Oleh: Muhammad Muzadi Rizki
Pendidikan menjadi PR utama bangsa. Meski menteri pendidikan silih berganti, tetapi tranformasi pendidikan yang didambakan belum juga terwujud. Survei terbaru menunjukkan Indonesia jauh dari papan atas, kalah dengan negara-negara tetangga, salah satunya Vietnam. Vietnam justru bertengger dalam pentas global menyaingi Amerika, Singapura dengan indeks kualitas pendidikan terbaik. Fakta ini menggores hati putra-putri (baca: rakyat) ibu pertiwi. Vietnam yang sebelumnya memiliki latar belakang ekonomi yang serupa Indonesia kini melesat maju. Quo Vadis pendidikan Indonesia?.
Buku berjudul Andai Aku Menteri Pendidikan: Problematika Citra, Pesta, dan Masa Depan hadir memberikan asa terhadap wajah pendidikan Indonesia. Penulis Buku, Alfian Bahri, mengungkapkan bahwa masalah fundamental pendidikan Indonesia stagnasi karena birokrat dan jajaran strukturalnya tidak memberi terobosan baru yang otentik. Mereka hanya memainkan barang lama dibungkus dengan cover yang baru. Dan ini berjalan sistemik setiap suksesi kepemimpinan (hlm. 8).
Jalan satu-satunya yang dapat ditempuh untuk mereformasi pendidikan, dan ini selaras pendapat banyak pakar, adalah mengubah sistem pendidikan secara radikal. Maksudnya, sistem pendidikan diperbaiki secara menyeluruh dan mengakar, bukan hanya tambal sulam kebijakan yang bersifat sementara. Perubahan radikal dalam pendidikan berarti proses transformasi atau menata ulang struktur pendidikan dari dasar hingga ke puncaknya. Tawaran ini relevan mengingat sistem merupakan jantung dari birokrasi. Sistem yang baik menghasilkan output yang bagus dan berkualitas.
Dalam buku ini, Alfian Bahri mengandaikan dirinya sebagai Menteri Pendidikan. Sebagai seorang menteri, Alfian yang juga pelaku pendidikan ini tidak membawa gagasan kosong. Aura komitmen, keseriusan, keinginan mewujudkan pendidikan yang lebih baik, unggul, dan berdaya saing terpancar begitu kuat, berpendar lewat tulisan yang dihidangkan. “Menteri Pendidikan Alfian Bahri” turut menyotori semua elemen demi terwujudnya ekosistem pendidikan yang bermutu.
Berpijak pada Ki Hajar Dewantara
Alfian cukup risau dengan situasi pendidikan saat ini, dari pemangku kebijakan: jajaran struktural hingga level grassroot: masyarakat—keluarga. Jajaran struktural (pendidikan) mengorkestrakan diri di panggung digital dengan narasi keberhasilan program dan testimoni apresiatif. Alfian menyebutnya, “pengondisian kesan”. Di sisi lain, pada level grassroot: masyarakat—keluarga, tumbuh mindset keliru tentang pendidikan. Bahwa, pendidikan dianggap sebatas kewajiban formal, bukan sebuah investasi. Sehingga, tidak ada lagi fungsi kontrol, tanggung jawab, dan pengawasan dari orang tua.
Dalam buku ini, Alfian Bahari memberikan refleksi mendalam dan mengarahkan untuk berubah. Ia melanjutkan, pendidikan seharusnya berpijak pada konsep Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara. Pendidikan ala Ki Hajar Dewantara menghasilkan ruang keselerasan insan dan bermuara pada konkretisasi nilai-nilai pendidikan. Orientasi pendidikan Ki Hajar Dewantara, mencerdaskan kehidupan bangsa dan memanusiakan manusia secara adil.
Para pemimpin, dan jajaran struktural, mestinya berpikir layaknya Ki Hajar Dewantara. Alfian mengingatkan agar tahu diri dalam menjalankan fungsi kepemimpinan. Apa pantas menggelar pesta peluncuran program, pengondisian kesan, dan glorifikasi keberhasilan, sementara persoalan pendidikan di bawah masih terpampang nyata?. (hlm. 5) Anggaran pendidikan mutlak untuk hal-hal fungsional, seperti pemerataan fasilitas, bukan malah seremonial.
