Oleh S. Prasetyo Utomo
KONTEMPLASI laut yang ditulis penyair dalam puisi membuka banyak tafsir pembaca. Kegiatan di sekitar laut tak sekadar menjadi pemenuhan fenomena alam. Laut bisa saja bermakna sosial, spiritual, dan transendental. Saya memilih lima puisi D. Zawawi Imron yang berobsesi tentang laut. Lima puisi tentang laut ini tercantum dalam buku Madura, Akulah Darahmu (Grasindo, 1999) dengan sudut pandang yang otentik.
Kelima puisi itu adalah “Pelaut Muda”, “Senandung Nelayan”, “Nyanyian Laut I”, “Laut II” dan “Laut Menganga”. Ketajaman intuisi menjadi kekuatan D. Zawawi Imron untuk menyingkap kearifan tentang laut dalam dialektika sosial spiritual, dan transendental.
Dengan kekuatan intuisi, D. Zawawi Imron mencipta kompleksitas makna laut. Berkembanglah tafsir puisi tentang kearifan laut yang memiliki berlapis-lapis makna. Saya terkesima dengan pandangan otentik penyair untuk mengembangkan estetika yang membuka pengalaman tentang pergolakan jiwa manusia dalam memaknai laut.
- Iklan -
***
SUNGGUH menarik puisi “Pelaut Muda” yang dicipta D. Zawawi Imron untuk menggambarkan kegigihan etos para pelaut Madura. Mereka penuh kecintaan terhadap istri, penuh harapan, dan tak mengenal rasa takut akan tantangan. Dalam larik puisi berikut ini, tampak benar bahwa etos pelaut telah menumbuhkan kegigihan untuk menaklukkan laut dengan kemenangan hati atas segala hal yang dicintai. Nelayan akan selalu setia mengarungi laut, untuk menuntaskan etosnya: jauh/teluk biru kembali bisu/ mendekap lambaian hati/ kembali ditatapnya bulan setengah lingkaran/ saksi atas kemenangan/ menyanding gadis teluk itu/ olle ollang/ mendesir angin segara/ olle ollang/ Madura hilang ditelan gulita/ kepergian setiap kali/ ninggalkan debur gelombang/ di laut dada istrinya/ seperti ia tak kan kembali/ kalau pun kembali/pasti berangkat ke laut lagi//
Puisi “Senandung Nelayan” karya D. Zawawi Imron menyingkap segala kegetiran hidup nelayan dalam mencintai laut. Nelayan mencari ikan di laut, bersaing dengan kapal-kapal berteknologi tinggi dan memendam api cemburu. Akan tetapi, pada saat nelayan melaut, tersingkap teka-teki tentang rezeki. Keyakinan ini melenyapkan luka jiwa dari masa silam, membangkitikan harapan, iman pada Sang Pencipta, dan kecintaan berlayar mengarungi laut: oi, buih-buih zaman saling memburu/ kali ini doaku lumpuh/ gagal mengusap tujuh penjuru/ pada siapa kan kulepas napas cemburu?// dari bisik ke bisik perahu beringsut maju/ jika nanti bulan datang menyingkap teka-tekimu/ tak sia-sia kujilat luka purba/ tempat senyum menetas/ jadi iman dan layar//.
