Oleh Hamidulloh Ibda
Saat menemani anak saya kedua mainan, ia meminta membuka anomali. Pikir saya, anomali kan ketidaknormalan, penyimpang, tidak wajar. Lah, ternyata bukan. “Ini anomali, Pa. Itu lo Tung-Tung Saur,” kata anak saya.
Saya heran. Ini bukan ketidaknormalan, la kok kartun. Setelah lama mencari informasi, ternyata anomali adalah penyebutan pada kartun yang memiliki ciri khas unik dengan beragam nama yang viral di Youtube, TikTok, dan platform media sosial lainnya.
Saat silaturahmi Walimatussafar di rekan dosen ternyata juga ceritanya sama. “Iki nek ora duwe cah cilik pasti ra mudeng anomali,” kata teman saya. Duh benar juga!
- Iklan -
Anomali yang Anomali
Saya hendak menulis tulisan ini lumayan lama, sekira dua bulan silam saat Ramadan. Ya, ini soal anomali. Sejarah konten anomali berawal dari akun TikTok Noxa yang membuat banyak jenis, genre, atau karakter anomali, sehingga masih viral sampai saya menulis ini.
Beberapa bulan terakhir, media sosial dibanjiri oleh fenomena yang unik sekaligus menggelitik, yaitu anomali atau anomali brainrot. Nama-nama ganjil dan berima seperti Tralalero Tralala, Bombardiro Crocodilo, Tung Tung Tung Sahur, Ballerina Cappuccina, hingga Chimpanzini Bananini membanjiri linimasa, lengkap dengan visualisasi monster-monster absurd, menggemaskan, dan terkadang menyeramkan.
Fenomena ini tak hanya viral di kalangan remaja dan dewasa muda, tetapi juga telah menjangkau anak-anak. Namun, pertanyaannya kemudian muncul; apakah konten anomali ini berbahaya bagi anak? Ataukah ia hanyalah bagian dari imajinasi liar yang tak berdosa?
Nama-nama seperti Panzerina Delfina, Bambino Nucleare, La Vaca Saturno Saturnita, dan Trippi Troppi memiliki daya tarik fonetik yang kuat. Irama dan pengulangan bunyi membuat nama-nama ini melekat di ingatan. Bagi anak-anak usia 4–10 tahun, bunyi dan ritme memiliki peran penting dalam pembelajaran bahasa dan pengenalan pola.
Jean Piaget (1896-1980), seorang pelopor teori perkembangan kognitif, menyebut bahwa anak-anak dalam tahap praoperasional (usia 2–7 tahun) sangat menyukai simbol, cerita, dan fantasi. Dunia anomali yang penuh warna, bentuk absurd, dan suara lucu sangat sesuai dengan kebutuhan imajinatif anak dalam fase ini.
Lev Vygotsky (1986-1934), dengan konsep Zone of Proximal Development-nya, juga menekankan pentingnya interaksi sosial dalam membentuk pemahaman. Ketika anak-anak meniru suara seperti Brr Brr Patapim atau menyebut Frulli Frulla, mereka sedang membangun bahasa melalui interaksi sosial, meski kontennya tampak “ngawur”.
Potensi Risiko Psikologis
Meskipun konten anomali terkesan lucu dan tidak berbahaya, ada beberapa aspek yang perlu diwaspadai oleh orang tua dan pendidik. Pertama, overstimulasi dan brainrot. Istilah brainrot sendiri dalam dunia psikologi tidak memiliki akar ilmiah, namun dalam bahasa pop, ia mengacu pada keadaan overload sensorik akibat konsumsi berlebihan konten cepat, absurd, dan acak. Anak yang terlalu sering mengonsumsi konten seperti Cappuccino Assassino, Frigo Camelo, atau Boneca Ambalabu dalam format visual cepat (seperti video TikTok berdurasi pendek) bisa mengalami kesulitan dalam fokus dan konsentrasi pada aktivitas yang membutuhkan ketekunan, seperti membaca atau mendengar cerita.
Menurut Daniel Goleman, dalam bukunya Emotional Intelligence (1996), overstimulasi digital dapat memengaruhi attention span (rentang perhatian) anak dan menghambat perkembangan kecerdasan emosional. Bahaya opo ora?
