*) Oleh: Tjahjono Widarmanto
Prawacana
Teknologi kecerdasan buatan (artificial Intelligence/AI) telah membawa perubahan besar dalam dunia peradaban manusia. Termasuk di dalamnya dunia kesenian, baik dalam seni rupa, film, satra, pertunjukkan, kriya, musik dan berbagai seni lainnya. Dengan kemampuan dan kecanggihannya memproses data secara super kilat, artificial Intelligence/AI dengan algoritmanya dapat memproduksi dan menciptakan berbagai bentuk seni, baik seni sastra, film, lukis, patung, kriya, musik, pertunjukkan dan genre-genre seni lainnya.
- Iklan -
Fenomena ini memunculkan beberapa pertanyaan besar,” Apakah sebuah karya yang yang dihasilkan oleh artificial Intelligence/AI dapat dikatakan sebagai sebuah karya seni? Bagaimanakah masa depan seni jika dominasi artificial Intelligence/AI menggantikan peran para seniman?
Pertanyaan-pertanyaan di atas juga menyiratkan kegelisahan para seniman (pekerja seni) saat dominasi artificial Intelligence/AI menyentuh ranah kesenian. Baru-baru ini, di bulan Juni hingga September lalu, dengan sangat emosional, para naskah dan pekerja film di Hollywood melakukan mogok selama 184 hari dengan tuntutan utama agar penggunaan artificial Intelligence/AI hanya untuk tujuan riset dan bukan di bidang penulisan naskah atau tata panggung.
Sampai saat ini artificial Intelligence/AI merupakan sebuah teknologi tercanggih yang dapat menggantikan segala pekerjaan manusia. Secara umum, orang melihat artificial Intelligence/AI sebagai alat yang memudahkan bekerja manusia, menghemat waktu, dan meminimalkan biaya kerja. Cara bekerja artificial Intelligence/AI adalah bergantung pada memori-memori yang diterimanya melalui umpan-umpan informasi yang diberikan. Cara kerja semacam itu membuka peluang artificial Intelligence/AI untuk menciptakan sesuatu yang baru berdasar basis data yang ada. Akibatnya, dalam jagat seni, secara luas artificial Intelligence/AI dianggap dapat mengancam keberadaan seniman dalam penciptaan karya seni.
Peluang dan Tantangan
Penggunaan artificial Intelligence/AI sebenarnya memiliki peluang yang besar dalam penciptaan seni. Peluang tersebuat adalah terbukanya terobosan dalam penciptaan seni yang memadukan teknologi dan imajinasi. Hal ini dapat dilihat dalam pameran seni instalasi di Pieterskerk, Leiden, Belanda, pertengahan September 2024 lalu.
Dalam perhelatan itu, Malthias Oostrik, menyuguhkan sebuah seni instlasi yang mencengangkan publik, yang diberinya judul Smile! Oostrik mennggantung sebuah bola yang tersusun dari 48 layar kaca video, tiga saluran suara, dan kamera. Setiap orang diajak mendekat ke kamera untuk dipotret wajahnya. Potret wajah para penonton diubah menjadi replika yang sempurna di bola layar video. Kemudia dalam setiap menit berubah menjadi berbagai bentuk; menjadi muda, berubah tua, tertawa, menangis, rambutnya jadi keriting, pirang, berjenggot, atau botak. Perubahan-perubahan wajah itu dinikmati penonton dengan interaktif, membuatnya tersenyum, bengong, nggumun atau malah ngeloyor pergi. Bahkan ada beberapa pengunjung dengan menggendong anjing, berteriak kaget ketika di dalam bola layar kaca tampak ia menggendong babi atau komodo.
Apabila seni diartikan sebagai ekspresi kreatif buah dari kreativitas dan imajinasi manusia dalam gagasan, emosi, dan penciptaan, maka karya tersebut jelas disebut sebagai karya seni. Itu artinya secanggih apapun artificial Intelligence/AI tidak bisa mengabaikan faktor emosi, imajinasi dan kreativitas senimannya. Artificial Intelligence/AI hanyalah alat atau media, sebagaimana kuas, cat, atau kanvas dalam seni rupa; diksi, simbol, konflik dalam teks seni sastra.
Artificial Intelligence/AI memang memudahkan manusia dalam menyelesaikan pekerjaannya, juga dalam bidang seni. Namun artificial Intelligence/AI tak bisa menggantikan kreativitas, ide, imajinasi, dan emosi seniman yang merespons secara khas keadaan di sekelilingnya. Artificial Intelligence/AI ini hanya membantu penciptaan seni untuk menetukan pilihan model, pengolahan data, alternatif bentuk, tanpa mampu menciptakan emosi yang ada dalam roh seni tersebut.