Konsep lain yang ditekankan Alfian adalah Tri Pusat Pendidikan. Tri Pusat Pendidikan adalah konsep yang memberdayakan sinergitas lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Menurutnya, pendidikan sulit maju jika tidak ada campur tangan keluarga dan masyarakat. Ibarat sebuah roda penggerak, pendidikan tidak bisa berputar dengan stabil jika salah satu komponennya lepas. Ketiga elemen harus bekerja selaras, saling menopang, dan bergerak bersama.
Yang terjadi saat ini, sekolah menjadi pihak tunggal dalam membenahi seluruh aspek perkembangan anak, mulai dari intelegensi hingga psikologi. Peran keluarga dan masyarakat cenderung minim dalam pendidikan sang anak. Sehingga, menurut Alfian, sekolah jadi semacam tempat laundry. Orang tua dan masyarakat menitipkan, kemudian tinggal duduk menunggu hasil service noda karakter. Di sinilah pendidikan menjadi over fungsi (hlm. 22)
Pola Pikir Pendidik: Literasi dan Pendidikan Kritis
Pondasi yang wajib melekat pada setiap guru ialah literasi. Literasi adalah komponen penting karena mampu menciptakaan kepekaan terhadap realitas yang ada, perubahan zaman dan tuntutan global. Menurut menteri pendidikan Alfian Bahri, guru yang literat memiliki dampak signifikan bagi kualitas pendidikan. Pendidikan berbasis literasi menciptakan iklim pembelajaran yang bermutu; guru-guru memiliki orisinalitas seni dalam mengajar dan terbentuknya kritisisme—rasionalitas pada diri siswa.
Guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk berlatih berpikir kritis melalui berbagai aktivitas dan tugas dalam konteks pembelajaran yang relevan. Alfian mencontohkan lima strategi yang bisa meningkatkan efektivitas pemberdayaan kemampuan kritis; salah satunya adalah ajukan pertanyaan yang mengundang lebih dari satu jawaban yang bisa diterima. Misalnya, memulai dengan, “mengapa orang-orang lebih suka membawa motor ketimbang jalan kaki?”, dan lain sebagainya (hlm. 65).
Pola pikir pendidik harus dirubah sejak sekarang. Pendidik tidak boleh berpaku pada semangat zaman yang tengah berlangsung hari ini saja karena era disrupsi akan membuat zaman berubah dengan cepat. Bisa jadi, segala atribut pendidikan hari ini, beberapa tahun lagi menjadi artefak terbengkalai. Pendidikan harus mampu membekali keterampilan, kecerdasan, dan keafektifan yang melampaui zaman. Bagaimanapun pendidikan adalah ruang pembekalan untuk masa depan (hlm. 35)
Pendekatan Etnografi sebagai Langkah Mencegah Perundungan dan Kekerasan
Jika ditelaah, persoalaan perundungan dan kekerasan adalah lintas generasi. Artinya, bukan terjadi pada periode tertentu, melainkan semacam budaya yang terwariskan entah dimulai sejak kapan dan di mana. Maka dari itu, pendekatan psikologi, terlebih manajemen tentu tidak relevan lagi. Menteri Pendidikan Alfian Bahri, memberi terobosan untuk beralih ke “pendekatan etnografi” (hlm. 82).
Ada sejumlah keuntungan yang didapat jika menggunakan pendekatan etnografi. Pertama, etnografi memungkinkan peneliti untuk terlibat dalam pengamatan lapangan dan interaksi langsung. Sehingga, dapat mengeksplorasi penyebab, konsekuensi, serta faktor-faktor yang mendasari. Kedua, entografi memungkinkan identifikasi konteks sosial dan budaya di mana perundungan dan kekerasan terjadi. Sehingga, membantu dalam memahami bagaimana faktor-faktor seperti hierarki sosial, norma budaya, dan tekanan kelompok memengaruhi perilaku individu.
