Oleh : Damay Ar-Rahman
Layar ponsel berkedip-kedip disertai getaran dan nada dering. Terlihat delapan belas panggilan tidak terjawab dari IBU. Nama itu tertera di layar ponsel si lelaki bernama Kemal. Ia sedang menikmati sarapan pagi bersama Sehan dan putrinya Noer. Mereka terlihat saling bercengkrama dan tertawa ceria, terutama ditemani cahaya surya pagi menyinari rumah sampai menembus celah-celah jendela yang berbentuk balok berwarna cokelat kilat. Suasana begitu hangat kecuali ibu di kampung sana. Ia menatap datar hujan yang amat deras hingga anginnya menerbangkan kain jendela putih di ruang tamu. Terlihat segelas air putih juga beberapa lauk pauk seperti tempe sambal dan tahu goreng. Di tengah-tengahnya nasi hangat menerbangkan aroma pandan alami yang membuat siapapun lapar ingin segera menyantap hidangan lezat itu. Walau demikian, Ibu masih terdiam belum menyentuhnya sedikitpun .
Ia begitu ingin menikmati makanan bergizi ini dengan putranya Kemal yang sedang berada di luar kota. Lihatlah! Mata cekung itu mengelana di dinding kamar Kemal yang memperlihatkan sebuah bingkai foto berukuran persegi panjang. Seorang pria berpeci dengan baju batiknya terlihat teduh. Ia adalah Bapak, seorang guru ngaji di kampung. Lalu Aqila, adik paling bungsu. Sayangnya ia tak panjang umur. Karena tak punya biaya besar untuk pengobatan cepat, maka tumor mata yang dialami semakin berat, ditambah dengan rasa sakit begitu ganas sehingga gadis kecil itu tak mampu bertahan. Bagaimana bisa, seorang anak empat tahun menanggung penderitaan besar. Maka, tinggallah Kemal. Di foto itu, ia genap berusia delapan tahun. Begitu tampan juga periang.
Ibu, ia hanya tersenyum memandang halus keluarganya. Ia benar-benar rindu. Ingin memeluk
- Iklan -
Selesai sarapan, Kemal mengambil jasnya. Sehan memegang tangan Noer dan membawanya masuk ke dalam mobil.
“Hati-hati sayang.” Ucap Sehan sambil memeluk suaminya. Kemal dengan penuh cinta mencium kening istrinya.
“Aku juga mau Papi.” Ungkap si kecil dengan suara centil.
“Eh anak cantik papi. Sini.” Wajah Noer sangat menggemaskan. Ia persis seperti Aqila. Hanya saja, Aqila telah dibiasakan memakai jilbab sejak dua tahun, dan ia lebih suka lari juga berjalan dibandingkan menggunakan sepeda atau diantar sang ayah.
“Aqila aku punya sepeda baru. Kamu kok ngak minta dibelikan?” Siti, teman mainnya di sungai. Anak perempuan itu baru saja masuk sekolah SD. Usianya beda tiga tahun dari Aqila. Ayahnya bekerja di pabrik teh. Masalah gaji, lebih besar dibandingkan bapak Aqila. Namun, uang bukan segalanya, terpenting keberkahan. Tak ada sifat dengki. Gadis manis itu berasal dari keturunan tidak busuk hati, maka ia sangat bahagia mendengar teman mainnya mendapat sepeda atau mainan baru.
Di masa berbeda, Noer mendapat segala fasilitas dari orangtuanya.
“Horeeee. Makasih papi, hadiahnya keren banget.”
“Kok kamu manjain banget Noer Kemal. Baru saja dia kelas dua SD. Umurnya belum cukup untuk membawa kendaraan. Lebih baik, uangnya kamu kirim ke ibu. Bukankah ibumu ingin sekali shalat di mesjid raya. Tak pernah kamu bawa.” Ucap Sehan dengan nadanya yang datar.
“Sayang, ibu nanti aja dulu. Yang penting Noer dapat hadiah dulu.”
“Bukan begitu Kemal. Kasihan ibu, jika aku memiliki anak yang tak memperhatikanku, itu akan sangat menyakitkan. Jika tak ada ibumu, maka kamu juga tak bisa kumiliki.” Lalu Sehan masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Di samping pintu, terlihat foto Sehan menggunakan toga. Ia adalah wanita karir lulusan terbaik pada studi bisnis di Inggris. Walau begitu, Sehan sangat menghormati ibu, bahkan jika Kemal enggan mengangkat telepon, Sehanlah yang akan menghubungi diluan.
“Tidak akan ada kesempatan pada waktu yang berlalu Kemal.”
