Oleh Gunoto Saparie
Di sebuah perpustakaan kecil di kampung kecil, di pelosok Jawa Tengah, debu lebih rajin datang daripada pembaca. Lemari buku berderit bila disentuh, katalog berisi judul-judul yang tak lagi dicari. Namun, di laporan provinsi, dana telah digelontorkan. Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang perpustakaan memang hadir saban tahun, seperti doa yang tertulis rapi di kertas, namun tak dibaca langit.
Jawa Tengah bukan tak punya niat. Ratusan miliar rupiah sejak beberapa tahun silam disalurkan demi “penguatan literasi”, istilah yang kini sering dipakai para pejabat seperti mantra. DAK itu seharusnya menjelma menjadi rak buku baru, pustakawan terlatih, aplikasi katalog daring, bahkan mobil perpustakaan keliling yang menyapa desa-desa. Tetapi kenyataan, seperti biasa, lebih keras dari harapan. Sebagian dana berakhir sebagai pengadaan formalistik, proyek pembangunan ruang baca yang akhirnya dikunci karena tak ada yang menjaga. Buku-buku datang, tetapi tak dibaca. Karena tak sesuai. Buku motivasi, laporan keuangan, atau sejarah BUMN. Tidak ada cerita rakyat. Tidak ada dongeng dari lereng Merbabu atau bukit Bergota.
Masalah itu bukan baru. Juga bukan hanya soal anggaran. Tapi soal pandangan. Di banyak tempat, perpustakaan dianggap semata urusan fisik: bangunan yang bisa diresmikan, bukan ruang hidup yang perlu dihidupi. Maka dana pun lebih sering terserap untuk belanja modal: pembangunan gedung, pengadaan furniture, daripada untuk pelatihan pustakawan atau penyusunan program literasi jangka panjang. Di tengah euforia proyek, yang sering luput adalah: siapa yang akan membaca?
- Iklan -
Kita telah lama membangun tanpa merawat. Dana dikucurkan dengan ketelitian akuntansi, tapi miskin pada soal kepekaan. Tak jarang, daerah bingung saat menerima DAK karena program yang diwajibkan pusat tidak sesuai kebutuhan lokal. DAK memang bersifat earmarked, dialokasikan khusus untuk program tertentu yang sering kali tak memberi ruang diskresi. Maka, alih-alih membangun sistem perpustakaan yang hidup, banyak pemda hanya menunaikan kewajiban administratif: membuat proposal, menyerap dana, membuat laporan, lalu selesai. Literasi tetap jalan di tempat, bila tidak mundur pelan-pelan.
Dalam beberapa catatan, pengawasan terhadap penggunaan DAK perpustakaan juga kerap tumpul. Bukan karena tak ada audit, tetapi karena literasi dianggap bukan prioritas. Maka salah kelola dibiarkan menguap begitu saja. Buku-buku baru masih dibungkus plastik berdebu. Anggaran habis sebelum ide tumbuh. Di beberapa kabupaten, perpustakaan desa tak pernah dibuka sejak diresmikan. Mungkin karena tak ada listrik. Mungkin karena tak ada petugas. Mungkin karena tak ada yang peduli.
Tetapi, saya kira, yang lebih menyedihkan adalah diamnya para pembaca. Kita telah terlalu lama menyerahkan urusan pengetahuan kepada birokrasi. Seakan buku adalah urusan negara. Padahal membaca, dan keinginan untuk terus membaca, tumbuh di ruang-ruang yang lebih sunyi dari sidang anggaran. Di situ, kadang-kadang, hanya butuh satu rak buku kecil, satu orang yang sabar menjaga, dan anak-anak yang datang karena ingin tahu dunia di balik kata.
Maka barangkali, yang perlu kita pertanyakan bukan hanya efektivitas pengelolaan DAK perpustakaan, tetapi cara kita selama ini memandang perpustakaan itu sendiri. Apakah ia masih kita anggap penting? Atau ia hanya menjadi bangunan tambahan di kompleks kantor kecamatan, yang bisa difoto saat kunjungan menteri?