Kontemplasi tentang laut dalam puisi dapat dimaknai sebagai keseimbangan kosmologi. Dalam pandangan D. Zawawi Imron, antara laut dan langit berkembang kesadaran nelayan akan transformasi budaya. Dengan bahasa simbol, penyair mengekspresikan kosmologi laut dan langit dalam puisi “Nyanyian Laut I”. Keseimbangan kosmologi telah menjadi daya tarik tafsir puisi ini. “Langit” dapat dimaknai sebagai simbol “luasnya ilmu pengetahuan”. “Laut” dapat ditafsirkan sebagai simbol “kebesaran ciptaan Allah”. Ada pun “ombak” dapat ditafsirkan sebagai simbol “transformasi atau perubahan dalam hidup”. Penyair mengekspresikan harapannya akan transformasi dalam perubahan hidup manusia. Transformasi manusia itu tercipta karena keluasan ilmu pengetahuan, yang menyebabkan manusia gelisah untuk menemukan budaya baru. Kebesaran Allah, kesetiaan dan kecintaan manusia terhadap-Nya, menjadi saksi transformasi budaya yang mengharumkan nama manusia: siapa tahu, apa kerja ombak?/ — “meniru warna langit/ dengan cara yang gelisah” – katanya/ dan benar, bahkan angin bersumpah/ akan membantu tanpa imbalan/ dalam menguji kesetiaan // hanya bila laut menguak/ langit semakin diam/ lantaran wangimu sedang kurekam//. Puisi ini mengajarkan pada manusia untuk melakukan transformasi budaya atas kebesaran Sang Pencipta.
Transendensi laut diekspresikan D. Zawawi Imron dalam puisi “Laut II”. Seorang nelayan mengarungi laut bukan sekadar mencari nafkah, tetapi lebih merupakan upaya menjalankan spiritualitas. Dengan mengarungi laut, nelayan menjalankan takdirnya sebagai makhluk yang mesti menjaga keagungan laut dengan kekayaan ikan-ikan di dalamnya. Ketangguhan jiwa nelayan ditandai dengan keberanian mengarungi samudra: di tengah samudra jingga/ sujudku berlantai karang/ kudengar tangis kenyataan/ “ombak dan elang yang iri pada nelayan”/ tapi aku harus memihak/ pada ikan-ikan yang jadi rebutan //.
Zawawi Imron memaknai spiritualitas nelayan sebagai sebuah jiwa yang tak pernah menyerah pada tantangan laut. Kemurnian spiritualitas dan ketulusan hati nelayan dalam proses kearifan manusia menghadapi tantangan laut. Ia menulis puisi “Laut Menganga”, menyuarakan ketangguhan jiwa nelayan setelah kepasrahan jiwa terhadap Sang Pencipta atas laut. Spiritualitas penyair ini dicapai dengan cara memandang atmosfer yang melingkupi laut mencipta ketenangan jiwa nelayan dalam larik-larik puisi berikut ini: beribu sampan berlayar/mencari mimpi yang hilang/ ditelan gemuruh rantai// laut menganga meniru luka/ matahari, bulan dan bintang/ masuk padanya/ berbekal keheningan//.
***
SUGESTI yang diekspresikan D. Zawawi Imron mengenai kontemplasi laut ternyata didasari pandangan yang saling melengkapi. Saya menemukan lima kearifan penyair yang menyentuh kesadaran manusia. Betapa menarik lima puisi D. Zawawi Imron mengenai laut, nelayan, dan kosmologi yang melingkupinya. Kontemplasi makna puisinya membawa kesadaran transendensi.
Dengan cara yang sangat humanis, D. Zawawi Imron menawarkan kearifan kontemplalsi mengenai laut sebagai (1) etos nelayan yang menumbuhkan kegigihan untuk menaklukkan laut dengan kemenangan hati, (2) menyingkap segala kegetiran hidup nelayan dalam mencintai laut, (3) mengekspresikan harapan akan transformasi dalam perubahan hidup manusia, (4) upaya menjalankan spiritualitas., dan (5) ketulusan hati nelayan dalam proses menghadapi tantangan laut.
Yang paling menarik, puisi-puisi D. Zawawi Imron tentang laut telah memuliakan para nelayan untuk menemukan etos, harga diri, keberanian, dan sprititualitasnya sebagai manusia. Laut membawa renungan bagi pembaca pada kesadaran sosial, humanisme, dan transendensi. Mata rantai kegiatan ini menjadi rahmat bagi manusia. Makna laut dalam larik-larik puisi sebagai sebuah proses kesadaran manusia akan keilahian. Manusia tak sekadar menempuh tantangan hidup, tetapi melacak pencarian keagungan keilahian di baliknya.
***
*) S. Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.