Kemal terdiam mendengar itu. Ia merenungkan keadaannya nanti jika sudah renta. Lalu ia kembali membuka ponselnya dan menggeserkan layar melihat nama IBU memanggil berkali-kali tanpa ia respon. Tak ada masalah diantara anak dan ibu. Tapi mengapa, Kemal merasa dirinya telah keterlaluan mengabaikan wanita yang selama telah banyak menahan sakit karenanya.
Azan memanggil di waktu tengah malam. Terlihat sepasang sendal terletak di atas gesekan kaki. Itu punya bapak, ia sedang berwudhu untuk melaksanakan tahajud. Lalu ibu, sambil menunggu suaminya keluar ia persiapkan sajadah dan sarung. Tak lama kemudian bapak selesai, ibu langsung bersuci untuk berjamaah.
“Ibu sudah siap.” Tanya bapak sambil memandang wajah wanita itu.
“Sudah pak. Anak kita gimana buk? Kemal masih tidur?”
“Tadi ibu cek masih memeluk mobil mainan yang bapak beli di kota itu hehehe.” Ibu menjawab dengan nada sedikit terkekeh.
“Hahahaha ibu…. Kalau begitu mari kita shalat. Allahuakbar.”
Ditempat berbeda, Kemal terlihat pulas sambil mengorok di tempat tidurnya. Sehan yang sudah lengkap memakai mukena dengan wajah geram menggoyangkan tubuh suaminya. Namun tetap saja Kemal tidak sadar.
“Bangun pi…….udah subuh….”
“Apa sih mami.”
“Shalat papi. Udah azan, kalau dilihat sama Noer papi ngak shalat kan malu. ”
“Mami aja diluan. Papi nanti.”
“Ok kalau begitu, biar papi tidur aja terus, mami sama Noer aja yang masuk surga.”
Perkataan itu membuat Kemal tersentak dari tidurnya. Ia seperti kembali ke masa lalu.
“Nak bangun.” Panggil ibu dengan nada lembut.
“Iya buk. Kenapa sih kita harus shalat buk?” Tanya Kemal sambil menguap.
Ibu menghela nafas perlahan lalu sambil tersenyum ia memulas pipi Kemal.
“Nak, kita ini diciptakan untuk siapa?”
“Untuk siapa buk?” Tanya kembali Kemal.
“Hahahaha untuk Allah sayang. Sama halnya kamu lahir untuk apa, agar bapak ibu jaga dan dapat membawamu ke jalan yang benar. Allah itu tidak meminta apapun dari kita kecuali beribadah padanya.”
“Emang harus shalat?”
“Itu salah satu kewajiban dari rukun Islam. Namun, shalat itu juga dapat menjagamu dari keburukan. Jika bapak dan ibu tak ada nanti. Dengan ibadah dan kebaikan kita, Allah juga akan mengirimkan orang terbaik buat kita.”
“Oh begitu ya buk. Kalau begitu tunggu Kemal berwudhu dulu ya.”
Air mata lelaki itu runtuh membasahi piyamanya. Ia begitu menyesal telah mengabaikan ibu. Saat itu juga, Kemal segera bangun dan ke kamar mandi. Lalu, ia melihat anak dan istrinya akan melaksanakan shalat. Kemalpun memanggil istrinya agar menunggu untuk berjamaah. Benar kata ibu, Sehan adalah pujaan hati terbaik yang tuhan berikan. Itu juga berkat doa ibu.
Ia menangis di pangkuan istrinya. Sambil memulas rambut Kemal, Sehan meminta suaminya mengambil cuti seminggu agar bisa kembali ke kampung. Sudah tiga tahun tidak pulang. Iapun memeluk suaminya dan menenangkannya.
Pagi sebelum ke kantor, ia menelpon ibu. Tetapi, tidak ada jawaban. Ia terus memanggil ibunya lewat pesan suara, tetapi tetap saja kosong balasan. Lalu suatu informasi muncul lewat berita di televisi. Tentang bencana gempa dan tsunami di kampungnya. Kemal merasa lemas. Ia jatuh tak berdaya sambil berteriak histeris memanggil ibu.
Damay Ar-Rahman atau Damayanti lulusan Universitas Malikussaleh dan IAIN Lhokseumawe. Asal Lhokseumawe. Bekerja sebagai pegiat edukasi dan literasi di Banda Aceh. Di sela-sela itu ia juga mengajar dan menulis. Buku-bukunya adalah Aksara Kerinduan (2017), Serpihan Kata (2018), Senandung Kata (2018), Kumpulan cerpen Bulan di Mata Airin (2018), Dalam Melodi Rindu (2018), novel Akhir Antara Kisah Aku dan Kamu (2020), Di Bawah Naungan Senja (2022), dan Musafir (2022), dan Hati yang Kembali. Tulisannya tergabung dalam puluhan antologi bersama, berbagai surat kabar, dan majalah baik dalam bentuk cetak maupun daring. Berdomisili di Lhokseumawe, Aceh.