Saya ingat sebuah kalimat dari Jorge Luis Borges: “Saya membayangkan surga itu seperti perpustakaan.” Tapi itu Borges, yang hidup di antara kata dan kesunyian. Di sini, surga kadang disusun dengan beton, dipertanggungjawabkan lewat SPJ, dan dilupakan setelah peresmian. Sementara buku-buku menunggu, di rak yang makin berdebu, seperti rahasia yang tak pernah dibuka.
Kita tahu, DAK bidang perpustakaan mengalir saban tahun ke kabupaten, kota, bahkan provinsi. Ia datang seperti musim hujan yang rutin, dengan janji tumbuhnya taman baca, mobil literasi, dan pustakawan-pustakawan muda yang gemar menata masa depan. Tetapi, seperti banyak hal dalam republik ini, anggaran lebih sering mencatat dirinya sendiri daripada mencatat dampaknya.
Persoalannya sesungguhnya tidak cukup dengan mengalokasikan dana. Apalagi dana yang ditentukan pusat dengan formula yang sering tidak menengok wajah perbukuan di daerah. Yang lebih penting dan lebih sulit adalah memastikan dana itu tidak lenyap ke dalam keheningan tadi. Karena tidak ada yang lebih sunyi dari perpustakaan yang dibangun tanpa pembaca. Dan tidak ada yang lebih licik dari anggaran yang dihabiskan tanpa pengawasan.
Maka kita bertanya: di mana pengawasan itu berada?
Ia kadang hadir sebagai formalitas: laporan audit, monitoring tahunan, berita acara serah terima buku. Tetapi seperti kata Nietzsche, formalisme adalah ketika aturan menjadi lebih penting daripada kehidupan. Pengawasan yang baik tidak hanya mengecek kuitansi, tapi juga bertanya: apakah buku itu dibaca? Apakah pelatihan pustakawan dilakukan? Apakah ruang baca itu benar-benar dibuka?
Tanpa pengawasan yang hidup, DAK bisa berubah menjadi sekadar proyek pengadaan. Kursi ergonomis dibeli, komputer dipajang, bangunan direnovasi. Tetapi semangat membaca tidak ikut dibangun. Kita melihat ironi itu di banyak tempat: perpustakaan dengan pendingin udara, tapi tak ada listrik. Buku baru, tapi masih disegel plastik. Petugas terlatih, tapi kontrak hanya tiga bulan.
Pengawasan seharusnya bukan hanya soal teknis, tetapi juga etika. Etika menjaga agar uang negara, yang dikutip dari rakyat, kembali ke rakyat dalam bentuk yang bermakna. Dalam dunia perpustakaan, itu berarti akses terhadap pengetahuan. Kesempatan untuk tumbuh. Jalan bagi anak desa mengenal dunia lewat halaman-halaman yang tak terjangkau oleh jalan raya.
Sayangnya, di banyak daerah, pengawasan tidak menyentuh substansi itu. DAK dinilai berhasil jika serapan mencapai 100 persen. Tetapi tak pernah ditanya: 100 persen dari apa? Dari sekadar realisasi belanja, atau dari perubahan yang nyata?
Barangkali karena itu kita perlu menyusun ulang cara kita memandang dana perpustakaan. Ia bukan sekadar pos anggaran, melainkan pernyataan moral: bahwa negara hadir untuk mencerdaskan. Dan pengawasan terhadapnya adalah kewajiban politik yang harus terus kita hidupkan; di ruang dewan, di meja inspektorat, juga di kepala para warga.
Karena dalam buku-buku yang tak terbaca itu, ada harapan yang tertunda. Dan dalam dana yang dikelola tanpa pengawasan, ada masa depan yang diam-diam dibatalkan. Kita perlu lebih dari sekadar laporan. Kita butuh mata yang peduli, dan suara yang berani bertanya: ke mana perginya uang buku itu?
Dan barangkali, kita juga butuh pembaca. Bukan hanya pembaca buku, tetapi juga pembaca anggaran. Karena dari sanalah, perpustakaan akan benar-benar hidup. Tidak hanya sebagai bangunan, namun sebagai janji yang ditepati.
*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah



