Oleh: Khairul Anwar
Seorang teman, sebut saja namanya Egi, beberapa waktu lalu berkeluh kesah. Dia menceritakan pengalaman tak mengenakan yang dialaminya sejak awal tahun ini. Egi yang lulusan sarjana ekonomi sebuah kampus negeri di tahun 2024, memang sedang berjuang mencari pekerjaan. Ia bergerak dari satu lokasi ke lokasi lain, menyerahkan berkas lamaran pekerjaan.
Sembari menunggu panggilan, ia tetap beraktivitas seperti biasanya, yakni membantu orang tuanya jualan sayuran di pasar dari subuh hingga pukul 09.00 WIB pagi. Dari hasil membantu orang tuanya, Egi mendapat upah Rp 10-15 ribu sehari. Uang itu dipakai untuk kebutuhan mendaftar kerja, seperti menyiapkan surat-surat lamaran, beli bensin, dan saku di perjalanan. Sebab, bagaimanapun, Egi menginginkan mata pencaharian yang lebih baik.
Dari loker teller Lembaga Perbankan, waiters restoran papan atas, hingga admin di sebuah konter hape, sudah ia jajal. Namun, hasilnya nihil. Ketika satu lamaran tertolak, ia kemudian menggerakan kaki ke tempat kerja lain. Namun lagi-lagi, Egi belum beruntung. Enam tempat kerja yang sudah ia masuki selama periode Januari hingga Mei 2025, tak ada satu pun yang menerimanya.
- Iklan -
“Saya sempat masuk tahap akhir yakni wawancara di Lembaga Perbankan dan Konter Hape, namun saat masa pengumuman, nama saya tidak lolos. Saya sudah berjuang sekuat tenaga. Saya sedih dan kesal. Apalagi saya mendengar isu jika yang keterima di tempat kerja yang saya lamar, masih punya hubungan kekeluargaan dengan orang dalam”
Pernyataan itu tiba-tiba keluar dari mulut Egi. Ia tak hanya kesal karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan, namun ia kaget dan tersentak tatkala tahu bahwa ia kalah dengan pelamar yang punya orang dalam. Padahal, menurut Egi, jika diamati dari gaya bicara dan penampilan, ‘pesaingnya’ itu tidak terlalu menonjol. Egi merasa bahwa dirinyalah yang lebih pantas terpilih menjadi Teller Bank. Sayangnya, Egi tak berpikir jauh, bahwa ia sedang hidup di Indonesia, negeri yang masih menganut paham nepotisme.
Nepotisme, dalam pandangan beberapa tokoh, adalah tindakan mengutamakan atau memberikan keuntungan kepada kerabat atau orang dekat dalam berbagai bidang, terutama dalam hal jabatan, posisi, atau peluang, tanpa mempertimbangkan kualifikasi atau kompetensi yang adil.
Egi masih tak habis pikir, dirinya kalah bersaing dengan orang dalam. “Saya ini kurang apa, mas. IPK saya sudah memenuhi, semua tahapan tes juga sudah saya lalui dengan baik”.
Egi tak berpikir bahwa pintar dan rajin saja tidak cukup untuk memperoleh pekerjaan di negeri yang kaya akan sumber daya alamnya ini. “Relasi dan jaringan juga perlu diperkuat,Gi,” saran saya ke Egi. Egi menunduk, merenungi nasib, tersadar bahwa selama ini ia memang jarang bergaul dengan banyak orang, terutama kepada orang-orang yang punya pengaruh.
Egi yang juga punya hobi bermain Playstation itu, selama menempuh S1, hanya kuliah-pulang kuliah-pulang. Ia tak memanfaatkan banyak organisasi di kampusnya. Tak mau membangun jaringan dengan dunia luar. Ia masuk kelas, dengerin dosen ceramah, dan pulang. Dari 14 kali pertemuan, sangat jarang sekali ia alfa kecuali sakit.
Egi hanya pintar secara akademik. Ia jago mengerjakan tugas sesuai waktu yang ditentukan. Tapi itu saja tidak cukup. Ketika selepas lulus, dan ijazah sudah digenggaman, yang diperlukan tidak hanya IPK yang tinggi, tapi juga kemampuan bersosialisasi, berkomunikasi dan berelasi.
Pentingnya Membangun Relasi
Menurut John C. Maxwell, membangun relasi sangat penting karena merupakan fondasi kesuksesan dalam kehidupan dan kepemimpinan. Relasi yang baik memungkinkan seseorang untuk mencapai potensi penuh, meraih kemenangan bersama, dan menciptakan pengaruh yang positif dalam berbagai aspek kehidupan.
