Oleh Muhammad Nur Faizi
Niat, usaha, dan pasrah adalah 3 elemen yang membentuk keberhasilan manusia. Seseorang bisa dikatakan berhasil jika sukses mengoptimalkan ketiganya. Namun, banyak yang gagal karena tidak memaksimalkan ketiganya. Atau sudah memaksimalkan semuanya, namun takdir tidak berpihak padanya. Takdir seringkali menjadi faktor terakhir yang menjadi penentu keberhasilan.
Takdir ini, meski tidak selalu bisa diprediksi, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan hidup manusia. Banyak contoh orang yang telah berjuang keras namun gagal mencapai tujuannya, karena takdir memang belum berpihak. Namun, justru di titik kegagalan itulah seseorang dapat menemukan hikmah dan pelajaran yang dapat membentuk dirinya menjadi lebih baik.
Dalam Kitab Arbain Annawawi disebutkan jika niat menjadi pondasi dasar penentu keberhasilan. Setiap niat yang diucapkan dalam hati, akan menuntun tubuh untuk terus berjuang menggapai sesuatu yang diniatkan. Apabila niat ini tidak diucapkan secara sungguh-sungguh, maka ikhtiyar ataupun usaha yang dilakukan tidak akan maksimal.
- Iklan -
Niat yang tulus akan membawa keberkahan dalam setiap langkah, menjadikan seseorang lebih sabar dan tekun dalam menjalani proses. Tidak hanya itu, niat yang benar juga membantu seseorang untuk fokus pada tujuan utama, meskipun jalan yang ditempuh penuh dengan rintangan.
Dengan logika tersebut, tidak heran jika di beberapa syarat ibadah seperti salat mensyaratkan niat sebagai hal yang utama. Seseorang yang sudah berniat sungguh-sungguh untuk mengerjakan shalat, maka orang tersebut akan mengerjakan shalat hingga selesai. Inilah modal utama yang harus dipenuhi sebelum bergelut di tahap usaha.
Ketika niat sudah kokoh dalam hati, langkah pertama menuju keberhasilan telah tercapai. Namun, usaha yang dilakukan setelah itu tidak boleh setengah-setengah. Tanpa usaha, niat akan sia-sia, karena keberhasilan tidak akan datang hanya dengan niat saja.
Seperti halnya pepatah, usaha tidak akan menghianati hasil. Maka begitulah dunia akan bekerja. Setiap yang diusahakan secara maksimal, akan menemukan hasil yang memuaskan. Setelah niat yang tulus terucap, seseorang harus memiliki tekad untuk terus melangkah, bahkan ketika tantangan menghadang. Dengan demikian, niat dan usaha harus berjalan beriringan menghasilkan kesuksesan.
Keberhasilan Didapat Dengan Niat dan Usaha Keras?
Sudah dipahami jika dari niat yang kuat, bisa menghasilkan usaha yang tidak terbatas. Tapi, apakah itu semua bisa menjamin keberhasilan? Sudah menjadi pemahaman bahwa niat yang kuat dan usaha yang maksimal adalah kunci penting dalam meraih keberhasilan.
Namun, dalam perspektif Islam, keberhasilan tidak sepenuhnya bergantung pada niat dan usaha manusia semata. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, termasuk hasil dari setiap usaha, tetap berada dalam kehendak dan takdir Allah SWT. Bahkan, meskipun manusia berusaha sekuat tenaga, hasilnya tetap berada di luar kendali, dan itulah yang terkadang membuat kita belajar untuk lebih menerima dan berserah diri.
Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 286: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari kebaikan yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya.” Ayat ini mengingatkan bahwa manusia hanya diwajibkan berusaha semampunya, sedangkan hasil akhir sepenuhnya adalah hak prerogatif Allah SWT.
Ketika kita menyadari bahwa segala sesuatu yang kita upayakan tak lepas dari takdir-Nya, kita akan lebih bijak dalam menilai keberhasilan. Keberhasilan bukan hanya soal pencapaian materi, tetapi lebih kepada ketulusan hati dalam menjalankan segala usaha sesuai dengan kapasitas diri.
