SYARAF TERJEPIT TERURAI
Ia datang seperti bayang-bayang,
menyelusup di sela tulang,
menambatkan gigilnya di persendian,
seperti waktu yang menunda cahaya
dalam malam yang tak kunjung selesai.
Aku menerima nyerinya
seperti musafir yang haus,
menyesap perih sebagai pengingat,
bahwa tubuh ini hanyalah pinjaman
yang kapan saja bisa ditagih pemiliknya.
Tapi Subuh tadi,
ia mencengkeram lebih erat,
menekuk langkahku, memburu sujudku,
seperti kekasih yang enggan melepaskan genggaman,
seperti dosa yang menolak dilupakan.
- Iklan -
Aku menggigit bantal,
menahan erang yang tak ingin kudengar sendiri.
Tak ada posisi yang menyelamatkan.
Tak ada sandaran selain pasrah.
Lalu aku tertidur.
Dan di batas sadar dan mimpi,
sepasang tangan tak tampak
menyelusuri nyeri itu,
mengangkatnya perlahan,
seperti angin yang menghapus jejak di pasir,
seperti bisikan yang tak ingin meninggalkan suara.
Ketika terjaga,
rasa sakit itu telah pergi —
seolah ia tak pernah ada.
Seperti rindu yang meleleh dalam pertemuan,
seperti malam yang tak kuasa
menahan fajar.
Yogyakarta, 24 Maret 2025
LAILATUL QADAR
Malam itu turun perlahan,
seperti kelopak yang gugur dalam senyap,
seperti embun yang mengaji di ujung daun,
menyentuh bumi tanpa suara.
Angin subuh menyingkap tirai langit,
membawa wangi yang hanya dikenali hati
wangi ketenangan, wangi kepulangan.
Tak ada kilat yang membelah cakrawala,
tak ada tanda yang bisa digenggam,
hanya dada yang tiba-tiba lapang,
hanya air mata yang jatuh tanpa alasan.
Malam itu turun seperti kasih,
menyelimuti yang lelah,
mengampuni yang kembali,
menyelamatkan yang tersesat.
Malam itu datang,
dan bagi siapa yang menyambutnya,
ia tak lagi sama.
Yogyakarta, 24 Maret 2025
(Malam 25 Ramadhan 1446 H)
KIANNUN
– Ultah ke-7
Kiannun, dengarkan detak jantungmu.
Ia menyimpan nyanyian leluhur,
bisikan dari zaman yang tak hilang.
Di nadimu mengalir sungai panjang,
membawa jejak para pemberani,
leluhur yang tak hanya melangkah,
tapi menanam akar di bumi.
Mereka bukan bayang-bayang,
mereka cahaya di jalanmu.
Ada kiai yang menatap langit,
mengangkat doa setinggi gunung.
Ada pendekar yang menggenggam keberanian,
menjaga iman seperti
lentera di malam panjang.
Kiannun, di pundakmu kisah itu hidup,
seperti nyala yang tak pernah padam,
seperti angin yang tak pernah letih berlari.
Dunia akan berubah,
akan datang ombak, badai,
tapi kau bukan daun kering
yang terbang,
kau perahu dengan layar terbuka,
melaju menuju lautan cahaya.
Kiannun, jika suatu hari kau merasa sendiri,
letakkan tanganmu di dada.
Dengarkan—di dalamnya ada doa kami,
agar kau tetap teguh,
karena kau dilahirkan untuk bersinar.
Yogyakarta, 24 Maret 2025
BAPAK ADALAH LANGIT
Bapak,
kau adalah langit yang tak pernah runtuh,
meski hujan kelaparan
menikam atap rumah kita.
Aku meminta dunia,
kau beri sepotong senyum.
Aku meminta lebih,
kau sisihkan lelahmu sendiri.
Di halaman rumah,
tembakau mengering,
di matamu, luka tak bersuara.
Di masjid itu,
mereka berdebat,
siapa yang layak menggantikanmu.
Namun, sepakat mereka:
namamu sebagai imam abadi,
meski kau telah seperti angin,
menghilang di antara doa.
Kini kau hanya putih—
sarung putih, baju putih, kopyah putih.
Masjid tetap menyebut namamu,
meski sujudmu telah berpulang.
Bapak,
kau ajarkan kebaikan tanpa pujian,
hidup penuh sabar,
dan memberi meski tak terlihat.
Kini aku belajar dari bapakku,
menjadi cahaya di tengah kegelapan.
Yogyakarta, 25 Maret 2025
HUJAN DI TUBUH SOLLA
Di tubuhnya, angin berbisik pelan,
membawa mendung ke dahi hangat.
Di ujung jemarinya, hujan kecil turun,
melewati malam,
seperti embun yang ragu
sebelum jatuh ke bumi.
Di matanya, langit bergetar,
ranting-ranting diguncang angin,
tapi akar tubuhnya tetap menggenggam,
menanti fajar membasuh luka.
Solla adalah pohon kecil,
sakit hanyalah angin lewat,
menggugurkan daun agar tumbuh lebih hijau.
Demam hanyalah gerimis sebentar,
mengajarkan akar menyerap cahaya.
Di luar sana, kupu-kupu menunggu,
sayapnya masih mengingat nama Solla.
Ia tahu, setelah hujan reda,
akan ada cahaya jatuh ke wajahnya,
membiarkan Solla berlari lagi,
menyambut angin yang lebih lembut.
Yogyakarta, 25 Maret 2025
Abdul Wachid B.S., lahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Wachid lulus Sarjana Sastra dan Magister Humaniora di UGM, dan menjadi dosen di Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto. Abdul Wachid B.S. lulus Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta (15/1/2019). Buku terbarunya : Kumpulan Sajak Nun (2018), Bunga Rampai Esai Sastra Pencerahan (2019), Dimensi Profetik dalam Puisi Gus Mus: Keindahan Islam dan Keindonesiaan (2020), Kumpulan Sajak Biyanglala (2020), Kumpulan Sajak Jalan Malam (2021), Kumpulan Sajak Penyair Cinta (2022), Kumpulan Sajak Wasilah Sejoli (2022). Melalui buku Sastra Pencerahan, Abdul Wachid B.S. menerima penghargaan Majelis Sastrawan Asia Tenggara (Mastera) sebagai karya tulis terbaik kategori pemikiran sastra, pada 7 Oktober 2021 (tepat di ulang tahunnya yang ke-55).