Oleh Dian Marta Wijayanti
Bagi saya kepala SD, kuliah S3 menjadi beban mental. Teman-teman sekelas saya, circle-nya beda jauh karena mereka rata-rata dosen. Yang dibahas kebanyakan ngajar mahasiswa, penelitian, pengabdian, dan bahas Scopus. Namun, alhamdulillah, meski semester empat belum penuh, saya pada Jumat 23 Mei 2025 diberi kesempatan untuk Ujian Seminar Hasil Disertasi atau biasa disebut Ujian Kelayakan Disertasi. Bagi Sekolah Pascasarjana UNNES, sistem Ujian Seminar Hasil Disertasi merupakan hal baru, karena sebelumnya hanya ada Ujian Tertutup dan Ujian Tertutup.
Di jenjang pendidikan doktor (S3), terdapat beberapa tahapan ujian yang harus dilalui mahasiswa dalam menyelesaikan disertasinya. Selain Ujian Proposa, Ujian Seminar Hasil Disertasi atau Ujian Kelayakan Disertasi, ada juga Ujian Tertutup dan Ujian Terbuka Promosi Doktor yang menjadi tahapan penting dalam meraih gelar doktor.
Ujian kelayakan disertasi menjadi momen awal ujian puncak dalam perjalanan akademik seorang mahasiswa doktoral. Ia menjadi titik temu antara perjuangan intelektual yang panjang dan validasi ilmiah dari para guru besar. Bagi saya, ujian ini tidak hanya menjadi ajang akademik formal, melainkan juga ruang kontemplasi atas perjalanan, dedikasi, dan pertanggungjawaban ilmiah.
- Iklan -
Tulisan ini merupakan narasi reflektif mengenai pengalaman saya mengikuti Seminar Hasil Disertasi pada Program Doktor (S3) Manajemen Kependidikan, Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Semarang (UNNES), dengan judul disertasi: “Determinan Kinerja Guru Sekolah Dasar di Kota Semarang dengan Digital School Governance sebagai Variabel Moderasi” pada Jumat 23 Mei 2025 kemarin.
Apa Inti Ujian Kelayakan Disertasi?
Setiap kampus memiliki tradisi akademik dan nomenklatur berbeda. Di Sekolah Pascasarjana UNNES, Seminar Hasil Disertasi atau sering disebut Seminar Hasil Penelitian Disertasi adalah tahapan di mana mahasiswa mempresentasikan hasil penelitian yang telah mereka lakukan. Di tempat kuliah suami saya, UNY, namanya adalah Ujian Kelayakan.
Intinya, Ujian Kelayakan Disertasi adalah tahapan penilaian kelayakan keseluruhan naskah disertasi sebelum disertasi tersebut diajukan untuk ujian disertasi (ujian tertutup atau ujian terbuka). Fokus utama dari ujian ini beragam. Pertama, penilaian komprehensif naskah. Dewan Penguji mengevaluasi keseluruhan isi disertasi, termasuk substansi, orisinalitas, kontribusi ilmiah, ketaatan pada kaidah penulisan akademik, serta kelengkapan dan kejelasan argumen. Bahkan, hal-hal teknis seperti typo, kata, logika awal dan akhir kalimat, titik dan koma, dan seterusnya.
Kedua, kesiapan untuk Ujian Tertutup. Ini penting, karena di UNNES, saat Ujian Tertutup itulah dilakukan Yudisum Kelulusan. Tujuan utama ujian kelayakan adalah untuk memastikan bahwa naskah disertasi sudah layak dan siap untuk diujikan dalam sidang disertasi yang lebih formal (ujian tertutup atau ujian terbuka). Jika ditemukan kekurangan signifikan, mahasiswa akan diminta untuk melakukan perbaikan sebelum dapat melanjutkan ke ujian akhir.
Beberapa universitas juga mempertimbangkan publikasi ilmiah (jurnal internasional atau seminar internasional) sebagai salah satu syarat atau indikator kelayakan disertasi. Alhamdulillah, saya sudah mempunyai satu publikasi di Scopus Q3 yaitu Principal decision-making in implementing Merdeka Curriculum in elementary schools: a review yang menjadi syarat ujian tertutup/terbuka.
Ujian kelayakan ini biasanya dilaksanakan setelah mahasiswa telah menyempurnakan naskah disertasinya berdasarkan masukan dari seminar proposal di awal. Sifat ujian kelayakan ini bisa jadi tertutup, artinya tidak dapat dihadiri oleh umum.
Secara sederhana, Seminar Hasil Disertasi adalah momentum review hasil penelitian untuk mendapatkan feedback awal untuk menuju “pintu gerbang” dengan memastikan disertasi kita benar-benar siap dan memenuhi standar sebelum disidangkan dalam Ujian Tertutup.
