Oleh M. Ryan Romadhon
Dalam agama Islam, mencari atau menuntut ilmu hukumnya wajib tanpa terkecuali, baik kecil maupun besar, muda maupun tua, kaya maupun miskin, baik pria, wanita maupun waria. Artinya, kewajiban menuntut ilmu ini diberikan kepada setiap individu (fardhu ‘ain), bukan hanya kewajiban kelompok (fardhu kifayah).
Menuntut ilmu merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya kepada umat Islam. Allah telah menegaskan bahwa orang yang berilmu akan diangkat derajatnya oleh Allah swt lebih dari orang yang tak berilmu.
Mencari ilmu bisa dilakukan di mana saja. Bisa di bangku sekolah, kampus, pondok, madin, TPQ, dsb. Para wali murid bisa memasukkan anak-anaknya guna mencari ilmu di tempat manapun yang mereka sukai dan setujui.
- Iklan -
Namun, meski demikian, hal yang perlu kiranya diperhatikan para wali murid saat memasukkan anak-anaknya ke salah satu lembaga-lembaga tersebut adalah harus menaati peraturan apapun yang telah ditetapkan oleh lembaga tersebut. Terutama peraturan-peraturan yang berkaitan erat dengan etika dan adab terhadap guru sang anak.
Hal tersebut sesuai dengan salah satu kaidah fikih yang beredar dalam beberapa literatur pesantren yang berbunyi,
الرِّضَا بِالشَّيْءِ رِضَا بِمَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ
Artinya: “Rela terhadap sesuatu, berarti secara otomatis rela terhadap konsekuensi yang ditimbulkannya.”
Secara implisit, kaidah ini mengingatkan kita agar lebih berhati-hati dalam menentukan sikap, tidak ceroboh dalam melangkah, dan berfikir matang sebelum berbuat. Dengan demikian, tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari.
Dengan kata lain, ketika seorang wali murid telah menyatakan rela atau setuju memasukkan anak-anaknya dalam suatu lembaga (baik sekolah, kampus, ataupun pondok), maka konsekuensinya ia harus rela menerima apapun yang telah menjadi peraturan yang ada dalam lembaga tersebut.Berikut adalah penggalan kisah yang dapat dijadikan bahan pelajaran tentang sikap buruk wali murid yang tidak menaati peraturan guru sang anak, yakni Syekh Abdul Qadir Al-Jailani. Hal ini sebagaimana diungkap oleh Kiai Musa Musthafa at-Tamani dalam kitab As-Sanatir, (Kediri, Maktabah Ad-Dihan: 2019), halaman 13.
Sikap buruk sang wali murid yang tidak menerima peraturan dari sang guru tersebut sebaiknya dihindari oleh para wali murid, agar anak-anak yang sedang mencari ilmu juga tidak mendapatkan imbas buruk dari perlakuan sang orang tua.
* * *
Pada suatu ketika, ada seorang ibu yang mengantarkan anaknya untuk mondok di pondok asuhan Syekh Abdul Qadir Jailani (sang sulthanul auliya’).
Sang ibu berkata kepada Syekh Abdul Qadir seraya memasrahkan anaknya untuk dididik di pondok tersebut, “Aku melihat bahwa anakku ini mempunyai hubungan batin yang sangat erat dengan Anda, sehingga aku berencana ingin menitipkan anakku ini kepada Anda untuk dididik.”
Mendengar ungkapan sang wali santri tersebut, Syekh Abdul Qadir lantas menerimanya seraya memerintahkan anak tersebut untuk bersungguh-sungguh (dalam belajar dan ibadah) dan selalu berada di jalan yang benar.
Sampai pada suatu ketika, saat waktu sambangan (penjengukan/kiriman) santri tiba, sang ibu menyambangi anak tercintanya tersebut.
Saat pertama kali melihat anaknya, sang ibu terkejut karena melihat keadaan anaknya yang terlihat sangat kurus dan pucat karena efek kelaparan, begadang, dan hanya memakan roti kering.
Merasa tidak terima dengan keadaan anaknya, sang ibu kemudian mendatangi tempat kediaman sang syekh. Saat masuk ke dalam kediaman sang syekh, sang ibu dibuat terkejut lagi ketika melihat sang syekh sedang melahap daging ayam yang ada di kedua tangan beliau.
Sang ibu pun protes kepada syekh, “Wahai junjunganku, kau tega makan daging ayam, sedang anakku hanya makan roti kering?”
Mendengar ungkapan sang ibu, Syekh Abdul Qadir lalu meletakkan tangannya di atas tulang belulang daging ayam tersebut, seraya berkata, “Berdirilah wahai tulang, dengan izin Allah!”
Tulang belulang itu pun berdiri atas seizin Allah.
Syekh Abdul Qadir melanjutkan, “Anakmu boleh makan apa saja, asalkan sudah bisa seperti apa yang aku lakukan!”
* * *
Penggalan kisah Syekh Abdul Qadir dengan wali santri tersebut mengajarkan pada umat Islam, terutama para orang tua murid agar selalu menjaga adab dan tata krama terhadap guru yang telah mendidik anak-anaknya.
Suatu renungan bagi para orang tua, ketika mendapati anak-anaknya mengalami kesulitan dalam pembelajaran, baik di sekolah, pondok ataupun di kampus. Bisa jadi kesulitan tersebut bukan karena ketidak mampuan anak-anak dalam hal belajar. Tapi bisa jadi ada sikap atau adab buruk orang tua terhadap guru anak yang menutup cahaya keberkahan ilmu anak kita.
Sebagai orang tua, kita harus bisa menjaga adab anak-anak dan orang tua sendiri terhadap guru sang anak. Jangan sampai gara-gara adab orang tua buruk, sedangkan adab anak sudah baik, si anak menjadi murid yang ilmunya tidak bermanfaat dan berkah.
Selain itu, penggalan kisah tersebut juga mengajarkan kita agar andai suatu saat menjadi wali murid, jangan jadi wali murid yang menginginkan anaknya secara berlebihan, alias menginginkan anaknya selalu kecukupan. Selama anaknya itu tidak menyakiti hati sang guru, maka hal itu sudah cukup bagi kita para wali murid.
Bulus, 12 April 2025
-M. Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.