Seni di bidang apa pun tak hanya berkait dengan visual dan estetika belaka, tetapi juga berkaitan dengan emosi. Visual dan estetika boleh jadi bisa dibantu dengan artificial Intelligence/AI, tetapi tidak dengan emosi. Oleh karena itu sang seniman harus berani mengolah ruang kretivitas dengan improvisasi tak terduga, imajinasi yang tak terbatas sehingga tidak dikendalikan dengan teknologi.
Sekali lagi artificial Intelligence/AI hanyalah medium. Artificial Intelligence/AI adalah alat belaka. Karena itu, sebenarnya artificial Intelligence/AI bukan ancaman bagi seorang seniman. Karena hanyalah alat untuk memudahkan dalam proses berkarya, maka artificial Intelligence/AI tak akan sanggup dan mampu untuk menghadirkan sisi emosional seniman, kontemplasi seniman, pengalaman personal seniman, serta psikologi seniman yang ditransformasikan pada karya seninya. Emosi, personalitas, kontemplasi, imajinasi dari seniman tetaplah yang tertinggi yang menentukan nilai akhir sebuah karya seni.
Akhrnya jangan silau dengan artificial Intelligence/AI. Jangan takut dengan artificial Intelligence/AI!
*) Penulis adalah sastrawan, guru SMA 2 Ngawi, dan esais.
TJAHJONO WIDARMANTO
TTL: 18 april 1969 di Ngawi, Jawa Timur. Menerima penghargaan di bidang kesastraan antara lain, Lima Buku Puisi Terbaik versi Hari Puisi Indonesia 2016, Penghargaan Sastrawan Pendidik 2013 dari Pusat Pembinaan Bahasa, Penghargaan Guru Bahasa dan Sastra Berdedikasi 2014 dari Balai Bahasa Jawa Timur, Penghargaan Seniman Budayawan Berprestasi Jawa Timur 2012, Pemenang Sayembara Menulis Buku Pengayaan Buku Teks kategori Fiksi 2004, 2005, 2007, 2010, dan 2013, LCPI Komunitas Saung 2021, Esai-Esai Terbaik di Sastra Media 2022-2023, Penulis Terbaik Majalah Media Pendidikan Jawa Tmiur 2023, Sepuluh Nominasi Buku Sastra Terbaik 2023 versi Tempo, Buku-bukunya yang telah terbit Bianglala Sastra (kumpulan esai, 2024), Suluk Kangen Kanjeng Nabi (2024), Dari Balik Maut Kulirik Cinta (2023), Suluk Pangracutan dari Kampung arwah (2023), Qasidah Langit, Qasidah Bumi (2023), Bersepeda dari Barat ke Utara hingga Tulang Rusukku Tumbuh Bulu (buku puisi, Alang Pustaka:2021), Kitab Ibu dan Kisah-Kisah Hujan (buku puisi, Etankali:2020), Yuk, Nulis Puisi (Diva Press, 2019), Kata dan Bentuk Kata dalam Bahasa Indonesia (2019), Biografi Cinta (buku puisi, CMG:2019), Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (buku puisi, Basabasi:2018), Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak (buku puisi, Satukata:2016), Pengantar Jurnalistik; Panduan Awal Penulis dan Jurnalis (cet.ke-2, Araska Publisher, 2016), Marxisme dan Sumbangannya Terhadap Teori Sastra (Satukata;2014), Sejarah yang Merambat di Tembok-Tembok Sekolah (buku puisi, Satukata:2014), Mata Air di Karang Rindu (buku puisi, Satukata:2013), Masa Depan Sastra; Mozaik Telaah dan Pengajaran Sastra (kumpulan esai sastra, Satukata:2013), Umayi (buku puisi, satukata:2012), Nasionalisme Sastra (bunga rampai esai sastra:2011), Drama; Pengantar dan Penyutradaraannya (Lingkarsastra Tanah Kapur, 2009), Mata Ibu (buku puisi, 2010), Kidung Cinta Buat Tanah Tanah Air (buku puisi 2007), Kitab Kelahiran (buku puisi, Dewan Kesenian Jatim:2003), Kubur Penyair (buku puisi, Diva Press:2002), dan Di Pusat Pusaran Angin (buku puisi, KSRB;1997).