Oleh Khairul Anwar
Beberapa bulan lalu, saya menjadi moderator pada sebuah kegiatan kelas menulis yang diadakan oleh komunitas Griya Riset Indonesia (GRI). Narasumbernya bukan kaleng-kaleng. Hamidulloh Ibda, seorang Reviewer pada 31 Jurnal Terindeks Scopus. Namun, pada tulisan kali ini saya tidak hendak mengulas profil beliau. Biar lain kali saja.
Jadi begini. Salah satu poin yang saya tangkap dari materi yang disampaikan Pak Ibda adalah soal konsistensi dalam menulis. Intinya, Pak Ibda mengatakan bahwa menulis itu harus ditradisikan. Dan, saya pun mengangguk-ngangguk sembari mendengarkan dengan seksama penjelasan Pak Ibda.
Pak Ibda bukan orang pertama yang bilang seperti itu. Dulu, saat mengikuti Kelas Menulis Online-nya Iqbal Aji Daryono, penulis yang status facebook-nya selalu ramai, pernyataan serupa juga pernah disampaikan oleh Pak Iqbal.
- Iklan -
Begitupun baru-baru ini, ketika saya mengikuti acara Workshop.Penelitian dan Publikasi Karya Ilmiah di Semarang, seorang narasumber mengatakan bahwa menulis adalah hanya soal kebiasaan. Orang yang belum terbiasa menulis, maka ia harus membiasakan diri untuk menulis.
Menulis adalah Membangun Tradisi
Betul. Menulis adalah soal tradisi. Menulis adalah membangun kebiasaan. Tidak ujug-ujug baru sekali mencoba menulis, langsung bisa. Kalau toh ada yang baru pertama, atau beberapa kali mencoba nulis langsung bisa, tulisannya bagus, itu tentu tak banyak. Bahkan, penulis yang terkenal sekaliber J.K Rowling (penulis novel Harry Potter) pun pernah ditolak belasan kali naskahnya oleh penerbit, sebelum menuai kesuksesan seperti sekarang ini.
Saya pun, enam tahun lalu, sama sekali nggak pede dengan hasil tulisan saya sendiri. Pernah beberapa kali menulis opini/esai, namun tak pernah dikirim ke media, kecuali artikel berita. Bahkan sampai hari ini pun, saya merasa tulisan saya nggak bagus. Kalau pun Iqbal Aji Daryono, tiga tahun lalu, pernah memuji dengan mengatakan saya sudah punya basic skills menulis, itu hanya karena kebiasaan menulis saja.
Tradisi menulis baru saya bangun justru selepas lulus kuliah sarjana. Dalam hal ini, menulis secara konsisten sejak masa pandemi. Tentu, ini jangan ditiru oleh adik-adik mahasiswa. Bahwa sebagai mahasiswa, menulis perlu untuk ditradisikan. Tugas mahasiswa, selain belajar di kelas, ya, menulis.
Bagi saya, menulis merupakan tentang bagaimana kita mau belajar. Belajar mencari ide atau topik, belajar merangkai kata demi kata, belajar menyusun kalimat dan paragraf, belajar menuangkan gagasan, dan lain sebagainya. Semangat belajar itu yang kemudian membuat saya termotivasi untuk konsisten menulis, meski banyak sekali rintangannya.
Semangat menulis saya makin meningkat signifikan sejak memutuskan kuliah S2 (2021). Sejak itu, selain menulis berita dan opini, saya juga belajar menulis artikel ilmiah. Dan, alhamdulillah, tradisi menulis artikel ilmiah, berita, dan opini, masih tak pelihara hingga sekarang. Perasaan kadang nggak karuan jika dalam seminggu saja, saya nggak berhasil menghasilkan minimal satu tulisan.
Menulis ibarat kita mengayuh sepeda. Jika kita nggak ingin terjatuh alias jika kita ingin terus produktif, maka kita harus terus mengayuh sepeda itu. Paling tidak, kita harus punya modal awal yaitu kemauan dan meluangkan waktu. Dua hal ini, jika kita tak bisa memenuhinya, maka mimpi mempublikasikan tulisan di media hanya akan menjadi angan-angan saja.