Jika dikaitkan dengan teori stoikisme, keberhasilan tidak semata-mata diukur dari hasil akhir, melainkan dari sejauh mana seseorang telah melakukan yang terbaik sesuai dengan kapasitasnya. Dalam pandangan stoik, fokus utama manusia adalah pada hal-hal yang berada dalam kendali dirinya, seperti niat, usaha, dan sikap terhadap situasi. Hasil akhir, sebagaimana takdir dalam Islam, adalah sesuatu yang berada di luar kendali manusia dan karenanya tidak perlu menjadi sumber kekhawatiran.
Stoikisme mengajarkan kita untuk menerima apapun yang terjadi dengan rasa syukur dan ketenangan, sambil terus berusaha sebaik mungkin, karena setiap perjuangan dan usaha yang kita lakukan adalah bagian dari pembentukan karakter dan kebijaksanaan diri.
Keberhasilan sejati bukan hanya terukur dari apa yang tercapai, tetapi bagaimana kita menjalani proses tersebut. Proses itu sendiri mengajarkan kita untuk lebih sabar, lebih bijaksana, dan lebih kuat dalam menghadapi segala rintangan. Jika kita memandang keberhasilan dengan cara ini, kita akan lebih mudah menerima bahwa takdir Allah SWT adalah bagian dari perjalanan hidup yang harus diterima dengan lapang dada.
Kegagalan Manusia Menghadapi Takdir
Seringkali manusia memandang dirinya sebagai makhluk yang memiliki kontrol penuh atas segala sesuatu di alam semesta. Dengan anggapan ini, mereka sering kali menjadikan rencana-rencana mereka sebagai tolok ukur keberhasilan, seolah-olah tidak ada kekuatan lain yang dapat mempengaruhi jalannya kehidupan.
Mereka lupa bahwa meskipun manusia diberi akal dan kemampuan untuk berusaha, takdir tetap berada di luar jangkauan pemahaman dan kontrol mereka. Keberhasilan yang mereka raih sering kali dianggap sebagai hasil dari kemampuan dan kerja keras mereka, sementara kegagalan sering kali disalahkan pada kurangnya usaha atau perencanaan.
Padahal, dalam Islam diajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas, dan segala sesuatu di dunia ini berjalan sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Anfal ayat 17: “Bukanlah kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” Ayat ini menegaskan bahwa keberhasilan tidak sepenuhnya berada di tangan manusia, melainkan karena izin dan kehendak Allah.
Keberhasilan yang sejati adalah ketika manusia dapat menjalani setiap proses hidup dengan rasa syukur dan keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari takdir-Nya. Ini adalah cara Allah mengajarkan kita tentang kesabaran, ketekunan, dan kerendahan hati.
Maka tawakal adalah salah satu tanda nyata dari orang yang memiliki keimanan kuat kepada Allah SWT. Dengan tawakal, seorang mukmin tidak akan merasa terbebani atau menganggap usaha sebelumnya sia-sia ketika tujuan yang diharapkan tidak tercapai.
Sebaliknya, kondisi ini seharusnya memperkokoh kepercayaannya bahwa manusia tidak memiliki kendali penuh atas hasil dari setiap ikhtiar, bahkan dalam hal-hal yang paling mendasar sekalipun, seperti mengetahui kapan dan di mana ia akan meninggal, sebagaimana dalam Surah Al-An’am ayat 31. Dengan tawakal, kita diingatkan untuk selalu berserah diri kepada Allah, menerima hasil apapun yang datang dengan hati yang ikhlas, dan melangkah dengan keyakinan bahwa takdir-Nya adalah yang terbaik untuk kita.
Selain itu, memahami keterbatasan diri dalam kendali atas kehidupan akan membawa kedamaian batin yang mendalam. Ketika kita sepenuhnya menyadari bahwa usaha dan niat adalah bagian dari proses, tetapi hasilnya adalah milik Allah, maka kita akan lebih mudah menerima apapun yang terjadi. Tidak ada lagi kekecewaan berlarut-larut atas kegagalan atau kebanggaan berlebihan atas pencapaian. Semua itu akan dipandang sebagai anugerah dari Allah yang harus disyukuri. Ini adalah kunci untuk mencapai kebahagiaan sejati, yang datang bukan dari hasil yang terlihat, tetapi dari sikap kita dalam menerima setiap hasil sebagai bagian dari perjalanan hidup yang telah ditentukan.
– Santri Pondok Pesantren Kotagede HIdayatul Mubtadi ien Yogyakarta.