Oleh Fajrul Alam
Pada cover belakang buku, tertuliskan sekelumit sinopsis, Pernahkah kau membayangkan mempunyai seorang guru yang gemar mencatat peristiwa-peristiwa yang terjadi di ruang kelasmu? Catatan-catatan itu terasa personal sekaligus empatik. Ketika suatu hari kau membacanya, kau terseret menuju suatu tempat di masa lalu; ruang kelas berisi teman-temanmu, kenakalan-kenalan kecil kalian, mengerjakan soal dari guru bersama-sama, mengikuti perlombaan, mengadakan pertunjukan, dan hal-hal lain yang membuatmu terjatuh dalam lubang kenangan.
Dari sekelumit sinopsis buku ini, pembaca diajak kembali ke ruang kelas dengan beragam drama dan kejutannya, tempat yang mewakili proses pembelajaran yang saya bahasakan dengan pembelajaran konvensional. Di mana ruang kelas yang terdiri dari papan tulis, meja, dan bangku menjadi sarana pembelajaran diberlangsungkan. Menurut Suharsimi Arikunto (2009), ruang kelas juga dipandang sebagai elemen yang penting dalam menciptakan atmosfer yang kondusif bagi proses belajar. Ruang kelas dalam buku ini menjadi menarik karena seolah-olah hidup dan bukanlah hal atau benda mati biasa. Penulis, Hidayat Raharja membahsakannya dengan “Ruang Kelas yang Terus Bergerak.” Kita tahu Bersama bahwa ada tiga syarat dilangsungkannya pendidikan atau pembelajaran, yaitu, pendidik, peserta didik, dan tempat pendidikan (ruang kelas).
Sejauh pembacaan saya, secara universal buku ini bertekad bulat dan berhasrat kuat menyampaikan spirit pedagogis dari guru-guru SMA N 4 Pasaman dalam mendidik dan membimbing peserta didiknya sehingga mampu menemukan value (nilai) dan passion-nya sendiri-sendiri. Menurut Moh. Ali (2010), pedagogis adalah pendekatan yang digunakan oleh seorang pendidik dalam interaksi dengan siswa, yang bertujuan untuk mengembangkan potensi dan karakteristik peserta didik. Sebagaimana disebutkan. “Saya selalu optimis bahwa peserta didik yang tidak pandai di bidang akademik, memiliki kecakapan di bidang non akademik.” (Hal. 120).
- Iklan -
Sebelum mengulik-ulik buku ini, alangkah indahnya untuk terlebih dini mengenal secara singkat pribadi penulisnya. Hidayat Raharja sendiri adalah seorang guru, penulis esai, dan puisi serta gemar melukis sketsa. Beliau lahir di Sampang, 14 Juli 1966. Pernah menjadi pemenang Juara 1 Buku Bacaan SD di Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Jakarta tahun 2010. Merupakan finalis beberapa lomba mengulas karya sastra yang diadakan Majalah Sastra Horison dan Pusat Pembelajaran Sastra Jakarta pada tahun 2001, 2002, dan 2003. Adapun buku karya beliau, di antaranya, yaitu, buku puisi Kangean (2016), Buku Kamera Lubang Jarum, Penghayatan Terhadap Cahaya (2017), Kloning (2018), dan Ruang Kelas yang Terus Bergerak (2024). Di tahun 2016, buku Kangean menyabet penghargaan sebagai sepuluh terbaik penulis nonfiksi dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur serta terpilih sebagai 15 nomine buku puisi terbaik dari Yayasan Hari Puisi, Jakarta.
Secara general, buku ini terbagi menjadi empat bagian, yaitu, Sekolah Marjinal, Cerita Danil dan Jamil, Sang Juara, dan Ruang Kelas yang Luas dan Merdeka. Bagian pertama mengandung sembilan esai. Bagian kedua mencakup tujuh esai. Bagian ketiga menimbun enam esai. Sementara bagian keempat menghimpun delapan esai. Kumpulan esai dalam buku ini, membicarakan banyak hal, seperti, kondisi sekolah dari sisi sarana dan prasarana, penerimaan peserta didik baru, penilaian akhir semester, seragam sekolah, kreatifitas para guru, dan kolaborasi sekolah dengan lembaga lain, dan masih banyak lagi. Namun saya lebih tertarik sedikit mengulik tentang semangat para guru dalam melangsungkan pembelajaran. Tertarik karena SMA N 4 Pasaman sebagaimana yang digambarkan dalam buku ini adalah sekolah yang lokasinya sangatlah jauh dari kata strategis. Di tengah kampung dan sulit diakses dengan transportasi umum. Anggapan orang kebanyakan mungkin lebih baik ditutup saja sekolahnya karena minimnya peserta didik dan minat masyarakat sekitar.