Ketiga, pendekatan etnografi memungkinkan mendengarkan narasi korban dan pelaku perundungan dan kekerasan. Sehingga, bisa membantu dalam menggali pandangan pelaku, alasan di balik tindakan yang dilakukan. Keempat, etnografi merancang intervensi yang lebih tepat dan efektif untuk mengatasi perundungan dan kekerasan. Ini adalah bentuk program-program pencegahan dan dukungan untuk korban.
Kelima, etnografi memungkinkan mampu mengungkap struktur kekuasaan yang mendukung perundungan dan kekerasan. Sehingga, mendorong perubahan sosial dan institusional yang lebih besar. Keenam, pendekatan etnografi mengurangi stigma terhadap korban dan perilaku. Sehingga, membuka jalan untuk dialog dan perubahan yang lebih baik dalam bergaul/bermasyarakat (hlm. 89).
Menjadikan Guru sebagai Profesi yang Dicita-citakan, layaknya Dokter
Musabab guru menjadi profesi terpuruk, karena di detik pertama tidak dihargai layaknya profesi pada umumnya. Gap lebar dalam tubuh guru selama ini sudah menjadi budaya yang dinormalisasi lewat kesadaran palsu bahwa semua ini adalah proses jenjang karir. Menggaji ratusan ribu perbulan akhirnya dianggap suatu yang normal, wajar, umum, dan telah sesuai kesepakatan.
Coba kira-kira siapa yang mau digaji ratusan ribu perbulan? Inilah duduk persoalannya. Sang Menteri, Alfian Bahri, mengungkapkan perlu diubah mekanisme gaji pada guru. Hulu keguruan juga tidak kalah penting untuk diperbaiki. Bila dicermati, supply-demand keguruan sangat semrawut. Jumlah lulusan pendidikan selama ini mirip kacang goreng. Begitu banyak diproduksi tiap tahunnya. Bahkan dalam kasus terbaru, posisi guru dapat terisi oleh lulusan non kependidikan. Jadi dapat dipastikan, nilai tawar dari ijazah keguruan begitu murah dan rendah (hlm. 44).
Jika keguruan ingin memiliki value, maka orientasinya perlu diubah. Dari hulunya jangan lagi mementingkan kuantitas. Pemerintah perlu mengontrol supply-demand, agar berbuah manis pada kualitas output-nya. Input yang sedikit dan tidak bejibun, kecenderungan suksesnya lebih tinggi, misalnya kedokteran. Untuk masuk keguruan, sekiranya perlu diadakan tes ketat. Dengan begitu, keguruan akan terisi oleh orang-orang hebat yang memiliki tekad kuat dalam dunia pendidikan, bukan karena salah jurusan dan lain sebagainya.
Hal berikutnya, pemerintah tinggal mengapresiasi pada lulusan keguruan tersebut dengan menerbitkan regulasi gaji profesi guru yang layak, sesuai amanat Undang-Undang Dasar 1945. Di sinilah penawaran pada peran legislatif dan eksekutif menjadi mungkin berdampak. Penerapan ini memberi dampak nyata bagi peningkatan kualitas pendidikan. Dan guru menjadi profesi yang diperebutkan, dicita-citakan.
Itulah perubahan-perubahan yang ditawarkan oleh Alfian Bahri untuk pendidikan Indonesia. Cita-cita Alfian hanya ingin melihat pendidikan Indonesia lebih baik dan terhindar dari sistem yang morat-marit serta penuh pengondisian (kepalsuan). Buku ini sangat cocok buat para pendidik dan pemangku kebijakan, sebagai bahan referensi, refleksi, dan reformasi terhadap kondisi pendidikan yang ada.
Judul Buku: Andai Aku Menteri Pendidikan: Problematika Citra, Pesta dan Masa Depan
Penulis: Alfian Bahri
Penerbit: Semut Api
Tahun Cetak: Pertama, November 2024
Tebal: 116 halaman
ISBN: 978-623-89473-2-4