Kedua, distorsi realitas dan ketakutan tidak rasional. Beberapa anak bisa merasa takut atau terobsesi pada karakter anomali tertentu. Nama seperti Cappuccino Assassino atau Bobrito Bandito mungkin terdengar lucu bagi remaja, tetapi bagi anak usia dini, istilah seperti assassino (pembunuh) atau visualisasi yang tidak konsisten antara lucu dan mengerikan dapat menyebabkan kebingungan emosional.
Menurut Sigmund Freud (1856-1939), dalam teori perkembangan psikoseksualnya, fase laten (usia 6–11 tahun) adalah masa di mana anak membangun kendali emosi dan logika. Konten dengan karakter ambigu secara emosional bisa menimbulkan kecemasan bawah sadar, terutama jika dikonsumsi tanpa pendampingan.
Ketiga, penurunan kemampuan naratif. Fenomena anomali cenderung tidak membentuk alur cerita utuh. Mereka hadir sebagai fragmen nama dan visual, tanpa narasi. Ini berpotensi mengurangi kemampuan anak dalam memahami struktur naratif (awal–tengah–akhir), yang penting dalam pengembangan literasi dan pemahaman cerita.
Menurut Jerome Bruner (1915-2016), narasi adalah alat kognitif utama untuk memahami dunia. Ketika anak terlalu sering disuguhi konten potongan yang acak seperti Girafa Celeste atau Trulimero Trulichina, alih-alih cerita penuh makna, kemampuan mereka menyusun narasi logis bisa terhambat.
Fenomena seperti UDin Din Din Din Dun Madin Din Din Dun memang menciptakan gelombang hiburan dan tawa. Namun, apa sih manfaatnya konten absurd begitu? Apa solusinya?
Apa Solusinya?
Saya menceritakan apa yang saya lakukan dan wacana solusi. Pertama, saya membatasi durasi main gawai dan melarang menonton konten anomali. “Ma, kaka Papa, Aksa nggak boleh nonton anomali?” Kata anak saya.
Mamanya pun menjawab “Ya, memang nggak boleh dek. Tonton lagu-lagu anak, sama murattal ngaji Al-Quran saja.” Aksra pun menjawab “Owh, yadah wes.”
Membatasi durasi konsumsi setidaknya menjadi solusi. Gunakan prinsip media diet seperti yang disarankan oleh American Academy of Pediatrics: maksimal 1 jam per hari untuk anak usia 2–5 tahun.
Kedua, mendampingi anak saat menonton konten ini. Tanyakan, “Apa yang kamu lihat? Apa yang kamu pikirkan tentang karakter ini?” Ini membantu menumbuhkan refleksi dan pemahaman. Tapi, ini bagi saya harus sabar dan intensif pada anak.
Ketiga, menyeimbangkan dengan konten bermakna. Setelah menonton anomali, ajak anak membaca buku cerita atau bermain imajinatif yang lebih terarah.
Keempat, mengenalkan anak pada dunia nyata. Misal, mereka sudah kenal Cappucino adalah jenis kopi, tapi dengan hadirnya anomali Cappuccino Assassino, logika anak jadi kabur. Sebagai orang tua, kita perlu mengedukasi bahwa Cappuccino adalah kopi, bukan seperti Cappuccino Assassino yang membawa dua pedang.
Anomali seperti Bombombini Gusini, Lirilì Larilà, dan kawan-kawan adalah produk budaya digital yang menggambarkan kreativitas manusia dalam bentuk paling liar. Namun, bagi anak-anak yang masih dalam tahap perkembangan kognitif dan emosional, anomali bisa menjadi pedang bermata dua.
Dengan pendampingan, seleksi, dan pengawasan, konten-konten ini bisa menjadi hiburan yang aman. Tanpa itu, ia berpotensi menjadi gangguan bagi perkembangan psikologis anak.
Sebagaimana disampaikan oleh Albert Bandura (1925-2021) melalui teori Social Learning, anak belajar dari apa yang mereka lihat dan tiru. Maka, dunia anomali seharusnya bukan ruang lepas tanpa pagar, tapi taman bermain imajinasi yang dipandu.
Konten anomali ibarat dua sisi mata uang, ada positif dan negatifnya. Dibilang inovasi ya bagus, namun akan berbahaya jika terlalu berlebihan dikonsumsi anak karena akan berlogika pendek, antara fakta dan fantasi menjadi bias. Inilah anomali yang sesungguhanya.
Lalu, akankah kita membiarkan anak-anak kita menjadi anomali?
-Penulis adalah dosen Pendidikan Guru Madrasah Ibtidiyah Inisnu Temanggung.