Oleh : Yuditeha
Rum adalah anak seusia SMP yang memiliki sifat unik. Orang-orang menyebut Rum autis, tapi ibunya menganggap ia anak istimewa yang melihat dunia sekitarnya terkadang dirasa berbeda. Segala sesuatu yang terlihat biasa di mata orang lain, baginya bisa menjadi misteri yang penuh teka-teki. Rum tidak banyak bicara, lebih suka menghabiskan waktu di rumah dengan memperhatikan benda-benda kecil yang ada di sekelilingnya. Namun yang paling menarik perhatian Rum adalah sebuah kipas angin tua yang berdiri di sudut rumah.
Rumah yang Rum tinggali memang bukanlah rumah biasa. Rumah mereka tanpa sekat—tidak ada kamar terpisah, hanya satu ruangan besar yang terbuka. Dari tempat tidur hingga dapur, semuanya berada dalam satu ruang yang sama, seakan memberi kebebasan bagi Rum untuk bergerak tanpa batas. Meski begitu, tetap hanya kepada kipas angin tua, dirinya selalu terpikat. Ibu Rum, seorang wanita cantik dengan rambut panjang dan memiliki senyum yang menawan. Walaupun hidup mereka sederhana, tapi ibu Rum merawatnya dengan kaya kasih sayang.
Setiap hari, setelah pulang sekolah, Rum akan duduk di depan kipas angin itu. Ia menyukai suara dengungannya yang teratur dan angin yang dihasilkan oleh baling-balingnya. Kipas angin itu seakan menjadi sahabatnya, tempat ia menenangkan diri dari hiruk pikuk dunia yang sering kali sulit ia pahami.
- Iklan -
Suatu hari, ketika ibunya sedang bekerja di luar rumah, Rum menyalakan kipas angin dengan kecepatan penuh. Suara baling-baling yang berputar cepat semakin membuatnya terpukau. Ia mendekati kipas itu, memperhatikan bagaimana setiap putaran baling-baling menciptakan angin yang menenangkan. Tiba-tiba, kipas angin itu mengeluarkan suara yang berbeda, suara yang aneh namun memikat. Seperti ada sesuatu yang memanggilnya dari dalam kipas angin itu.
Dengan rasa ingin tahu yang besar, Rum mendekatkan wajahnya lebih dekat ke kipas. Saat ia melakukannya, tiba-tiba seperti ada sesuatu menarik tubuhnya masuk ke dalam kipas. Dalam sekejap, Rum terisap ke dalam pusaran angin yang berputar cepat, dan semuanya menjadi gelap.
Ketika ia membuka mata, Rum tidak lagi berada di rumahnya. Ia berada di sebuah hutan yang lebat, penuh dengan pepohonan besar dan suara burung-burung yang berkicau di kejauhan. Namun, yang paling mengejutkan bukanlah pemandangan hutan yang asing, melainkan dirinya sendiri. Rum melihat ke bawah dan menemukan tubuhnya sudah berubah. Ia kini menjadi seekor kucing kecil dengan bulu berwarna oranye.
Kebingungan mulai melanda. Bagaimana mungkin ia berubah menjadi kucing? Rum berusaha mengingat-ingat bagaimana ia bisa berada di tempat ini, tetapi pikirannya terlalu penuh dengan keheranan. Ia memeriksa tubuhnya—tubuh kucing yang kecil dan lucu. Saat masih dalam keadaan bingung, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari balik pepohonan. Suara itu semakin mendekat, dan Rum melihat sekumpulan hewan besar sedang berjalan ke arahnya. Ada harimau, beruang, dan serigala—semuanya tampak seperti pasukan perang yang siap bertempur.
Rum merasa ketakutan. Ia tahu hewan-hewan ini berbahaya, dan dalam tubuh kucing kecil, ia pasti tidak akan bisa melarikan diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ketika para hewan besar itu melihat Rum, mereka tertawa.
“Hei, lihat! Ada kucing kecil di sini!” teriak seekor serigala.
Harimau yang tampak sebagai pemimpin kelompok itu mendekat, menatap Rum dengan mata tajam. Rum gemetar ketakutan, namun harimau itu hanya tersenyum. “Kucing ini terlalu lucu untuk dibunuh. Bawa saja ke markas. Ia bisa jadi maskot pasukan kita,” ujar sang harimau.