Ujian: Antara Tegangan dan Harapan
Secara teoritis, disertasi merupakan bentuk tertinggi dari karya ilmiah yang menunjukkan kemandirian berpikir, orisinalitas, dan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan. Disertasi saya berangkat dari keprihatinan terhadap kinerja guru sekolah dasar di Kota Semarang yang sangat menentukan mutu pendidikan dasar, namun kerap terabaikan dalam diskursus kebijakan pendidikan. Saya menelaah model determinan kinerja guru yang meliputi faktor individu, organisasi, dan kepemimpinan, dengan Digital School Governance sebagai variabel moderasi—sebuah pendekatan baru dalam tata kelola sekolah di era digital.
Ujian digelar pada hari Jumat yang cerah, namun batin saya penuh awan, apalagi tidak ditemani suami karena harus wawancara pembuatan passport di Wonosobo. Bertempat di kampus Sekolah Pascasarjana UNNES, saya memasuki ruangan dengan naskah disertasi di tangan, menatap jajaran penguji yang dihormati dan ditakuti oleh seluruh mahasiswa program doktoral.
Dewan penguji dipimpin oleh Prof. Dr. Wasino, M.Hum., seorang sejarawan pendidikan yang dikenal tajam dalam berpikir dan menelisik metodologi. Prof. Dr. Widiyanto, M.M., M.BA., sebagai Penguji I, menghadirkan perspektif manajerial dan bisnis pendidikan yang kritis terhadap validitas data dan analisis kuantitatif. Prof. Dr. Tri Joko Raharjo, M.Pd., Penguji II, adalah pakar manajemen pendidikan yang menguji keutuhan konstruksi teori dan logika antar variabel.
Sementara itu, anggota penguji lain yang juga promotor seperti Prof. Dr. Eko Handoyo, M.Si., memberikan pendalaman pada aspek governance dan kebijakan publik dalam konteks pendidikan. Prof. Dr. Suwito Eko Pramono, M.Pd., yang juga promotor lebih menyoroti pada konteks pembelajaran dan kultur organisasi sekolah dasar. Terakhir, Dr. Sugi, M.Pd., sebagai penguji internal yang juga anggota promotor yang berhalangan hadir karena persiapan ibadah haji.
Dalam Ujian Kelayakan Disertasi tidak ada presentasi. Ya, tidak ada presentasi, terasa begitu cepat karena forum diserahkan langsung ke Dewan Penguji. Padahal, sebenarnya saya ingin menjelaskan latar belakang, rumusan masalah, metodologi penelitian kuantitatif dengan analisis SEM-PLS, serta hasil penelitian yang menunjukkan bahwa digitalisasi tata kelola sekolah memperkuat hubungan antara kepemimpinan kepala sekolah dan kinerja guru. Di sinilah kemudian ujian sejati dimulai.
Tanya jawab berlangsung selama hampir dua jam. Prof. Wasino menantang validitas teoretis saya, menanyakan landasan mengapa digital governance layak dimoderasikan. Prof. Widiyanto mempertanyakan model statistik yang saya gunakan dan meminta saya membandingkan hasil dengan pendekatan CFA dan path analysis. Prof. Tri Joko mengoreksi beberapa asumsi logis dalam hubungan antar variabel. Sementara itu, Prof. Eko Handoyo mengajak saya berpikir kritis tentang keberlanjutan kebijakan digitalisasi di sekolah dasar negeri. Prof. Suwito memberi masukan tajam tentang konteks sosiokultural guru yang sering luput dalam variabel formal. Dr. Sugi mengingatkan pentingnya relevansi hasil dengan kebutuhan Pemkot Semarang.
Namun, alih-alih menjadi intimidasi, diskusi tersebut justru menjadi dialektika ilmiah yang mencerahkan. Saya bersyukur telah menyiapkan semua argumen dengan cermat, bahkan telah melakukan pretest dan triangulasi.
Setelah sesi diskusi panjang, Ketua Penguji menyampaikan bahwa disertasi saya dinyatakan “Layak 95 %” dengan revisi untuk maju ke Ujian Tertutup ke depan. Kalimat ini terdengar seperti musik yang menenangkan hati. Meski revisi harus dilakukan, namun itu adalah bagian dari penyempurnaan, bukan penolakan.
Pengalaman ini mengajarkan bahwa ujian kelayakan bukan hanya soal layak atau tidak, tapi tentang membuktikan bahwa kita layak menjadi bagian dari komunitas ilmiah. Ujian ini adalah proses rite of passage dari seorang peneliti pemula menuju ilmuwan dewasa.
Melalui disertasi ini, saya berharap dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan sistem tata kelola pendidikan dasar berbasis digital di Indonesia. Saya juga belajar bahwa ilmu bukan sekadar hafalan konsep, melainkan pergulatan batin dan kecermatan berpikir.
Sebagaimana Paulo Freire (1970) menyatakan bahwa pendidikan adalah praktik pembebasan, maka proses doktoral ini adalah bagian dari pembebasan saya sebagai insan akademik—dari kebimbangan menuju keyakinan, dari konsep menuju kontribusi.
Semoga Ujian Tertutup dan Ujian Terbuka saya ke depan berjalan lancar. Bagi Anda yang sedang menumpuh S3, semoga segera lulus dan dipermudah semua urusannya. Amin.
–Dian Marta Wijayanti, mahasiswa S3 Manajemen Kependidikan Sekolah Pascasarjana UNNES.