Oleh: Muhammad Nur Faizi
Ada satu momen yang belum lekang dalam ingatan kita, yaitu ketika Imam Besar Masjid Istiqlal mencium kening Paus Fransiskus, lalu dibalas dengan ciuman penuh hormat di punggung tangannya. Momen itu bukan sekadar gestur dua tokoh agama, tapi pesan diam-diam bahwa cinta dan penghormatan bisa melampaui batas-batas keyakinan.
Momen itu mengingatkan kita bahwa gestur kecil yang dilandasi ketulusan bisa berdampak sangat besar. Dalam masyarakat yang terpecah karena fanatisme, satu pelukan atau ciuman penuh penghormatan menjadi simbol kuat tentang kemungkinan hidup berdampingan. Ini bukan sekadar soal toleransi pasif, melainkan cinta aktif yang berani hadir di ruang-ruang yang penuh prasangka.
Inilah semangat yang ingin dihadirkan lewat gagasan Kurikulum Cinta. Kurikulum baru yang tidak berhenti pada hafalan dogma, tetapi bisa menumbuhkan hati yang lembut, mata yang peka, dan pikiran yang terbuka.
- Iklan -
Mungkin kita sudah terlalu lama terjebak pada pendekatan pengajaran agama yang kaku. Dalam banyak kasus, pelajaran agama lebih sering membentuk batas. Anak-anak diajari mana yang halal dan haram, tapi jarang diajak bicara tentang kasih saying, atau bagaimana memperlakukan orang yang berbeda keyakinan.
Prof. Nasaruddin Umar pernah mengkritik pendekatan ini. Ia menyebut bahwa dalam banyak sekolah, tanpa sadar kita membangun persepsi bahwa agama kita paling benar dan kelompok lain berada di posisi subordinat. Jika tidak diimbangi dengan pendidikan nilai yang sehat, cara pandang ini akan membentuk “kita” vs “mereka”, dan di situlah bibit intoleransi mulai tumbuh.
Kasus tragis anak SD berusia 8 tahun yang meninggal karena diduga dirundung oleh kakak kelasnya hanya karena berbeda agama, adalah peringatan keras. Itu bukan sekadar soal kekerasan fisik, tapi refleksi dari gagalnya sistem pendidikan dalam menumbuhkan rasa hormat pada perbedaan.
Maka kurikulum cinta hadir sebagai koreksi atas pendekatan lama yang cenderung indoktrinatif. Ini bukan soal menambah pelajaran baru di kelas, tapi mengubah cara kita memperlakukan anak sebagai manusia seutuhnya. Manusia yang punya rasa. Manusia yang punya logika. Dan manusia yang punya kebutuhan akan cinta.
Namun pertanyaannya, bagaimana cara menumbuhkan kurikulum cinta secara konkret di ruang-ruang kelas kita? Salah satu jawabannya adalah dengan mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap mata pelajaran. Seorang guru Matematika bisa mengajak siswa berdiskusi tentang keadilan dalam distribusi sumber daya. Guru Bahasa bisa menggunakan cerita dari berbagai budaya sebagai bahan bacaan. Dan guru Agama bisa mengangkat kisah-kisah welas asih dari semua tradisi, bukan hanya satu.
Landasan Psikologis Kurikulum Cinta
Dalam dunia psikologi, terutama mazhab humanistik yang dikembangkan Carl Rogers, terdapat tiga prinsip penting dalam relasi sehat, yaitu: genuineness (ketulusan), unconditional positive regard (penerimaan tanpa syarat), dan empathy (empati mendalam). Dua yang terakhir adalah jantung dari kurikulum cinta.
Penerimaan tanpa syarat berarti menerima orang lain tanpa melihat latar belakangnya. Entah itu agama, budaya, atau warna kulit. Anak yang tumbuh dalam suasana seperti ini akan belajar bahwa nilai manusia tidak ditentukan oleh kelompoknya.
Sedangkan empati berarti kemampuan merasakan dunia dari sudut pandang orang lain. Ini sangat berbeda dari sekadar menilai benar-salah. Anak yang punya empati tidak mudah menghakimi, apalagi membenci.
Kurikulum cinta tidak menyuruh anak “menyamakan semua agama”. Bukan itu tujuannya. Tapi agar anak mampu memahami bahwa orang lain punya cara berbeda dalam melihat Tuhan, dan itu bukan alasan untuk membenci atau merendahkan mereka.
Dari kacamata psikologi perkembangan, ada masa kritis dalam hidup anak ketika mereka mulai membentuk identitas dan rasa percaya terhadap dunia. Di fase inilah, anak sangat butuh lingkungan yang aman, penuh penghargaan, dan membangun rasa diterima.
Di Finlandia, pendidikan karakter tidak diajarkan sebagai mata pelajaran tersendiri, melainkan dilebur ke dalam seluruh proses belajar. Mereka tidak hanya mengajarkan anak-anak “apa yang benar”, tetapi juga “mengapa itu penting”. Inilah yang masih jarang kita lakukan. Seringkali, kita hanya menuntut anak tahu dan patuh, tanpa benar-benar memahami dan merasakan. Padahal, tanpa pemahaman emosional, nilai-nilai hanya akan tinggal di atas kertas.
Menurut Jean Piaget, anak-anak di usia dini cenderung egosentris. Mereka belum mampu melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Jika tidak dibimbing dengan dialog, interaksi sehat, dan pendekatan penuh cinta, egosentrisme ini bisa menetap dan menjadi sikap yang eksklusif.
Inilah celah yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal. Mereka masuk dari rasa keterasingan, luka batin, atau kebutuhan akan makna yang tak terpenuhi. Neil Shortland, dalam The Psychology of Terrorism, mencatat bahwa banyak ekstremis muda justru lahir dari perasaan tidak dianggap, putus relasi, atau kegagalan membangun jati diri.
Kurikulum cinta bisa menjadi vaksin untuk semua itu. Ia membangun pertahanan psikologis, memperkuat relasi sosial, dan menanamkan bahwa anak itu berharga apapun latar belakangnya. Anak-anak yang tumbuh dengan cinta dan penerimaan, tidak mudah terjebak dalam ideologi benci.
Lembaga pendidikan kita juga perlu lebih berani mengubah indikator keberhasilan. Bukan hanya nilai ujian dan raport, tapi sejauh mana anak bisa bersikap welas asih, mampu mendengarkan orang lain, dan bertindak adil. Ini memang sulit diukur, tetapi bukan berarti tidak bisa dirancang. Kita bisa mulai dengan refleksi mingguan, jurnaling empati, hingga proyek sosial yang melibatkan lintas keyakinan.
Tentu saja, kurikulum cinta tidak akan berjalan jika hanya dibebankan pada sekolah. Ia harus menjadi gerakan Bersama yang dimulai dari rumah, diperkuat oleh guru, didukung oleh negara, dan diteladani oleh tokoh-tokoh agama serta publik.
Cinta tidak akan tumbuh dari seminar. Ia tumbuh dari pelukan orang tua saat anak bingung. Dari guru yang tidak marah saat anak berbeda pendapat. Dari ruang kelas yang penuh warna, bukan hanya satu suara. Dan dari narasi publik yang merayakan keberagaman, bukan membakarnya.
Mari kita jaga anak-anak kita. Bukan hanya dari narkoba atau pornografi. Tapi juga dari racun kebencian yang yang secara diam-diam mengancam. Fanatisme, eksklusivisme, dan intoleransi akan selalu menjadi ancaman. Karena sekali benih itu tumbuh, ia akan sulit dicabut.



