Oleh Faiq Aminuddin
Akhir Desember 2024 ini saya mendapat kesempatan untuk mengikuti pelatihan tentang Sumber Pembelajaran Terbuka. Pelatihan daring ini oleh Creative Commons Indonesia di elearning.seamolec.org. Saya sangat tertarik dengan materi tentang praktik pembelajaran terbuka yang disampaikan oleh Wahyu Setioko.
Melalui rekaman video, Wahyu Setioko menyampaikan bahwa pembelajaran terbuka setidaknya meliputi empat unsur; sumber, tujuan, proses dan penilaian. Jadi, pembelajaran dapat disebut sebagai pembelajaran terbuka jika sumber, tujuan, dan proses pembelajarannya terbuka. Tidak hanya itu, penilaian atau asesmennya juga harus terbuka.
Pertama, pembelajaran terbuka menggunakan sumber pembelajaran terbuka. Menurut UNESCO, sumber pembelajaran terbuka atau Open Educational Resources merupakan bahan ajar dalam format apapun yang tersedia dalam domain publik atau karya berhak cipta yang sudah dilepas dengan lisensi terbuka, yang memungkinkan penggunanya untuk mengaksesnya dengan gratis, menggandakan, mengadaptasi, serta menggunakannya kembali. Dalam sumber pembelajaran terbuka ada semangat berbagi pengetahuan atau sedekah ilmu.
- Iklan -
Kedua, pembelajaran terbuka bertujuan melaksanakan pengajaran yang terbuka yaitu memberi kesempatan kepada murid untuk ikut aktif memproduksi pengetahuan. Jadi, dalam pembelajaran terbuka, murid tidak hanya pasif menerima atau menyerap pengetahuan dari guru dan sumber belajar. Semangat pengajaran terbuka adalah pembelajaran yang berpusat pada Siswa.
Ketiga, proses pembelajaran terbuka menggunakan kolaborasi terbuka. Pembelajaran terbuka memberi kesempatan murid untuk bekerja sama dengan orang lain mulai dari guru, teman, keluarga, masyarakat sampai netizen. Jadi pembelajaran terbuka tidak terbatasi oleh ruang kelas dan bangunan sekolah.
Keempat, pembelajaran terbuka menggunakan penilaian terbuka. Proses pembelajaran terbuka antara lain dapat dinilai dengan model peer-review atau penilaian antar teman. Jadi, penilaian dan umpan balik atas proses dan hasil pembelajaran murid tidak hanya diberikan oleh guru tetapi juga terbuka bagi teman-teman belajarnya.
Selain empat unsur di atas, Wahyu Setioko menyampaikan satu ciri penting dari pembelajaran terbuka yaitu adanya tugas berjangka panjang. Dalam bahasa Inggris, tugas berjangka panjang ini disebut renewable assignment. Tugas berjangka panjang bukan tugas sekali pakai atau disposable assignment yang biasanya ‘dibuang’ setelah dinilai oleh guru. Tahapan tugas sekali pakai dimulai dari pemberian tugas oleh guru, murid mengerjakan, guru menilai, dan berakhir pada murid menerima nilai atau umpan balik. Adapun siklus tugas jangka panjang dimulai dari pemberian tugas oleh guru, murid mengerjakan tugas dan hasilnya dipublikasikan secara terbuka, guru memberi nilai, murid menerima nilai dan umpan balik, murid lain dan atau publik memanfaatkannya sebagai sumber pembelajaran. Jadi, perbedaanya adalah, tugas sekali pakai hanya untuk belajar masing-masing murid sedangkan tugas berjangka panjang selain bermanfaat untuk masing-masing murid, juga dapat dimanfaatkan oleh orang lain.
Berdasarkan empat unsur dan ciri khasnya dapat dikatakan bahwa pembelajaran terbuka tidak hanya berguna untuk guru dan murid dalam ruang kelas tetapi juga menambah nilai guna untuk orang lain di luar kelas.
Praktik Pembelajaran Terbuka di Pesantren
Suatu pembelajaran dapat dikatakan terbuka bila sumber, tujuan, proses dan penilaiannya terbuka. Pembelajaran di pesantren merupakan pembelajaran terbuka karena sumber, tujuan, proses dan penilaiannya terbuka.
Pertama, sumber utama pembelajaran di pesantren adalah kita kuning. Kitab Kuning adalah istilah untuk menyebut kitab-kitab klasik karya ulama-ulama terdahulu atau ulama salaf. Kitab kuning merupakan sumber pembelajaran terbuka karena sudah memenuhi kriteria 5R sebagai ciri-ciri sebuah sumber pembelajaran terbuka; Retain (menggandakan), Reuse (menggunakan ulang), Revise (mengubah), Remix (menggubah), dan Redistribute (mendistribusikan kembali).
