Oleh: Muhammad Adib, S.Kom.
Dunia kesehatan tanah air akhir-akhir ini mengalami guncangan hebat, kasus-kasus amoral yang menyeret marwah ‘sang penyembuh’ kini berada dalam situasi kritis. Belum kering kasus kebejatan oknum dokter PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) anastesi di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, menyusul pula seorang oknum dokter spesialis kandungan di Garut dengan tindakan cabulnya terhadap salah seorang pasien saat pemeriksaan USG, tambah lagi oknum dokter PPDS yang mengintip mahasiswi yang sedang mandi. Benar-benar tak bisa diterima akal!
Tiga kasus viral ini tentu menjadi perhatian publik dan lampu sorot utama tertuju pada si pengguna ‘jas putih’. Profesi dokter yang lekat dengan kehormatan, kewibawaan dan kecerdasan tercoreng hitam akibat kasus pelecehan seksual ini. Dokter yang harusnya menyelamatkan nyawa pasien berubah 180 derajat malah mencelakakannya. Anehnya bukan hanya mencelakakan fisiknya, namun juga psikis dan batinnya. Mau tak mau, institusi pemerintah dan organisasi profesi seperti Kemenkes dan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) berjibaku untuk memulihkan kembali nama baik dokter dan rumah sakit di seluruh penjuru negeri.
Sungguh publik tak menyangka insiden buruk ini bisa terjadi, bak petir di siang bolong seorang oknum dokter tega merenggut kehormatan salah satu keluarga pasiennya sendiri. Bukan hanya satu orang, melainkan sudah 3 orang yang terkonfirmasi menjadi korban ‘penjahat kelamin’ berusia 30 tahun yang bernama Priguna Anugrah Pratama ini. Pihak kepolisian hingga kini masih terus mendalami dan memeriksa saksi-saksi, besar kemungkinan jumlah korban masih akan terus bertambah. Sungguh gila ada oknum dokter yang berani melakukan tindakan asusila dengan cara membius korban dan menyetubuhinya saat dalam keadaan tertidur.
- Iklan -
Hal ini tentunya memunculkan pesimisme dan ketidakpercayaan publik terhadap rumah sakit lebih-lebih para dokter. Pemerintah juga tak luput dari komentar negatif publik terkait bagaimana mekanisme fungsi pengawasan yang ada di rumah sakit milik negara. Namun satu hal yang pasti, pengawasan yang berlaku sekarang benar-benar ambyar. Semoga saja tragedi miris ini bukan layaknya fenomena ‘gunung es’. Menkes Budi Gunadi Sadikin bahkan sampai mengeluarkan kebijakan darurat pemeriksaan mental health terhadap para calon dokter PPDS dan memeriksa ulang secara berkala setiap 6 bulan.
Membangun citra rumah sakit yang baik saat sekarang saja sudah susah, konon dengan adanya kasus ini, profesi dokter bagaikan mengantongi ‘kartu kuning’ dari masyarakat yang bertindak sebagai wasitnya. Alangkah beratnya tugas Kemenkes dan rumah sakit untuk membangun kembali asa dan kepercayaan di tengah berbagai kondisi ‘gelap’ yang melanda negeri ini.
Marah wajar, tetapi jangan ‘pukul rata’
Pepatah “karena nila setitik rusak susu sebelanga” menjadi sedikit gambaran yang ada pada persepsi masyarakat terutama para kaum hawa. Pastinya para wanita memiliki perasaan was-was apabila ke rumah sakit dalam kondisi seperti sekarang, baik ke dokter kandungan lebih-lebih bila harus terlibat dengan dokter anastesi saat melahirkan. Mungkin ada pula yang bergumam dalam hati, “apa jangan-jangan waktu operasi dan dibius dulu saya mengalami kejadian yang serupa ya?”, dan bermacam-macam dugaan liar lainnya.
Publik wajar marah dan mengecam tindakan para pelaku, apalagi dilakukan oleh orang yang berpendidikan, intelek dan memiliki tugas untuk menyelematkan nyawa manusia. Namun jangan pula ‘pukul rata’ bahwa semua dokter berbuat keji layaknya oknum dokter tersebut.
