Oleh Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum.
Pada masa kini mencari seorang pemimpin sejati sangatlah sulit, ibaratnya seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Pemimpin negara yang didalamnya termasuk para politisi, partai politik, elite politik, dan penguasa telah merefleksikan noda hitam tata kelola pemerintahan. Mereka kerap terjerat kasus korupsi, kolusi, nepotisme, gratifikasi serta melakukan tindakan amoral lainnya hingga menjadi “bulan-bulanan” cemoohan masyarakat. Di satu sisi, adanya sifat tamak membuat mereka menghalalkan segala cara hingga rela melakukan kebohongan publik demi melanggengkan kekuasaan.
Sungguh mereka telah menyia-nyiakan amanah yang diberikan rakyat. Jika dibiarkan terus menerus, hal ini tentunya dapat merusak fondasi sosial, ekonomi, dan politik bangsa.
Para penguasa mungkin lupa bahwa kepemimpinan atau jabatan pada hakikatnya bukanlah suatu keistimewaan tetapi merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Allah swt di dalam Al Qur’an Surat An Nisa ayat 58 berfirman,”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”
- Iklan -
Rasulullah SAW pun sudah mengingatkan bahwa “Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanat dan pada hari akhirat kepemimpinan itu adalah rasa malu dan penyesalan. Kecuali orang yang mengambil dengan haq serta melaksanakan tugas kewajibannya” (HR. Muslim).
Oleh karenanya, kepemimpinan dalam pandangan Al Quran bukan sekadar kontrak sosial, antara pemimpin dengan rakyatnya, namun merupakan perjanjian dengan Allah SWT. Tanggung jawab seorang pemimpin tentu jauh lebih besar dari yang lainnya, karena tanggung jawab pemimpin adalah dunia akhirat.
Wejangan Sunan Bonang untuk Pemimpin
Sebagai seorang wali yang merupakan putra dari Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila, Sunan Bonang yang memiliki nama asli Syekh Raden Maulana Makdum Ibrahim merupakan salah satu tokoh penting yang banyak memiliki wejangan-wejangan atau piwulang untuk para pemimpin.
Meskipun beliau bukan seorang penguasa dalam arti literal, seperti raja atau sultan, namun Sunan Bonang memegang peranan yang sangat penting dalam pendirian Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Bahkan ia kerap menjadi penasihat spiritual bagi para pemimpin Demak.
Sunan Bonang pernah memimpin tiga persidangan besar yang pernah diadakan oleh para wali, yaitu sidang mengenai pengangkatan Raden Patah sebagai Raja Islam Demak yang pertama, sidang mengenai pendirian Masjid Demak, serta sidang mengenai ajaran Siti Jenar.
Selain itu, Sunan Bonang juga berperan dalam mengusulkan persyaratan bagi pelantikan raja-raja yang akan menjadi pemimpin tertinggi di Tanah Jawa. Hal ini terdapat dalam Babad Tanah Jawi.
Pada masa Kerajaan Demak berperang, Sunan Bonang juga memiliki peran untuk memimpin tentara Demak menghadapi musuh-musuhnya. Sunan Bonang memberikan nasihat berharga dan mengajarkan strategi perang menghadapi Majapahit kepada panglima tentara Islam, Sunan Kudus.
Wejangan Sunan Bonang tidak hanya disampaikan melalui dakwah secara langsung, namun juga banyak terdapat dalam karya sastra bercorak tasawuf yang seringkali disebut suluk. Suluk memiliki arti menempuh jalan kesempurnaan batin atau jiwa, yakni melalui ajaran tasawuf atau tarekat (Arif, 2016:122). Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang yang disebut suluk itu masih ada dan dianggap sebagai karya sastra yang sangat hebat. Dan ajaran Sunan Bonang itu sendiri cukup untuk mewakili ajaran Walisanga lainnya (Zaairul Haq, 2012:60).
Berikut adalah wasiat Sunan Bonang yang yang bisa dipedomani oleh para pemimpin.
Pertama, Pemimpin Harus Menjauhi Tiga Musuh Utama. Menurut Sunan Bonang, ada tiga musuh utama manusia, yaitu dunia, hawa nafsu, dan setan. Oleh karena itu, seorang pemimpin harus menjauhi atau melawan tiga musuh utama tersebut.
Bahayanya bila seorang pemimpin sudah dikuasai cinta dunia, tentu ia akan menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Tak peduli lagi apakah itu menyengsarakan rakyat atau tidak, yang penting tujuannya tercapai.
Begitu pula bila pemimpin yang sudah dikuasai oleh hawa nafsu, ia bisa melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan pengkhianatan terhadap amanah. Dan yang lebih parah lagi, apabila pemimpin dikuasai oleh setan, ia akan melakukan segala kemungkaran, termasuk mengajak orang lain agar bersama-sama dirinya mengerjakan kemungkaran.
Dalam Suluk Wujil, Sunan Bonang memiliki nasihat agar manusia bisa mengendalikan hawa nafsu serta mampu membersihkan diri (tazkiyatun nafs) seperti dalam kutipan berikut, “Sebaiknyalah mengendalikan hawa nafsumu, hai Wujil. Jika sudah kau ikat, jangan terlalu banyak bicara, jangan terlalu memaksakan kemauan, menuruti kemauan pribadi. Itu jalan yang sesat” (Purwadi, 2015:165).
Dengan melakukan mujahadah (perjuangan melawan hawa nafsu) maka jiwa dapat melakukan pendakian dan menempuh fase-fase pencapaian rohani hingga pada taraf manunggaling kawula Gusti, seperti dalam kutipan Suluk Wujil bait 71 berikut (Asti Musman, 2021:193), “Yen sira’rsa temu, sirnakena raganira, yen sira wus atemu akaron kapti, kapti anunggal karsa (Jika kau ingin menemukan-Nya, maka kau harus menghancurkan nafsu-nafsumu. Jika kau telah menemukan-Nya, maka kemauanmu akan manunggal dengan kemauan-Nya”).