Kemudian, ketertarikan mengulas spirit pedagogis para tenaga pendidik dalam buku ini, karena sekalipun dengan sokolah yang dikerubungi oleh sekian banyaknya keterbatasan dari sisi fasilitas maupun peserta didiknya sendiri, para guru tetap kukuh dan bersemangat dalam mengupayakan berjalnnya pembelajaran. Bahkan ada guru yang sampai mendatangi rumah murid yang sengaja tidak berangkat ujian demi murid tersebut bisa mendapatkan nilai dan tetap melangsungkan pendidikan. Adpaun virus Covid-19 yang pernah melanda Indonesia dan hampir melumpuhkan dunia pendidikan, SMA N 4 Pasaman dengan effort yang cukup tinggi dari guru-gurunya, pembelajaran tetap bisa berjalan sekalipun guru-guru harus beradaptasi dengan beranekaragam teknologi dan aplikasi yang menunjang pembelajaran daring (dalam jaringan).
Spirit Pedagogis Guru SMA N 4 Pasaman
Selama membaca “Ruang Kelas Yang Terus Bergerak”, rasa-rasanya, saya sedang menikmati atmosfer semangat juang dan harapan dari guru-guru yang mendedikasikan tubuh, pikiran, dan waktunya untuk berpartisipasi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Semangat para guru, oleh Hidayat Raharja ditampilkan secara eksplisit dalam buku ini. Sebagai contoh, para guru dengan senang hati dan senyum simpulnya menyambut siswa-siswinya sewaktu tiba di sekolah di pagi hari. Hal ini menunjukkan bahwa para guru dengan penuh kesungguhannya mencerminkan semangat mendidik dan etos pengabdian di dunia pendidikan. Dari sini dapat dimengerti, bahwa guru-guru di SMA N 4 Pasaman teramat semangat untuk datang pagi-pagi sebelum siswa-siswinya berdatangan. Hal semacam ini, juga merupakan implementasi dari pendidikan menggunakan tindakan (haliyah).
Kegigihan para guru juga tampak di saat musim penerimaan peserta didik baru. Sebagaimana dituliskan oleh Hidayat Raharja, “Bila menjelang penerimaan peserta didik baru, semua bersiaga untuk mendatangi kampung dan melakukan sosialisasi, barangkali ada murid usia SMA yang belum masuk sekolah. Perjuangan yang tidak pernah henti. Jika sekolah lain murid datang sendiri dan sebagian ditolak karena melebihi pagu, di tempat kami pagu yang disediakan tak pernah penuh terisi.” (Hal. 78). Sulitnya mendapat peserta didik baru merupakan satu hal yang sangat memprihatinkan dan menjengkelkan bagi siapapun yang dihadapakan dengan fenomena demikian. Namun hal itu tidak lantas mematahkan semangat para guru. Mereka turun gunung dan jemput bola demi keberlanjutan instansi SMA N 4 Pasaman dan pendidikan.
Setelah mendapatkan murid, spirit para guru diuji dengan keberagaman latar belakang murid yang notabenenya memang kurang memiliki semangat belajar atau kesadaran dan semangat belajarnya masih tergolong sedikit. Hidayat Raharja mengungkapkan, “Mereka mau bersekolah tapi semangat mereka sangat rendah, sehingga dibutuhkan kesabaran tingkat tinggi untuk membinanya. Membangkitkan semangat mereka membutuhkan waktu dan siasat. Sekolah baginya masih belum menjadi prioritas utama, sehingga bagi guru kondisi ini merupakan tantangan yang amat berat. Namun kesabaran guru-guru ini patut diapresiasi. Setiap pagi menunggu murid datang dan siap melayani. Namun, di waktu tertentu, sepanjang pagi sampai siang tidak ada murid yang datang ke sekolah.” (Hal. 79)
Tak Patah Arang Diterjang Covid-19
Mulyasa (2020), seorang ahli pendidikan yang banyak menulis mengenai manajemen pembelajaran, dalam beberapa tulisannya menyatakan bahwa pandemi Covid-19 membuka tantangan sekaligus peluang dalam dunia pendidikan. Mulyasa mengungkapkan bahwa pendidikan di Indonesia tidak hanya terhambat oleh masalah infrastruktur, tetapi juga oleh kesiapan mental dan profesionalisme pendidik dalam mengadopsi teknologi pendidikan. Peralihan ke pembelajaran daring memerlukan kompetensi baru bagi guru, yang tidak hanya harus menguasai materi pelajaran, tetapi juga teknologi sebagai alat bantu dalam pembelajaran.
Jika semangat di saat tidak ada fenomena problematik yang mencekik itu hal biasa dan wajar saja adanya. Namun, coba bayangkan di saat virus corona melanda, masih ada orang-orang yang semangat menjalani kehidupan. Mungkin orang-orang semacam ini jumlahnya banyak atau barangkali justru sedikit. Kembali lagi kepada personal dan lingkungan sekitar. Beberapa orang yang memiliki karakter spirit yang tinggi, salah satunya adalah guru-guru SMA N 4 Pasaman, semangatnya kian berkobar-kobar, tak padam meski diterjang Covid-19. Padahal kita tahu bahwa virus ini sangatlah merugikan segenap aspek kehidupan. Melumpuhkan ekonomi, menyebabkan lockdown, sosial distancing, membekukan bangsa, dan mengganjal laju pendidikan, dan lain-lain.
Pada esai yang berjudul Perjumpaan: SMA N 4 Sampang yang berlatar waktu tahun 2020 di mana Covid-19 masih gencar mewabah. Di situ, diceritakan tentang pertemuan kali pertama murid-murid baru dengan para guru menggunakan gaya baru. Yakni perjumpaan di ruang virtual. Masa pengenalan lingkungan sekolah yang bertepatan dengan hari uang tahun sekolah yang ke-12 dilangsungkan secara daring selama tiga hari. Di akhir kegiatan, setiap anak mengunggah karyanya dalam WA Group. “Setiap peserta didik berupaya untuk menampilkan hasil karya terbaiknya; membaca al-quran, membuat kerajinan tangan, melukis, dan membaca puisi.” (Hal. 33)
Setidaknya, buku ini juga menggambarkan bagaimana para guru SMA N 4 Pasaman dalam merespon wabah virus corona yang secara langsung menghambat efektivitas pembelajaran dan pendidikan. Mereka memutar otak dan menggali ide-ide baru supaya pembelajaran tetap berlangsung serta transfer ilmu dan pengetahuan senantiasa berjalan, meskipun di tengah gempuran virus corona. Mereka tetap semangat menampilkan media, taktik, dan model pembelajaran baru yang barangkali bagi masing-masing guru pun belum sepenuhnya menguasai. Seperti halnya teknologi. Belum lagi jika bersinggungan dengan sebagian murid-murid yang sedikit malas atau bahkan enggan belajar.
Buku ini sangat pantas untuk dibaca oleh para tenaga pendidik, khususnya guru. Boleh jadi buku ini memang diperuntukkan untuknya. Tapi dari pembacaan saya, buku ini layak dibaca oleh masyarakat luas, termasuk orang tua bahkan siswa sekalipun. Meski berlatar SMA N 4 Pasaman, akan tetapi makna yang terkandung bisa diaplikasikan di manapun latar dan waktu pembaca berada. Buku ini juga dibubuhi gambar dan ilustrasi yang memudahkan pembaca dan sebagai bukti nyata atas usaha dan jerih payah guru-guru dalam mendidik sekaligus memicu potensi-potensi peserta didik dan memompa bakat-minat siswa sehingga mampu bersaing dan berprestasi.
-Fajrul Alam, lahir di Kebumen. Kecanduan kopi dan gorengan. Alumnus Al-Iman Bulus dan UIN SAIZU. Bergeliat di SKSP (Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban) Purwokerto. Sekarang menjadi pengajar di MI Ma’arif Beji. Karyanya masuk di beragam koran, buku antologi puisi, majalah, dan media online dll. Bisa disapa via IG: fajrulalam