Oleh Hamidulloh Ibda
Minggu lalu, saya coba membongkar-bongkar rak buku di rumah. Di antara yang saya perhatian dan ambil untuk dibaca adalah buku tulisan Muchamad Tauhid berjudul Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hadjar Dewantara (2011) terbitan Majelis Luhur Taman Siswa cetakan ketiga. “Apik iki” pikir saya dalam hati.
- Iklan -
Saat membuka-buka buku tipis tersebut, pada Bab IV Fatwa untuk Hidup Merdeka saya menemukan fatwa, ajaran, atau semboyan yang sangat populis yaitu “Lawan Sastra Ngesti Mulya” yang berarti “dengan pengetahuan kita menuju kemuliaan”. Fatwa Lawan Sastra Ngesti Mulya atau sering ditulis Lawan Sastra Ngesti Mulia ini adalah bagian dari fatwa-fatwa yang dikliping dan dinarasikan Muchamad Tauhid. Saya kira, tak ada ruginya jika saya mengelaborasi ulang karena sebenarnya sangat urgen.
Mengapa urgen? Ya, mau tidak mau kita harus Mikul Duwur Mendem Jero terhadap Ki Hadjar Dewantara sebagai seorang tokoh besar dalam dunia pendidikan Indonesia, dikenal sebagai perintis pendidikan nasional yang menempatkan nilai-nilai kebudayaan, kepribadian bangsa, dan kemandirian sebagai inti dari pembelajaran.
Konsep “Lawan Sastra Ngesti Mulya” sangat mendalam. Frasa ini memiliki akar dalam budaya dan filosofi Jawa yang kental dengan nilai kebijaksanaan. “Sastra” mengacu pada ilmu pengetahuan atau ajaran, sementara “Mulya” mencerminkan tujuan hidup manusia yang luhur. Sebagai seorang pendidik dan filsuf, Ki Hadjar memadukan nilai tradisional ini dengan prinsip modernisasi pendidikan. Ki Hadjar mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922, sebuah institusi pendidikan yang berupaya memadukan nilai kebangsaan dan pembaruan dalam sistem pendidikan kolonial yang ada saat itu. Di bawah semboyan “Lawan Sastra Ngesti Mulya,” Taman Siswa menanamkan semangat belajar sebagai jalan untuk memerdekakan jiwa, pikiran, dan kehidupan bangsa.
Konsep “Lawan Sastra Ngesti Mulya”
Dalam pemikiran Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah proses pembentukan manusia secara utuh, meliputi intelektual, moral, dan spiritual. Ini gelem ora gelem, beliau lah konseptornya. Salah satu konsep yang beliau usung adalah “Lawan Sastra Ngesti Mulya,” yang secara harfiah berarti “dengan ilmu menuju kemuliaan.” Prinsip ini tidak hanya menggarisbawahi pentingnya ilmu pengetahuan, tetapi juga tujuan luhur dari pendidikan itu sendiri: memuliakan manusia dan membentuk karakter berbasis budi pekerti.
Konsep “Lawan Sastra Ngesti Mulya” merepresentasikan filosofi pendidikan berbasis kemanusiaan, yang mencakup beberapa poin utama. Pertama, ilmu sebagai jalan menuju kemuliaan. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai alat untuk mencapai kemuliaan, baik secara individu maupun kolektif. Namun, ilmu tersebut harus selaras dengan nilai-nilai moral dan keadilan, sehingga dapat membawa manfaat bagi masyarakat. Saya kira, Ki Hadjar ini sangat religius. Sebagai santri, beliau pastinya menerapkan apa yang pernah dipesankan Sahabat Rasulullah, Ali bin Abi Thalib yaitu “Al’ilmu khoirun minal maali al’ilmu yahrusuka, wa anta tahrusu al maala al’ilmu haakimun wal maalu mahkuumun ‘alaihi” (Ilmu lebih baik daripada harta, ilmu menjagamu, sementara engkau menjaga harta, ilmu menjadi hakim bagimu, sementara harta menjadi objek hukum).
Kedua, budi pekerti sebagai inti Pendidikan. Kemuliaan manusia tidak hanya terletak pada kecerdasannya, tetapi pada karakter dan akhlaknya. Pendidikan bertujuan membangun keadaban, sehingga lulusan sekolah bukan hanya pintar, tetapi juga bijaksana.
Ketiga, pendidikan berbasis nilai dan kebudayaan. Bagi Ki Hadjar, pendidikan tidak semata-mata transfer ilmu, tetapi juga penginternalisasian nilai-nilai kebangsaan dan kebudayaan. Ilmu pengetahuan harus mampu membangun identitas bangsa yang berkepribadian.
Implementasi di Sekolah dan Madrasah
Fatwa “Lawan Sastra Ngesti Mulya” bukan sembarang fatwa. Ini bisa dipraktikkan, diugemi, dijalankan dalam beragam kehidupan. Namun, dala konteks ketikan saya ini, Lawan Sastra Ngesti Mulya hanya saya kaji di sekolah. Pertama, sekolah formal. Dalam konteks sekolah dan madrasah umum, implementasi “Lawan Sastra Ngesti Mulya” dapat dilihat melalui kurikulum yang menekankan pada integrasi antara ilmu pengetahuan dan pendidikan karakter.
Sejumlah langkah konkret yang dapat dilakukan bisa berupa pembelajaran kontekstual yaitu menghubungkan materi pelajaran dengan nilai-nilai kehidupan nyata, seperti gotong-royong, kejujuran, dan tanggung jawab. Selain itu juga pembelajaran berbasis proyek dengan mengajak siswa untuk aktif memecahkan masalah nyata di masyarakat sebagai bagian dari pembelajaran. Guru juga bisa menerapkannya dalam kegiatan ekstrakurikuler dengan menghidupkan seni dan budaya lokal sebagai bagian dari pembangunan karakter.
Kedua, di madrasah. Ajaran ini di madrasah memiliki relevansi yang sangat kuat karena secara inheren menggabungkan ilmu pengetahuan umum dengan pendidikan agama. Langkah-langkah implementasi seperti integrasi nilai agama dan ilmu pengetahuan yaitu dengan memastikan setiap mata pelajaran, termasuk sains dan matematika, dilandasi nilai-nilai spiritual. Guru bisa melakukan penguatan akhlakul karimah dengan menjadikan akhlak mulia sebagai tujuan utama pendidikan, yang tercermin dalam perilaku sehari-hari siswa. Di sisi, pembelajaran holistik juga diperlukan dengan mengajarkan siswa untuk memahami hubungan antara ilmu, amal, dan ibadah, sehingga ilmu yang dipelajari menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Meski ajaran ini sangat relevan, tantangan dalam implementasinya tetap ada, seperti dominasi pendekatan pragmatis dalam pendidikan, kurangnya sumber daya manusia yang memahami filosofi pendidikan Ki Hadjar, dan tekanan globalisasi. Namun, dengan kesadaran yang semakin meningkat akan pentingnya pendidikan berbasis nilai, peluang untuk menghidupkan kembali “Lawan Sastra Ngesti Mulya” juga semakin terbuka.
Saya menyimpulkan bahwa “Lawan Sastra Ngesti Mulya” adalah salah satu warisan penting dari Ki Hadjar Dewantara yang menekankan bahwa pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi juga pembentukan karakter dan pencapaian kemuliaan. Implementasinya di sekolah dan madrasah dapat menjadi fondasi yang kuat untuk membangun generasi yang berilmu, berakhlak, dan berdaya guna bagi bangsa. Dalam konteks modern, ajaran ini tetap relevan sebagai panduan dalam menghadapi tantangan global sambil tetap berakar pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Dengan menjadikan “Lawan Sastra Ngesti Mulya” sebagai landasan, pendidikan Indonesia dapat terus bertransformasi menjadi sistem yang tidak hanya mencerdaskan, tetapi juga memuliakan manusia. Begitu!
-Penulis adalah Koordinator Gerakan Literasi (GLM) Plus Lembaga Pendidikan Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah 2024-2029.