Oleh Yuditeha
Jika ada yang bertanya, apa sebenarnya gunanya sekolah, maka jawaban paling mendasar adalah tempat mendidik manusia. Bukan hanya mendidik agar bisa membaca atau menghitung, tetapi mendidik agar bisa merasa, berpikir, bersikap, dan menjadi warga yang utuh. Maka ketika negara atau pemerintah mulai mengirim anak-anak yang dianggap “nakal” ke barak-barak militer, kita patut bertanya, masih percayakah kita pada sekolah?
Kebijakan ini menyimpan aroma frustrasi. Alih-alih memperkuat sekolah, pemerintah justru memilih untuk memindahkan tanggung jawab ke institusi yang fungsinya bukan mendidik dengan pendekatan kemanusiaan, melainkan melatih dengan pendekatan kepatuhan. Anak-anak yang berisik, susah diatur, melawan guru, atau terlibat tawuran, tak lagi dilihat sebagai subjek pendidikan, tapi sebagai ancaman. Lantas dikirimlah mereka ke barak, tempat yang sejatinya disiapkan untuk melatih tentara, bukan menyembuhkan luka batin anak SMP.
Ini bukan sekadar kebijakan keliru, tapi cermin dari kegagapan berpikir, ketika institusi pendidikan dianggap gagal, bukan sistemnya yang dibenahi, tapi anak-anaknya yang diusir. Sungguh, kalau ada anak yang tak cocok dengan sistem, apakah dia harus diusir dari sistem itu? Kalau rumah bocor, apakah kita usir penghuninya dan suruh tidur di pos jaga?
- Iklan -
Mengirim anak-anak ke barak militer bukanlah bentuk pengasuhan, tapi pengabaian. Ini cara cepat, cara instan, cara keras yang seolah-olah menyelesaikan masalah. Padahal masalahnya justru kian dalam, kita tidak tahu bagaimana mendidik anak yang berbeda. Kita ingin semua anak masuk cetakan yang sama, patuh, pendiam, tak melawan, tak bertanya, dan tak mengeluh. Begitu ada yang sedikit melenceng, langsung dicap rusak. Dikirim ke barak agar diperbaiki dengan baris-berbaris dan teriak-teriak pagi buta.
Padahal, tidak semua anak cocok dengan pendidikan gaya militer. Bahkan, bisa jadi mayoritas tidak cocok. Anak-anak bukan robot produksi massal. Mereka bukan pipa bocor yang tinggal disambung. Mereka adalah manusia, yang tumbuh, berubah, memberontak, bertanya, dan sesekali memang salah jalan. Pendidikan sejatinya hadir untuk menemani proses itu, bukan menghardik lalu mengasingkan.
Bayangkan seorang anak SMP bernama Rama. Ia memang suka melawan. Suatu hari ia membanting kursi di kelas karena dituduh nyontek. Bukan karena ia bandel, tapi karena ia merasa tidak adil. Ibunya bekerja tiga shift, ayahnya entah ke mana, dan Rama harus menjaga adiknya sepulang sekolah. Siapa yang peduli? Sekolah tidak. Maka Rama masuk daftar anak nakal. Ia dikirim ke barak militer.
Di sana, Rama disuruh bangun jam empat, disuruh cium tanah, disuruh merayap di lumpur. Apakah ia berubah? Mungkin iya, tapi bukan menjadi anak baik. Ia jadi anak takut. Ia menyimpan dendam. Ia menjadi pemuda yang tak percaya pada sistem pendidikan. Yang belajar bahwa ketika ia kesusahan, negara tidak mendekapnya, tapi mendorongnya ke barak.
Ada ironi yang menggelitik di sini, saat anak-anak dari kalangan berada dimanjakan dengan psikolog, konselor, sekolah internasional dan pelatihan empati, anak-anak kelas bawah yang tak mampu bayar terapi justru dikirim ke barak. Maka pendidikan ini bukan lagi tempat berproses, tapi pabrik cetak massal dengan dua jalur: yang patuh naik kelas, yang tidak dikirim ke asrama tentara.
Kita sedang membuat generasi yang rapuh. Karena yang mereka pelajari bukan tentang memahami perbedaan, tapi menyamakan paksa. Kalau begini caranya, jangan salahkan kalau kelak mereka membalas sistem dengan ketidakpercayaan pula. Sebab mereka tahu, sistem tak pernah benar-benar memeluk mereka.
Ada banyak alternatif yang lebih akrab, lebih manusiawi. Misalnya, memperkuat kehadiran konselor di sekolah. Bukan hanya satu orang untuk seribu murid, tapi konselor yang hadir secara reguler, dekat, dan bisa dipercaya. Juga pelatihan bagi guru-guru untuk menangani anak-anak dengan latar belakang kompleks, bukan hanya mengajar kurikulum.
Sekolah-sekolah bisa mengadopsi pendekatan restorative justice, pendekatan yang menekankan pemulihan relasi, bukan hukuman. Anak-anak yang melanggar bisa diajak bicara, diminta bertanggung jawab, dimediasi, dan dipulihkan relasinya dengan teman dan guru. Bukankah ini lebih membangun ketahanan mental daripada memaksa mereka menyanyi Mars TNI tiap subuh?
Contoh-contoh seperti Sekolah Alam telah mencoba pendekatan ini. Murid diajak bicara, ditanya pendapatnya, diajak memahami dampak tindakannya. Tak ada bentakan, tak ada push-up, tapi ada tanggung jawab dan proses. Memang butuh waktu, tapi hasilnya lebih mendalam.
Pendidikan bukan urusan cepat. Ia bukan warung kopi yang harus menyajikan hasil dalam lima menit. Pendidikan adalah rumah panjang, tempat tumbuh, tempat salah, tempat mencoba lagi. Ketika negara tak sabar, maka anak-anaklah yang dikorbankan.
Lucunya, di saat negara bangga membangun sekolah-sekolah dengan jargon merdeka belajar, ia juga mengirim anak-anak ke barak dengan model dipaksa patuh. Sungguh ironi yang sarkastik: di satu sisi kita diajarkan merdeka, di sisi lain kita dipaksa tunduk. Lalu anak-anak bingung, mana sebenarnya wajah asli pendidikan?
Mari kita akui, sekolah belum sempurna. Tapi solusinya bukan mengganti guru dengan serdadu. Bukan mengganti ruang kelas dengan lapangan upacara. Bukan mengganti diskusi dengan baris-berbaris. Justru saat sekolah terasa kurang, kita perlu mempercayainya lebih.
Karena ketika sekolah tak lagi dipercaya mendidik, kita bukan hanya gagal membangun sistem. Kita juga gagal memberi tempat pada harapan. Dan itu, lebih menakutkan dari semua teriakan di barak militer mana pun.***
-Yuditeha, Penulis tinggal di Karanganyar. Sesekali menjadi fasilitator di sekolah.