Kitab-kitab kuning terbukti telah secara terbuka dikembangkan menjadi kitab-kitab baru dalam berbagai bentuk seperti syarah, hasyiyah, terjemahan dan lain sebagainya. Kitab-kitab baru ini juga bersifat terbuka sehingga mudah diakses oleh publik.
Kedua, pengajaran di pesantren merupakan pengajaran yang terbuka, tidak melulu berpusat pada kyai atau guru. Pembelajaran di pesantren setidaknya menggunakan tiga model yang terpadu; Sorogan, Bandongan dan Mudzakarah. Ketika pembelajaran dengan model Sorogan, murid atau santri membaca teks kitab kuning dengan suara keras sambil diikuti oleh guru dan santri lainnya. Setelah selesai membaca, santri akan menghadap guru untuk memperoleh penjelasan dan diskusi lebih lanjut tentang isi kitab. Model Sorogan biasanya dilanjutkan dengan Mudzakarah. Saat Mudzakarah santri membaca teks kitab kuning secara mandiri, kemudian berkumpul dengan teman-temannya untuk berdiskusi dan bertukar pemahaman tentang isi kitab. Adapun model Bandongan yaitu kiai membacakan kitab kuning, menerjemahkan dan menjelaskannya, sedangkan santri mendengarkan, menyimak, dan mencatat atau memaknai apa yang disampaikan.
Ketiga, proses pembelajaran di pesantren merupakan pembelajaran terbuka. Menurut Zia Ul Haq, ada sembilan keistimewaan pendidikan khas ala pesantren; Konsep Pawiyatan atau full day education, Keteladanan, Penguasaan Ilmu Alat , Pendalaman Turats (kitab babon), Proses Belajar Dialogis (bandongan dan sorogan), Kecakapan Hidup, Komunal, Khidmah, dan Berbasis Potensi.
Salah satu keistimewaan pendidikan pesantren adalah bersifat komunal. Santri mondok berarti hidup bersama secara komunal, tidak individual. Biasanya santri tinggal dengan teman-temannya dalam satu kamar. Kehidupan santri merupakan proses pembelajaran bermasyarakat. Jadi, belajar di pesantren tak sekedar di ruang kelas atau di hadapan guru atau kyai. Selain belajar dan ngaji, santri pesantren juga bersosialisasi, berbagi ruang, memahami karakter, hingga bersitegang dengan sesama penghuni pesantren.
Keempat, penilaian hasil pembelajaran di pesantren juga merupakan penilaian terbuka. Menurut Zia Ul Haq, pendidikan pesantren berbasis potensi. Hasil pembelajaran Santri di pesantren tidak nilai dari kepintarannya dalam mengikuti pelajaran. Pendidikan di pesantren lebih mengutamakan keberkahan dan kebermanfaatan ilmu sebagai hasilnya. Masing-masing santri bisa meraih kebermanfaatan ilmu dengan potensinya masing-masing; potensi akal, potensi jiwa, atau potensi fisik. Bagi santri berotak cemerlang, ia bisa meraih perkenan (ridha) guru dengan rajin belajar. Bagi santri yang tak mampu, ia masih punya pintu tirakat batiniah berupa wirid dan puasa. Bagi yang santri yang tak kuat, ia punya jalan pintas berupa khidmah. Bagi yang sanggup semuanya, ya rajin belajar, ya tirakat, ya khidmah. Jadi, hasil pembelajaran pesantren tidak dilihat dari angka-angka dalam daftar nilai imtihan atau ulangan.
Disamping keempat unsur diatas, dalam pembelajaran pesantren juga terdapat tugas jangka panjang yang merupakan ciri dari pembelajaran terbuka. Setidaknya ada dua kegiatan rutin di pesantren yang hasilnya dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembelajaran publik; bandongan dan musyawarah bahtsul masail. Pembelajaran dengan model Bandongan akan menghasilkan kitab kuning yang disertai makna gandul yang ditulis oleh santri. Kitab kuning yang sudah dimaknani ini berikutnya menjadi sumber pembelajaran mandiri bagi masing-masing santri. Tidak jarang santri meminjam kitab temannya untuk melengkapi catatannya yang kurang. Belakangan kitab kuning yang sudah dilengkapi dengan makna gandul (tulisan tangan) digandakan dan didistribusikan untuk publik dengan sebutan kitab pethuk.
Adapun kegiatan musyawarah bahtsul masail akan menghasilkan keputusan hasil musyawarah yang berisi jawaban atas suatu permasalahan disertai dengan penjelasan, kutipan dan rujukannya. Belakangan keputusan hasil bahtsul masail dikumpulkan dan dipublikasikan secara terbuka.
-Faiq Aminuddin, lahir di Demak 1979. Alumni Pasca Sarjana UNISNU. Sekarang mengajar di MTs Irsyaduth Thullab. Kontak: https://s.id/FaiqAminuddin