Oleh: Muhammad Nur Faizi
KH Abdul Wahid Hasyim merupakan salah satu tokoh nasional yang memiliki kontribusi besar dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Meski usianya tergolong muda, yaitu 38 tahun, pemikiran dan perjuangannya telah meninggalkan jejak yang sangat mendalam di tanah air.
Latar belakangnya sebagai seorang santri dan ulama tidak hanya membawa Kiai Wahid pada kedudukan penting dalam sejarah Indonesia, tetapi juga mempengaruhi dunia Islam di Indonesia, khususnya dalam bidang pendidikan dan keagamaan.
Abdul Wahid Hasyim lahir pada 1 Juni 1914 di Jombang, Jawa Timur, dalam sebuah keluarga yang sangat menghormati tradisi pesantren. Dari kecil, ia sudah memperlihatkan kecerdasan dan ketertarikannya dalam dunia agama dan ilmu pengetahuan. Kiai Wahid adalah sosok yang sangat aktif dalam berbagai kegiatan sosial, politik, dan keagamaan.
- Iklan -
Pada usia yang masih sangat muda, ia sudah menjadi salah satu pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia, yang berperan penting dalam membentuk peta politik tanah air pada masa-masa awal kemerdekaan.
Kiai Wahid merupakan bagian dari keluarga besar Nahdlatul Ulama (NU), yang sangat memengaruhi pemikirannya dalam memperjuangkan kemerdekaan dan kesejahteraan umat. Sebagai seorang ulama, ia memiliki visi yang luas tidak hanya dalam bidang keagamaan tetapi juga dalam pemahaman tentang pentingnya peran aktif umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai Menteri Agama pada Kabinet Sjahrir dan Kabinet Ali Sastroamidjojo, ia berperan sebagai penghubung antara para ulama dengan pemerintah. Dalam kedudukannya ini, Kiai Wahid berusaha memadukan nilai-nilai agama dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Kecintaan Kiai Wahid terhadap Al-Qur’an
Selain keaktifannya dalam dunia politik dan sosial, Kiai Wahid dikenal sebagai sosok yang sangat mencintai Al-Qur’an. Kecintaannya pada kitab suci ini bukan hanya sekadar mencintai secara lahiriah, tetapi juga terwujud dalam bentuk praktik penghafalan dan pembacaan Al-Qur’an secara rutin. Hal ini diungkapkan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya Kaleidoskop Politik di Indonesia (1982), yang menyatakan bahwa meskipun Kiai Wahid sangat sibuk dengan kegiatan politik dan sosialnya, ia selalu menyempatkan diri untuk menghafal dan mendaras Al-Qur’an.
Sebagai seorang yang sangat disiplin, Kiai Wahid bahkan menghafal Al-Qur’an di sela-sela kesibukannya, baik ketika menghadiri sidang kabinet, berdiskusi dengan para tokoh, bahkan saat menyetir mobil. Kegemarannya untuk terus memperdalam hafalannya ini juga tercermin dalam kesehariannya, di mana ia tidak hanya menghafal, tetapi juga mengkaji berbagai kitab agama yang mendalam seperti fiqih, aqidah, tafsir, hadits, dan tasawuf. Bahkan, ia juga tidak mengabaikan untuk mempelajari buku-buku ilmiah dalam bahasa Belanda dan Inggris.
Selain itu, hafalan Al-Qur’an yang dimilikinya juga dipraktekkan dalam kegiatan sehari-hari, salah satunya dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an dalam setiap salat. Bahkan, dalam perjalanan, Kiai Wahid tidak ragu untuk melanjutkan hafalannya sambil berdiskusi dengan KH Saifuddin Zuhri tentang berbagai masalah agama, kemasyarakatan, hingga politik. Kebiasaan ini menunjukkan betapa Kiai Wahid mampu menjaga keseimbangan antara dunia spiritual dan aktivitas duniawinya.
Pendirian Jamiyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU)
Kecintaan Kiai Wahid terhadap Al-Qur’an juga menginspirasi dirinya untuk mendirikan sebuah organisasi yang bertujuan untuk mengembangkan minat baca dan hafalan Al-Qur’an di kalangan umat Islam, khususnya para penghafal Al-Qur’an. Pada malam Nuzulul Qur’an, 17 Ramadhan 1369 H (22 Juni 1950), ia mengundang para ahli dan penghafal Al-Qur’an untuk berdiskusi mengenai ide pendirian sebuah organisasi. Dari pertemuan tersebut lahirlah Jamiyyatul Qurra wal Huffazh Nahdlatul Ulama (JQHNU) pada 15 Januari 1951.
Sebelum berdirinya JQHNU, sudah ada beberapa organisasi penghafal Al-Qur’an di berbagai daerah, seperti Jam’iyyatul Huffazh di Kudus, Nahdlatul Qurra di Jombang, Wihdatul Qurra di Sulawesi Selatan, dan beberapa organisasi lainnya di daerah-daerah lain. Kiai Wahid berhasil menyatukan organisasi-organisasi tersebut dalam satu wadah yang lebih besar dan lebih terstruktur, yaitu JQHNU, dengan tujuan untuk memfasilitasi para penghafal dan ahli Al-Qur’an dalam mengembangkan keahlian mereka serta memperdalam pengetahuan agama.
Wafatnya Kiai Wahid: Kehilangan Besar bagi Bangsa
Kehidupan Kiai Wahid yang penuh dengan dedikasi dan semangat perjuangan harus berakhir lebih cepat dari yang diharapkan. Pada 19 April 1953, Kiai Wahid wafat dalam usia 38 tahun akibat sebuah kecelakaan di Cimahi, Jawa Barat, saat dalam perjalanan menuju acara NU di Sumedang. Kehilangan ini adalah sebuah pukulan berat bagi Indonesia, terutama bagi umat Islam dan Nahdlatul Ulama. Meskipun ia meninggal muda, warisan pemikiran dan perjuangannya tetap hidup dan terus menginspirasi generasi-generasi berikutnya.
Kehidupan singkatnya telah memberikan banyak kontribusi yang sangat berarti bagi Indonesia, baik dalam bidang keagamaan, sosial, maupun politik. Kiai Wahid adalah contoh nyata bagaimana seorang pemimpin dapat menggabungkan kecintaan pada ilmu agama dengan dedikasi terhadap bangsa dan negara.
-Muhammad Nur Faizi, Santri Pondok Pesantren Kotagede Hidayatul Mubtadi ien.