Jangan hanya karena seekor tikus menggerogoti lumbung padi, malah lumbungnya yang dibakar sekalian. Logika seperti ini tidaklah tepat dan memang haram memahami nalar seperti itu. Faktor proporsionalitas dan netralitas menjadi penting untuk menilai suatu permasalahan.
Masih banyak di negeri ini dokter-dokter yang berkomitmen memegang sumpah dan kode etik kedokteran. Bayangkan dokter-dokter yang bertugas di daerah terpencil dan terluar dengan gaji yang seadanya. Mungkin banyak diantara mereka yang dibayar oleh pasien hanya dengan hasil bumi seperti beras, pisang, ubi, sayur, buah dan lain sebagainya. Namun karena bakti dan keteguhannya dalam memegang sumpah dan kode etik kedokteran, ia ikhlas menerima itu semua. Di daerah saya sendiri bahkan ada seorang dokter yang mengabdikan dirinya dengan menerima bayaran seikhlasnya yang dimasukkan ke dalam amplop, terkadang istri sang dokter malah mendapati amplop tersebut dalam keadaan kosong, dan bisa jadi masih banyak lagi kisah dokter ‘heroik’ yang tak terekspos media.
Integritas dokter kali ini diuji dengan seberat-beratnya ujian, hal ini menjadi peringatan keras untuk para dokter di seluruh Indonesia bahwa wajib hukumnya berhati-hati dalam setiap tindak-tanduk. Memperbaiki orang memang beda bila dibandingkan dengan memperbaiki barang. Lebih susah, lebih berat dan tekanan mental yang diberikan lebih besar.
Pemerintah juga perlu ambil bagian untuk mensosialisasikan kepada publik bahwa jangan sampai menggeneralisir kejadian ini. Tak semua dokter melanggar prinsip moralitas, jika ada yang menyimpang dari kode etik dan norma yang berlaku, itu semua bukanlah gambaran perilaku dokter secara keseluruhan.
Intelektualitas perlu, tapi Spiritualitas tetap nomor satu
Pelaku oknum dokter residen bukanlah orang biasa-biasa. Ia sudah memiliki istri yang juga diduga seorang dokter. Setelannya mewah, gayanya trendi dan tentunya dari kalangan orang yang berada. Bisa dilihat dari foto yang didapat para netizen di media sosial.
Mengenai kurikulum kedokteran juga perlu dilakukan kajian ulang terhadap mata kuliah yang tersedia. Mata kuliah seperti PKN dan Agama perlu ditambah jumlah SKS-nya, bila perlu diperketat syarat kelulusan dari mata kuliah tersebut. Selain itu pemerintah perlu menetapkan parameter untuk mengukur apakah residen benar-benar memahami dan melaksanakan ajaran agamanya masing-masing sehingga tercipta dokter-dokter yang tidak hanya memiliki intelektualitas, tapi juga spiritualitas.
Intelektualitas merupakan hal yang penting, tapi jangan sampai mengabaikan spiritualitas. Pemahaman teologis dan aktualisasi spiritual dalam bentuk ibadah dan pengamalan nilai-nilai lainnya menjadi benteng yang akan melindungi dokter dari pelanggaran moral.
Ketua Umum PBNU 1999-2010 Almaghfurlah KH. Hasyim Muzadi pernah mengatakan bahwa intelektualitas seseorang masih bergantung pada kondisi spiritualitasnya. Apabila spiritualitasnya lemah bahkan goyah, maka kadar intelektualitasnya akan berpotensi mengalami degradasi. Nah, disitulah tindak kejahatan berpotensi terjadi. Sebaliknya, apabila tingkat spiritualitasnya tinggi maka bisa dipastikan intelektualitasnya akan berada dalam posisi stabil.
Intelektualitas dan spiritualitas bagaikan dua sisi yang selalu berkaitan. Apabila yang satu hilang, maka akan mempengaruhi yang lainnya. Harapan masyarakat tentunya semoga kejadian kelam ini tak terjadi lagi di kemudian hari dan seluruh pihak yang terkait wajib berbenah untuk itu. Tragedi buruk ini mengajarkan kepada kita semua dan menjadi bukti bahwa intelektualitas harus sinkron dengan spiritualitas.
-Muhammad Adib, S.Kom., Pegawai Swasta dan Guru Ngaji Yayasan Pendidikan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah