kenyataan bahwa risiko keracunan adalah ancaman nyata. Program makan gratis hanya akan bermakna jika benar-benar aman, sehat, dan bergizi. Jika tidak, alih-alih membentuk generasi unggul, kita justru mencetak generasi yang sakit karena kelalaian sistem.
Pada akhirnya, pertaruhan MBG bukan hanya soal angka keberhasilan di atas kertas, tetapi soal nyawa dan masa depan anak-anak Indonesia. Jangan sampai program ini hanya menjadi proyek politik jangka pendek tanpa keberlanjutan. Lebih dari itu, jangan sampai makanan yang dimaksudkan untuk membangun harapan justru berubah menjadi tragedi yang merenggut kepercayaan. Oleh karena itu, Makan Bergizi Gratis harus dipastikan benar-benar gratis, bergizi, dan aman bukan tragis.
– Taufiq, S.Pd.I, Alhafidz Khodim Ponpes Al Fatih Wonosobo