Rum diangkat oleh salah satu prajurit beruang dan dibawa ke markas mereka. Meskipun masih bingung dan ketakutan, Rum perlahan merasa aman. Para prajurit hewan itu memperlakukannya dengan baik, memberinya makanan, dan menjadikannya maskot yang disayangi. Hari demi hari, Rum mulai terbiasa dengan kehidupan barunya di markas para hewan. Mereka selalu merawatnya dan membawa ke mana pun mereka pergi.
Saat latihan perang berlangsung, pemimpin harimau terluka parah. Pasukan hewan itu panik, mereka tidak tahu siapa yang bisa memimpin mereka dalam latihan selanjutnya. Salah satu prajurit serigala, sambil tertawa, mengusulkan sesuatu yang tak terduga. “Kenapa tidak si oranye itu yang memimpin kita? Ia selalu ada di sini saat kita latihan, mungkin ia bisa memberi keberuntungan.”
Awalnya, para prajurit tertawa, tapi kemudian mereka setuju. Tidak ada pilihan lain, dan Rum diangkat menjadi kapten sementara. Dengan perasaan canggung, Rum mencoba memahami situasinya. Meski tidak pernah berperang, Rum memiliki naluri yang tajam. Ia mulai memberi perintah, dan, tak terduga, para prajurit berhasil menuntaskan latihan tersebut. Sejak saat itu, Rum diangkat sebagai kapten pasukan mereka.
Namun, meski ia telah mendapatkan kepercayaan dan bahkan disayangi oleh para prajurit hewan, perasaan rindu pada ibunya mulai tumbuh di dalam hatinya. Ia merindukan rumah, suara kipas angin yang biasa ia dengar, dan terutama senyuman ibunya. Setiap malam, Rum duduk sendirian di markas, memikirkan bagaimana caranya ia bisa kembali ke dunia asalnya.
Di tengah kebimbangan itu, Rum bertemu dengan seekor anak harimau jantan. Di mata Rum, anak harimau itu sangat tampan dengan bulu-bulu panjang di sekitar mulutnya. Setiap kali melihat Rum, anak harimau itu selalu menyapanya sopan dan senyum menawan. Seiring waktu, Rum mulai merasakan sesuatu yang aneh—ia jatuh cinta pada anak harimau itu. Cinta yang ia rasakan membuat hidupnya di dunia hutan ini menjadi lebih hangat, tetapi juga semakin membingungkannya.
Ia kini berada di persimpangan. Di satu sisi, Rum merasa bahagia di dunia barunya itu, dengan teman-teman hewan yang menyayangi dan menghormatinya, serta cinta yang ia rasakan terhadap anak harimau. Namun, di sisi lain, ia sangat merindukan ibunya. Kerinduan pada ibunya itu ternyata semakin kuat, hingga suatu malam Rum memutuskan untuk mencari jalan pulang.
Ia berjalan kembali ke tempat pertama kali muncul di hutan. Meski dengan harapan tipis, ia duduk di bawah pohon besar. Matanya menatap langit yang gelap. Tak berselang lama Rum mendengar suara yang sangat familiar—suara kipas angin dari kejauhan. Lambat laun suara itu semakin mendekat dan keras, hingga tanpa disadari, tubuhnya ditarik oleh kekuatan misterius.
Ketika ia membuka mata, Rum menemukan dirinya telah kembali, berada di depan kipas angin yang masih berputar. Tubuhnya juga kembali menjadi manusia. Detik itu pula ia teringat ibunya, lantas bangkit dari duduk bermaksud mencarinya, tapi ketika sekilas melihat sekeliling, ia terkejut. Rum baru menyadari, tempat itu berbeda dengan yang dulu. Ruangan itu sangat sempit, seperti ruangan untuk menaruh barang-barang bekas. Pada saat itu Rum memanggil-manggil ibunya namun tak berbalas. Rum berjalan menuju pintu melewati sebuah cermin yang tersandar begitu saja di tembok. Ketika Rum melintas di dekatnya, terpantullah dirinya dalam cermin.
Melihat itu spontan Rum terkejut, tubuhnya tampak sangat dewasa, bahkan wajahnya mirip perempuan setengah baya dengan rambut ada oranye-orange-nya. “Ibu. Ibu di mana?” gumamnya lirih. Raga Rum terasa lemas, lalu tersungkur di depan cermin. Sejenak rasa cemas dan takut menghantui dirinya. Dalam keadaan ketakutan itu, benak Rum teringat kenangan tentang dunia hewan dan cintanya terhadap anak harimau. Perlahan Rum menoleh ke arah kipas angin, yang kali itu baling-balingnya tidak sedang berputar.***
Yuditeha;Penulis yang tinggal di Karanganyar. Pendiri Komunitas Kamar Kata. IG: @yuditeha2