Oleh: Muhammad Aswar
Tak semua jemaah sadar, tapi negara mengerti bahwa di tengah jutaan orang yang bersimpuh di hadapan Kakbah, terselip satu kenyataan yang kian nyata, haji bukan lagi sekadar perjalanan spiritual. Ia telah menjadi bagian dari percakapan geopolitik, investasi, dan posisi tawar antarnegara.
Kunjungan Presiden Prabowo ke Arab Saudi bukan cuma soal penguatan hubungan bilateral. Ada yang lebih dalam, yaitu pembicaraan tentang visa haji, layanan jemaah, sekaligus kesepakatan investasi puluhan miliar dolar. Agama dan ekonomi saling berdampingan. Bahkan saling menumpangi.
- Iklan -
Arab Saudi, dengan posisi unik sebagai penjaga dua tanah suci sekaligus pemimpin de facto dunia Islam, mengelola haji sebagai dua hal sekaligus: ibadah dan industri. Di balik pelayanan tenda, katering, dan kuota, mengalir miliaran dolar dari negara-negara pengirim jemaah.
Indonesia, sebagai negara dengan jemaah terbesar, menempati posisi khusus. Tiap tahun lebih dari 200 ribu warganya mengalir ke Mekah dan Madinah. Jumlah itu bukan hanya angka spiritual, tapi juga data strategis. Saudi tak bisa mengabaikannya, dan kita pun tak bisa menegosiasikannya sembarangan.
Diplomasi haji telah jadi jalan halus untuk menyampaikan kepentingan. Di sanalah muncul permintaan fasilitas lebih baik, sistem antrean lebih adil, hingga potensi pengaruh dalam arah kebijakan Saudi terhadap Asia Tenggara. Agama jadi jembatan diplomasi, bukan sekadar urusan langit.
Antara Investasi, Ibadah, dan Strategi
Dalam kunjungan terbaru, Presiden Prabowo juga berhasil membuka jalan bagi investasi Saudi ke Indonesia, terutama di bidang energi dan infrastruktur. Ini menunjukkan bagaimana satu kunjungan bisa memuat tiga lapis pesan yakni spiritual, ekonomi, dan politik.
Kerja sama semacam ini tak bisa dilihat lepas dari konteks Timur Tengah yang sedang panas. Ketegangan Iran-Israel, gejolak harga minyak, dan ketidakpastian keamanan regional membuat Saudi ingin menjangkarkan diri ke kawasan yang stabil, dan Indonesia adalah salah satu pilihannya.
Dengan posisi nonblok, Indonesia tak punya musuh besar. Itu membuat kita jadi mitra aman bagi Saudi, terutama dalam proyek-proyek yang tak ingin terseret konflik kawasan. Maka, ketika kita bicara soal penambahan kuota haji, Saudi juga melihatnya sebagai peluang memperdalam hubungan jangka panjang.
Namun hubungan semacam ini juga membawa tantangan. Ketika ibadah masuk ke arena diplomasi, potensi politisasi meningkat. Misalnya, negara yang dinilai “tidak bersahabat” bisa saja dibatasi visanya. Atau sebaliknya, negara yang “patuh” akan diberi prioritas pelayanan. Inilah titik di mana spiritualitas dan kekuasaan saling bersinggungan.
Indonesia perlu waspada, tapi bukan takut. Kita punya modal kuat: populasi muslim terbesar di dunia, sejarah Islam moderat, dan rekam jejak damai dalam hubungan internasional. Kita bisa masuk lewat jalur lunak, tanpa ancaman, tapi tetap tegas dalam prinsip.
Peluang Baru, Tanggung Jawab Baru
Dalam konteks diplomasi agama, Indonesia seharusnya bisa mengambil posisi lebih aktif. Bukan hanya sebagai konsumen layanan ibadah, tapi juga sebagai penyumbang gagasan. Kita punya pengalaman panjang dalam pengelolaan jemaah, pelatihan petugas, hingga manajemen sosial jamaah dalam skala besar.
Diplomasi haji seharusnya tak berhenti pada urusan kuota atau antrean panjang. Ia bisa diperluas menjadi kerja sama riset kesehatan haji, pertukaran manajemen pelayanan ibadah, bahkan pelatihan bersama antarnegara muslim. Bayangkan jika Indonesia bisa menjadi pusat pelatihan logistik haji untuk Asia.
Di sinilah pentingnya membenahi rumah sendiri. Masalah klasik seperti transparansi dana haji, pemilihan mitra layanan, dan edukasi jemaah masih perlu perbaikan. Kita tak bisa menuntut pelayanan lebih baik di luar negeri jika di dalam negeri masih banyak bolongnya.
Yang juga perlu disadari bahwa haji adalah etalase wajah Islam Indonesia. Di sana, dunia melihat bagaimana kita bertingkah laku, bagaimana jemaah kita bersikap. Maka diplomasi haji bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga cermin akhlak publik kita. Ini tanggung jawab kolektif.
Akhirnya, diplomasi haji adalah cara Indonesia menyapa dunia Islam dengan tenang. Tanpa kekuatan militer, tanpa tekanan ekonomi, kita bisa hadir sebagai mitra yang manusiawi, cerdas, dan bisa dipercaya. Bukan dengan retorika tinggi, tapi dengan komitmen melayani.
Jika hari ini haji telah masuk dalam arena diplomasi global, maka tugas kita bukan menolaknya, melainkan merawatnya agar tak kehilangan ruh. Indonesia punya peluang besar untuk menjadi kekuatan spiritual-politik yang disegani, bukan karena uang atau senjata, tapi karena ketulusan dan kerapihan dalam melayani umatnya.
Di antara lantunan talbiyah dan deru bus diplomasi, semoga ruh ibadah tetap terjaga. Dan semoga Indonesia tetap bisa hadir di panggung dunia bukan dengan gaduh, tapi dengan sejuk.
Muhammad Aswar, dosen STAI Sunan Pandanaran dan pemerhati geopolitik Asia Pasifik di Arabi Institute.