Pencapaian taraf hidup pada tingkat makrifat tersebut (manunggaling kawula Gusti) membuat pemimpin tidak akan lupa akan hakikat hidup serta perannya sebagai seorang pemimpin. Ia tentu akan lebih memiliki kontrol diri sehingga tidak lagi mengutamakan kepentingan kepentingan pribadi atau kelompoknya, apalagi memiliki keserakahan terhadap kekuasaan.
Kedua, Pemimpin Tidak Menunjukkan Sikap Semena-mena. Saat ini masih banyak pemimpin yang bersikap sombong dan angkuh terhadap rakyat yang dipimpinnya. Baginya menjadi seorang pemimpin adalah sebuah privilege yang membuatnya merasa lebih istimewa dibanding rakyat biasa. Oleh karenanya mereka pun tak sungkan untuk meminta gaji tinggi, tunjangan, rumah dinas, serta privilege lainnya yang nyatanya dibiayai uang negara/rakyat.
Yang lebih parah lagi, tindakan semena-mena juga dipertontonkan para pemimpin negeri ini dimana saat mereka terbukti melanggar hukum, namun mereka masih mendapatkan privilege, yaitu intervensi politik yang membuat mereka kebal hukum.
Hal ini tentu melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan dan hukum yang terlihat tebang pilih. Apalagi supremasi hukum bagi para penguasa yang melakukan penyalahgunaan wewenang nyatanya tidak menciptakan efek jera di negeri ini.
Lain halnya jika kita melihat pola kepemimpinan Sunan Bonang yang diteladani. Meskipun beliau memiliki kedudukan tinggi, Sunan Bonang tetap hidup sederhana dan tidak sombong, tanpa perlu mendapat perlakuan istimewa dari orang-orang yang dipimpinnya. Bahkan ia pun tidak segan bergaul dengan rakyat biasa.
Ia juga tidak pernah pamer harta dan kuasa. Andai saja Sunan Bonang mau, dengan karomah yang dimilikinya, beliau bisa saja menumpuk kekayaan dan hidup berfoya-foya. Bayangkan saja, apa yang bisa disentuh Sunan Bonang akan bisa berubah menjadi emas (Asti Musman, 2021:85). Namun, karomah atau keistimewaan yang dimiliki Sunan Bonang tersebut hanya berani ditunjukkannya pada kepemimpinan yang zalim semata-mata. Dan ia memanfaatkan kesaktiannya tersebut hanya untuk membantu orang lemah atau miskin.
Dalam bidang penegakan hukum, Sunan Bonang dipandang adil dalam membuat keputusan yang memuaskan orang banyak, melalui sidang-sidang pengadilan yang dipimpinnya. Misalnya dalam kisah pengadilan atas diri Syeikh Siti Jenar, alias Syeikh Lemah Abang.
Ada wejangan khusus Sunan Bonang terhadap seorang pemimpin dalam penegakan hukum ini, yaitu “Berilah payung kepada orang yang kehujanan” dimana kata “payung” dalam hal ini dapat dimaknai sebagai perlindungan hukum (Rizem Aizid, 2024:129). Seorang pemimpin harus menjamin dan memberikan perlindungan hukum kepada rakyat yang dipimpinnya. Perlindungan itu harus berdiri di atas nilai-nilai Islam, yaitu jujur, amanah, adil, dan tidak memihak. Siapapun yang salah harus dihukum, tak terkecuali bagi seorang pemimpin yang zalim.
Ketiga, Pemimpin Harus Mensejahterakan Rakyatnya. Seorang pemimpin harus peduli terhadap kesejahteraan rakyatnya. Kesejahteraan itu bukan hanya sekadar memberi materi seperti makan atau uang kepada rakyat, namun juga pemimpin harus mampu membimbing rakyatnya agar dapat meningkatkan taraf hidup.
Hal ini seperti yang dinasehati Sunan Bonang kepada salah satu muridnya yaitu Raden Said (yang kemudian menjadi Sunan Kalijaga), “Banyak hal yang bisa kau lakukan untuk mengentaskan kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini. Kau tidak bisa mengubahnya hanya dengan memberi bantuan makan dan uang kepada para penduduk miskin. Kau harus memperingatkan pada penguasa yang zalim agar mau mengubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya” (Rahayu Basuki, 2002:39).
Taraf hidup masyarakat akan menjadi lebih baik tentunya jika pemimpin membekali mereka dengan pendidikan. Wejangan Sunan Bonang berikut ini tentu sangat menginspirasi bagi seorang pemimpin agar memberikan jaminan pendidikan bagi rakyatnya dibanding hanya sekadar membagi-bagi makanan gratis atau uang seperti dalam kutipan berikut, “Berilah tongkat kepada orang buta”. Pengertian buta di sini bukan secara tekstual (Rizem Aizid, 2024:123), melainkan simbol untuk “kebodohan”, “kemiskinan”, dan “kesengsaraan”. Sedangkan tongkat adalah simbol ilmu pengetahuan. Pemimpin harus menjamin pendidikan bagi rakyatnya. Sebab, dengan pendidikan pendidikan dan ilmu pengetahuan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dapat dicapai.
Dengan memahami dan menjalani wejangan-wejangan Sunan Bonang tersebut, semoga para pemimpin di negeri ini dapat menjalankan amanah yang diberikan, sehingga akan terwujud masyarakat yang makmur sejahtera. Terlebih memiliki ketakwaan terhada Tuhan Yang Maha Esa.
-Akademisi, Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya