Oleh Taufiq, S.Pd.I, Alh
Guru MA Andalusia Wonosobo
Rencana menghidupkan kembali Ujian Nasional (UN) telah menjadi topik perbincangan hangat di kalangan masyarakat, khususnya dalam dunia pendidikan. Setelah dihapuskan pada tahun 2020 dengan alasan reformasi sistem evaluasi pendidikan, gagasan untuk mengembalikan UN memunculkan beragam respons. Ada yang melihatnya sebagai langkah positif untuk meningkatkan mutu pendidikan, namun tidak sedikit yang menganggapnya sebagai langkah mundur yang hanya akan membebani siswa tanpa memberikan manfaat signifikan.
Pihak yang mendukung diadakannya kembali UN berargumen bahwa UN dapat menjadi alat ukur yang efektif untuk menilai kompetensi siswa secara merata di seluruh Indonesia. Dengan adanya standar nasional, pemerintah dapat memantau sejauh mana keberhasilan kurikulum yang diterapkan serta mengidentifikasi daerah yang memerlukan intervensi pendidikan lebih lanjut. UN juga dianggap mampu menciptakan keseragaman dalam standar pendidikan di berbagai wilayah, yang penting untuk membangun kesetaraan dalam akses pendidikan.
- Iklan -
Selain itu, UN dianggap dapat mendorong siswa untuk belajar lebih serius dan meningkatkan daya saing mereka. Di tengah era globalisasi yang menuntut kompetensi tinggi, keberadaan UN diyakini dapat memotivasi siswa untuk mencapai standar yang telah ditetapkan. Pengembalian UN juga dinilai dapat memperbaiki budaya evaluasi dalam sistem pendidikan, di mana setiap siswa memiliki tolok ukur yang sama dalam pengukuran prestasi mereka.
UN juga dapat berfungsi sebagai parameter bagi pemerintah dalam membuat kebijakan pendidikan yang lebih terarah. Dengan data dari hasil UN, pemerintah dapat menilai efektivitas kurikulum, metode pengajaran, dan kualitas guru di berbagai daerah. Hal ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang membutuhkan perhatian khusus dalam peningkatan mutu pendidikan, termasuk alokasi anggaran dan pelatihan guru.
Namun, tidak sedikit pihak yang menilai bahwa menghidupkan kembali UN adalah langkah mundur. Kritik utama terhadap UN adalah sifatnya yang terlalu berorientasi pada hasil, bukan proses. Sistem ini cenderung mengabaikan aspek-aspek penting lain dalam pendidikan seperti pengembangan karakter, kreativitas, dan keterampilan berpikir kritis. Ujian yang hanya mengukur aspek kognitif membuat siswa cenderung fokus pada menghafal materi daripada memahami konsep secara mendalam.
Selain itu, UN sering kali dianggap tidak adil bagi siswa di daerah terpencil yang memiliki akses terbatas terhadap fasilitas pendidikan yang memadai. Standar yang sama diterapkan untuk semua siswa tanpa memperhitungkan kesenjangan infrastruktur dan kualitas pengajaran di berbagai wilayah. Ketimpangan ini berpotensi memperburuk kesenjangan pendidikan di Indonesia, di mana siswa di daerah maju akan lebih unggul dibandingkan siswa di daerah tertinggal.
Stres dan tekanan yang dialami siswa juga menjadi perhatian utama. Banyak siswa merasa terbebani oleh UN, yang menyebabkan mereka belajar hanya untuk lulus ujian, bukan untuk memahami materi secara mendalam. Hal ini bertentangan dengan tujuan pendidikan yang seharusnya mendorong pembelajaran yang bermakna dan berkelanjutan. Fenomena “teaching to the test” juga menjadi masalah, di mana guru lebih fokus pada materi yang diujikan dalam UN dibandingkan mengajarkan keterampilan yang relevan dengan kehidupan nyata.
Selain itu, pengembalian UN berisiko mengulang masalah yang pernah terjadi sebelumnya, seperti kecurangan dalam pelaksanaan ujian. Dalam beberapa kasus, terjadi kebocoran soal dan manipulasi hasil ujian untuk mengejar prestise sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa sistem UN rentan terhadap praktik-praktik yang tidak etis, yang pada akhirnya merugikan integritas pendidikan.