Saya ada beberapa teman, yang meskipun pintar dari sisi akademis, namun ternyata minim relasi, sehingga karirnya mandek. Sebaliknya, orang yang nggak pintar-pintar banget, ternyata lebih sukses dalam karir karena memiliki relasi yang terbangun kuat. Lebih-lebih, jaringan relasi ini diperkuat dengan skill, prestasi, dan kecerdasan spiritual yang baik, tentu peluang meraih kemajuan jauh lebih besar.
Namun, sevisionernya kita dan sekuat tenaga membangun jaringan, terlebih kita bukan orang yang berduit, maka tak akan ada hasil yang memuaskan jika paham nepotisme masih mengakar terlalu dalam di negeri ini. Di dunia politik misalnya, bukan hal tabu saat kita mendengar kabar bahwa si B diangkat jadi asisten ini itu karena memiliki hubungan kedekatan dengan si A, dan lain sebagainya.
Ada banyak contoh. Silakan bisa dicek di Google. Salah satu bentuk nepotisme adalah penggunaan kekuasaan untuk meloloskan keluarga/kroninya Misalnya, ketika Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni yang juga Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu, menarik 11 kader parpol berlogo mawar merah itu untuk menjadi pengurus Organisasi Operation Management Office Indonesia’s Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030. Gaji dari tim elit ini juga lumayan besar meski tak jelas tugas dan fungsinya.
Apa yang dilakukan Raja Juli adalah bentuk praktik nepotisme. Ini menekankan hubungan pertemanan dan kedekatan karena sama-sama kader partai. Padahal, bisa saja jika ingin lebih demokratis, Raja Juli merekrut para profesional yang lebih ahli di bidang tersebut. Atau membuka open rekrutmen untuk mencari SDM-SDM berkualitas sampai ke pelosok negeri.
Jika di ranah elite saja masih banyak praktik nepotisme, yang lebih mementingkan hubungan kedekatan, maka jangan salahkan bila di lingkup grassroot juga banyak praktik-praktik serupa. Para pencari kerja seperti Egi tadi hanyalah satu di antara sekian banyak ‘korban’ yang harus tunduk pada sistem dan budaya nepotisme di segala bidang kehidupan.
Bahasa yang lebih sederhana, fenomena orang dalam masih mengakar kuat dalam dunia kerja di Indonesia. Menguntungkan yang memiliki koneksi, namun merugikan para pencari kerja yang sebenarnya lebih berpotensi. Sebenarnya, sistem nepotisme tidak hanya menjadi rintangan bagi banyak pencari kerja, tapi orang yang sudah bekerja pun juga tak bisa lepas dari jeratan nepotisme. Misalnya, seorang bawahan yang berprestasi dan punya potensi naik kelas, namun karena tak punya kedekatan dengan sang bos, akhirnya ia tetap tak bisa mencapai jenjang yang lebih tinggi.
Kapan Nepotisme Berakhir?
Pertanyaannya, entah sampai kapan, budaya nepotisme ini akan menjadi momok bagi orang-orang lemah seperti kita. Ketika yang berprestasi, punya potensi, attitude oke, kedisiplinan juga luar biasa, hanya karena tak punya relasi, akhirnya tersingkir dan tidak menjadi apa-apa. Nepotisme harus dilawan dengan meritokrasi, sebuah sistem politik yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan atau kelas sosial.
Pada akhirnya, kita, terutama para Gen Millennial dan Gen Z ini, perlu menyiapkan diri di tengah ketidakpastian kapan budaya nepotisme akan lepas landas meninggalkan bumi pertiwi. Namun, tampaknya, sampai kelak Kaesang jadi orang nomor satu di negeri ini, budaya ‘orang dalam’ masih tetap akan ada, dan sulit hilang sepenuhnya.
Bagi para mahasiswa yang sedang berjuang membahagiakan orang tuanya masing-masing, bersiaplah, bersiaplah. Bahwa kecerdasan intelektual, spiritual dan emosional saja nggak akan cukup untuk mengarungi luasnya samudra yang penuh gelombang tinggi ini, harus diimbangi dengan relationship yang bagus dengan banyak pihak, serta tentu saja, harus punya banyak duit, apalagi bagi yang bercita-cita jadi polisi. Sekian.
-Khairul Anwar, tinggal di Pekalongan. Kontributor NU Online Jateng