Oleh: Nur Muhamad A.M, M.Pd
Bulan Syawal merupakan momen perayaan umat Islam atas kemenangan dalam menahan dahaga dan rasa lapar selama sebulan penuh di bulan Ramadan. Terdapat berbagai macam tradisi yang dilakukan oleh umat Islam, salah satunya yaitu Syawalan.
Syawalan merupakan suatu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat di beberapa daerah di Indonesia sebagai bentuk perayaan setelah Hari Raya Idul Fitri. Tradisi ini biasanya dilaksanakan pada hari ketujuh atau lebih setelah Idul Fitri untuk mempererat tali silaturahim serta memperkuat nilai-nilai kebersamaan dalam masyarakat. Tradisi ini tidak semata kegiatan seremonial tahunan saja, namun memiliki makna dan filosofi yang mendalam yaitu saling mema’afkan, media silaturahim, meningkatkan kebersamaan, berbagi rezeki, bertukar informasi dan koordinasi.
Kata “Syawal” dalam Bahasa Arab artinya meningkat atau mengangkat. Dalam konteks Islam, Syawal adalah bulan ke sepuluh dalam kalender Hijriah yang menandai berakhirnya Ramadan dan awal perayaan Idul Fitri.
- Iklan -
Makna dari syawalan tidak hanya sebatas perayaan, tetapi juga sebagai simbol pembersihan diri, refleksi, dan peningkatan rasa syukur atas kemenangan setelah berpuasa selama sebulan. Tradisi ini juga menjadi sarana mempererat hubungan antar anggota keluarga, masyarakat, dan kerabat yang mungkin belum sempat bertemu pada Hari Raya Idul Fitri.
Tradisi Syawalan di Indonesia memiliki variasi yang unik di setiap daerah, antara lain: masyarakat menggelar tradisi syawalan dengan melarung hasil bumi ke laut sebagai bentuk syukur kepada Tuhan atas berkah yang diberikan. Warga berbondong-bondong mendaki gunung untuk berziarah dan mengadakan doa bersama. Masyarakat mengadakan halal bihalal dalam bentuk pengajian, kenduri, atau pertemuan keluarga besar.
Tradisi Syawalan Punduh Sidoagung Tempuran Magelang merupakan salah satu tradisi dalam bentuk pengajian & khaul, sebuah perayaan tahunan untuk memperingati sejarah perjuangan KHR. Ma’shum yang masih tetap terjaga dan berjalan hingga saat ini. Tradisi ini pertama kali dirintis oleh KH. Ahmad Abdul Haq (Simbah Mad Watucongol Muntilan) sekitar tahun 1972an yang dilaksanakan setiap tanggal 9 Syawal dan selalu ramai dipadati warga yang tidak hanya berasal dari Tempuran saja bahkan dari luar daerah baik malam maupun siang hari di komplek makam KHR. Ma’shum.
KHR. Ma’shum (biasa dipanggil Simbah Ma’shum) merupakan seorang tokoh kyai kharismatik terkenal ke’alimannya dan karomahnya yang masyhur tidak hanya di Tempuran saja, akan tetapi juga di Magelang dan sekitarnya. Beliau salah satu kyai yang memiliki peranan penting dalam dunia perkembangan Islam di Magelang. KHR. Ma’shum dilahirkan di Magelang 18 September 1846 M dan wafat pada tanggal 1 Syawal 1353 H. Beliau salah satu dari santri Syaikhona Kholil Bangkalan.
Pada masa mudanya beliau menimba ilmu di beberapa pondok pesantren termasuk di pondok pesantren Syaikhona Kholil Bangkalan. Setelah selesai mengaji di berbagai pondok pesantren beliau pulang dan mendirikan pondok pesantren di kampung halamannya Punduh Sidoagung Tempuran Magelang pada tahun 1871 M. Menurut riwayat, santri pertama yang menimba ilmu kepada beliau berjumlah 50 orang yang kemudian menjadi kader yang tangguh dan militan serta menjadi ulama masyhur rujukan dan panutan umat seperti Simbah KH. Ihsan Ponpes Jampes Kediri, Simbah KH. Dalhar Ponpes Watucongol Muntilan, Simbah KH. Sirodj / Romo Agung Payaman, Simbah KH. Rahmat Ponpes Kleteran Grabag, Simbah KH. Mandzur Temanggung, Simbah KH. Abdan Koripan Tegalrejo, dan lainnya.
Seiring perkembangan zaman, tradisi syawalan mengalami modernisasi. Kini, banyak komunitas atau instansi yang mengadakan halal bihalal secara besar-besaran di tempat kerja, organisasi, atau lingkungan sosial lainnya. Kegiatan ini tetap mengusung semangat kebersamaan, tetapi lebih disesuaikan dengan gaya hidup masa kini.
Meskipun mengalami perubahan dalam cara pelaksanaannya, esensi dari syawalan tetap sama, yaitu memperkuat hubungan sosial, mempererat persaudaraan, dan meningkatkan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan bermasyarakat.
Tradisi Syawalan memiliki akar kuat dalam budaya masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa. Tradisi ini bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga momen untuk bersyukur, mempererat hubungan sosial, dan menjaga warisan budaya yang telah berlangsung selama berabad-abad. Dengan tetap melestarikan syawalan, masyarakat dapat terus menjaga nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para leluhur.
Tradisi Syawalan mengandung nilai-nilai penting dalam kehidupan social dan spiritual masyarakat Indonesia, yaitu kesederhanaan, persatuan dan kesatuan, kemurahan hati, ketakwaan dan kepatuhan.
Dengan menjaga dan memelihara tradisi syawalan, kita turut serta dalam membangun harmoni dan persatuan dalam masyarakat serta melestarikan warisan budaya yang berharga bagi generasi penerus yang akan datang.
-Kepala MI Walisongo Sumberarum Tempuran Magelang