Salah satu dampak negatif dari pengembalian UN yang sering diabaikan adalah dampak psikologis pada siswa. Tekanan untuk mendapatkan nilai tinggi dalam UN dapat menyebabkan kecemasan dan stres yang berlebihan. Banyak siswa mengalami gangguan mental akibat tekanan ini, yang berdampak pada kesehatan mereka secara keseluruhan. Kondisi ini diperburuk dengan adanya harapan dari orang tua dan lingkungan sosial yang memandang hasil UN sebagai tolok ukur kesuksesan.
Stres yang dialami siswa juga berdampak pada hubungan mereka dengan keluarga dan teman. Banyak siswa yang merasa terisolasi karena harus fokus belajar untuk UN, mengorbankan waktu mereka untuk bersosialisasi dan melakukan kegiatan yang mereka sukai. Hal ini dapat menyebabkan burnout dan menurunkan motivasi belajar mereka di masa depan.
Di sisi lain, tekanan juga dirasakan oleh para guru dan kepala sekolah yang merasa harus memastikan siswa mereka meraih hasil UN yang baik agar sekolah mereka tidak dipandang buruk. Ini menciptakan budaya kompetisi yang kurang sehat di lingkungan pendidikan, di mana fokus utama adalah pada nilai ujian, bukan pada kualitas pembelajaran.
Daripada mengembalikan UN dalam bentuk yang sama, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan solusi alternatif untuk mengevaluasi siswa. Sistem penilaian yang lebih holistik, yang mencakup penilaian berbasis proyek, portofolio, serta keterlibatan dalam kegiatan ekstrakurikuler, dapat memberikan gambaran yang lebih komprehensif tentang kemampuan siswa. Penilaian berbasis proses ini akan mendorong siswa untuk belajar dengan cara yang lebih bermakna dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Selain itu, evaluasi berbasis daerah yang mempertimbangkan konteks lokal juga bisa menjadi solusi yang lebih adil. Dengan cara ini, siswa tidak diukur berdasarkan standar yang sama, tetapi berdasarkan kemampuan mereka sesuai dengan lingkungan dan sumber daya yang tersedia. Pemerintah juga dapat memanfaatkan teknologi digital untuk melakukan evaluasi berbasis online yang lebih fleksibel dan efisien.
Sistem evaluasi alternatif juga dapat mencakup penilaian kompetensi non-akademik, seperti keterampilan komunikasi, kemampuan berpikir kritis, dan kecakapan hidup. Keterampilan ini sangat penting di era modern dan seharusnya menjadi bagian dari tujuan pendidikan. Dengan demikian, siswa akan lebih siap menghadapi tantangan dunia nyata, bukan hanya ujian tertulis.
Menghidupkan kembali Ujian Nasional adalah keputusan yang harus dipertimbangkan dengan matang. Jika tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, maka sistem evaluasi yang lebih komprehensif dan adil seharusnya menjadi prioritas. Mengembalikan UN dalam format lama tanpa memperhatikan kekurangan yang telah diidentifikasi sebelumnya hanya akan menjadi langkah mundur.
Pendidikan harus berorientasi pada pengembangan potensi siswa secara holistik, bukan sekadar mengukur kemampuan akademik melalui ujian standar. Oleh karena itu, alih-alih menghidupkan kembali UN, pemerintah perlu fokus pada reformasi sistem evaluasi yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman. Reformasi ini harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk guru, siswa, orang tua, dan pakar pendidikan, agar solusi yang dihasilkan benar-benar efektif dan berdampak positif bagi masa depan pendidikan di Indonesia.
Dengan memperhatikan berbagai aspek tersebut, diharapkan sistem evaluasi yang baru dapat menghasilkan generasi yang lebih siap menghadapi tantangan global, memiliki keterampilan yang relevan, dan mampu berkontribusi secara positif dalam masyarakat. Langkah ini akan menjadi investasi jangka panjang bagi kemajuan bangsa, jauh lebih penting daripada sekadar menghidupkan kembali Ujian Nasional dalam bentuk yang sama.