Sama seperti kita berorganisasi. Selain dibutuhkan kemauan tekad yang kuat, juga harus meluangkan waktu. Waktu ibarat pedang. Jika tak kita gunakan dengan baik, akan bisa menjadi ancaman atau hukuman bagi kita, seperti pedang yang bisa menusuk atau menebas jika tidak digunakan dengan benar.
Bangunlah tradisi menulis dari sekarang. Misal, dalam menulis opini/esai, saya selalu menargetkan minimal satu minggu satu tulisan, atau kalau lagi sibuk-sibuk banget dengan tuntutan pekerjaan aktivitas lain, maka ya, minimal satu bulan dua artikel opini. Saya menulis terkadang nggak sekali jalan langsung jadi. Bisa saja hari ini saya menulis hingga tujuh paragraf, besoknya baru tak selesaikan. Sebab, mood dalam menulis terkadang berbeda-beda.
Untuk tulisan berjenis artikel ilmiah, saya nggak ada target khusus. Kalau ada kesempatan mengikuti event Call For Paper, Konferensi Ilmiah, atau agenda lain, ya sebisa mungkin saya kerjakan. Meski nggak pakai target, dalam satu semester setidaknya saya bisa menghasilkan 3-4 artikel yang siap submit.
Selain ibarat mengayuh sepeda, menulis bagi saya juga ibarat seperti menanam padi. Jika kita tanam padi, yang tumbuh tidak hanya padi, tapi juga rumput. Padi maupun rumput, sama-sama bisa kita manfaatkan dan memberi berkah. Begitu pun dengan menulis.
Tulisan yang berhasil kita publish di media dan kita istiqomah melakukannya, kita tidak hanya berbagi ilmu pengetahuan ke khalayak luas. Tapi, kita juga mendapatkan reward lain yang terkadang tidak terduga-duga. Nah, rezeki yang tak terduga-duga tersebut yang saya umpamakan sebagai tumbuhnya rumput ketika menanam padi.
Mengikuti Jejak Ulama
Sampai dengan saat ini dan sampai kapan pun, mungkin saya akan terus mencoba untuk menulis. Lebih-lebih profesi saya juga menuntut diri untuk terus menghasilkan karya tulis. Ketika pencari nafkah di dunia kampus dituntut untuk menulis, ulama-ulama kita terdahulu malahan sudah sering melakukannya tanpa diminta.
Kita tentu pernah mendengar ada ulama yang hobinya menulis, khususnya mengarang kitab. Sebut saja, beberapa ulama yang dikenal produktif dalam menulis dan karyanya masih dipelajari hingga sekarang, terutama oleh kalangan santri, antara lain Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dan Imam Nawawi.
Di era yang lebih kontemporer, kita mengenal beberapa tokoh NU, seperti Hadratussyaikh KH. Hasyim Asyari (pendiri NU), KH. Maimun Zubair, KH. Ali Yafie, KH. Abdurrahman Wahid, Mahbub Djunaidi, hingga generasi sekarang ada Gus Ulil, Hussein Muhammad, dan lain-lain. Mereka punya ciri khas masing-masing. Ada yang menulis kitab, ada yang mengirim artikel ke media cetak layaknya Gus Dur dan Mahbub Djunaidi.
Satu hal yang bisa dipelajari dari mereka adalah keistiqomahan dalam menulis. Mereka tidak hanya menjadi pendidik umat melalui ceramah-ceramah, tapi juga membangkitkan semangat berislam melalui karya tulis.
Meskipun mereka, beberapa di antaranya sudah ada yang wafat, namun karya mereka tetaplah abadi. Gus Dur, misalnya, warisan intelektualnya masih relevan dan menjadi rujukan para tokoh agama hingga kalangan akademisi. Usia Gus Dur di dunia tidak lebih dari 69 tahun, namun tulisan-tulisannya yang pernah diterbitkan di media, masih bisa kita nikmati sampai detik ini.
Jika para ulama meninggalkan alam semesta ini dengan warisan berupa kitab kuning, atau karya tulis yang lain, kita yang ilmunya sangat dangkal ini, mau mewariskan apa?
-Ketua LP2M STAI Ki Ageng Pekalongan, Sekretaris LTTNU Kab. Pekalongan dan PR GP Ansor Karangjompo, Penulis Buku ‘Manusia dan Kesadaran Ekologis’