Oleh Hamidulloh Ibda
Pak Kiai Abdul berjalan menuju ruang Rapat Kerja Wilayah Lembaga Pendidikan Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah di Wonosobo beberapa waktu lalu. Tampak santai dan senyum-senyum. Lalu, rekan-rekannya bersorak. “Wah, sak iki naik jabatan cuah.” Kelakar rekan-rekan.
Meski disoraki, digasaki habis-habisan, tapi itulah Kiai Abdul yang kukenal sejak lima tahun lalu. Tetap tenang, tegar, senyum-senyum, dan tetapi staikul.
Salah satu rekan yang agak “lambe turah” berkomentar. “Pak, sampeyan ki naik, tapi asline turun”. Apa maksudnya? Dia menjelaskan, bahwa Pak Abdul naik jabatan, tapi turun tingkatan. Naik jabatan sebagai Sekretaris, tapi tingkatannya turun dari provinsi ke kabupaten.
- Iklan -
Naik Tapi Turun?
Naik tapi kok turun. Ini memang paradoks. Tapi, itulah realitasnya. Ada orang yang aslinya naik tapi hakikatnya turun. Ada yang turun, tapi hakikatnya naik. Kita coba telaah secara epistemologi agar tidak bias dan paradoks.
Naik jabatan. Dua kata yang sering diimpikan banyak orang dalam dunia perkhidmatan di organisasi maupun pekerjaan. Tentu saja, karena kenaikan jabatan sering kali diiringi dengan prestise, tanggung jawab yang lebih besar, serta mungkin peningkatan finansial. Namun, pernahkah terbayang bahwa naik jabatan ternyata juga bisa berarti “turun tingkat”? Istilah ini tampak kontradiktif, tetapi jika kita melihat lebih dekat pada dinamika yang terjadi di lingkungan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, mungkin ini bukan hal yang aneh.
Dalam perjalanan karier di organisasi pendidikan seperti Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, banyak yang mengalami fase di mana kenaikan jabatan justru membawa tantangan yang lebih dalam. Ada kalanya, seseorang yang dipercayakan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi malah harus “turun ke lapangan,” terjun langsung dalam permasalahan operasional sehari-hari, menghadapi dinamika yang tidak selalu terukur dari kursi pimpinan.
Saya pun teringat dawuh dari Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Tengah KH. Mohamad Muzamil. Beliau berpesan, bahwa berkhidmah di Nahdlatul Ulama (NU) bukan soal jabatan atau tidak. Seingat saya, Kiai Muzamil pernah menyampaikan bahwa berkhidmah di NU bukan dari MWC NU naik ke PCNU, dari PCNU naik ke PWNU, dari PWNU ke PBNU. Lebih dari itu, berkhidmah di NU justru lebih menekankan keseriusan menjadi santrinya Mbah Hasyim Asyari, melestarikan tradisi, dan menjaga agama Islam sebagai agama yang paling benar.
Setidaknya, “ejekan” dari rekan-rekan Kiai Abdul ini menjadi satire yang numpang lewat. Tapi, bagi saya maknanya mendalam. Sebab, berkhidmah di NU bukan soal naik atau turun, bukan pula soal menjabat atau tidak menjabat, tapi lebih pada tanggung jawab kepada Islam itu sendiri.
Sembilan Makna
Saya mencatat ada sembilan makna jabatan di NU. Pertama, mengemban amanah lebih besar, mendekat ke akar masalah. Kenaikan jabatan sering kali diiringi dengan amanah yang lebih besar. Di Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, seorang yang naik jabatan mungkin malah harus semakin intensif menangani permasalahan mendasar di lapangan. Mulai dari masalah kelembagaan LP. Ma’arif NU PCNU Kabupaten/Kota, problem sekolah/madrasah, mutu, layanan, akreditasi, pembelajaran, kebutuhan guru, hingga kebijakan pendidikan yang berdampak langsung pada siswa. Ini bukan hanya soal duduk di “kursi empuk” dan memberikan instruksi, tapi juga memahami kebutuhan dari para tenaga pengajar dan siswa secara langsung.
Kedua, makna turun ke tingkat ini, meski secara jabatan terlihat “tinggi,” sebenarnya adalah suatu bentuk penurunan dalam pengertian kedekatan dengan masalah-masalah fundamental. Dengan kata lain, posisi tinggi justru menuntut kedekatan yang lebih erat dengan apa yang benar-benar terjadi di lapangan.
Ketiga, menghadapi kompleksitas yang tidak terduga dan ngedap-ngedapi. Di lingkungan pendidikan, kompleksitas sering kali datang tanpa peringatan. Kenaikan jabatan berarti menghadapi masalah yang lebih besar dan lebih rumit. Namun, tidak sedikit dari permasalahan ini yang memerlukan perhatian detail, yang kadang hanya bisa didapatkan dengan cara “turun ke bawah.” Misalnya, masalah terkait infrastruktur sekolah, kualitas pembelajaran, atau kesejahteraan guru yang memerlukan solusi langsung dan respons cepat. Maka naik jabatan di Lembaga Pendidikan Ma’arif NU bisa berarti masuk lebih dalam ke dalam kompleksitas sehari-hari yang mungkin sebelumnya tidak terlihat dari jabatan sebelumnya.
Keempat, menumbuhkan kepekaan dan rasa empati. Naik jabatan tapi turun tingkat memberi pelajaran besar dalam hal empati. Semakin tinggi posisi, semakin luas dampak yang diberikan bagi lingkungan kerja. Sebuah jabatan tinggi di Lembaga Pendidikan Ma’arif NU membutuhkan kepekaan terhadap setiap suara dan aspirasi anggota organisasi, mulai dari siswa, guru, hingga masyarakat sekitar. Dengan “turun tingkat,” pemimpin di Ma’arif NU akan lebih mudah memahami tantangan yang dihadapi oleh mereka yang bekerja di garis depan pendidikan. Ini bukan berarti penurunan status, tetapi lebih pada pendekatan kerja yang berpijak pada rasa peduli dan empati yang lebih besar terhadap lingkup kerja di sekitarnya.
Kelima, belajar dari lapangan untuk membuat kebijakan yang lebih realistis. Dalam organisasi pendidikan, terutama di Ma’arif NU yang berakar pada nilai-nilai sosial dan keagamaan, naik jabatan berarti harus bisa mendengar suara-suara di bawah. Pemimpin baru diharapkan tidak hanya mengandalkan data dan laporan di atas kertas, tetapi turun langsung untuk merasakan denyut nadi sekolah-sekolah Ma’arif.
Keenam, siap dipaido. Ya, menjadi Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan pengurus harian lainnya di LP. Ma’arif NU harus siap disalahkan, diremehkan, diece, siap tidak dianggap. Apalagi, ketika dihadapkan dengan beragam orang, pejabat, akademisi, kiai, ulama, dan masyarakat yang pikiran dan karepe banyak.
Ketujuh, naik jabatan di NU atau Ma’arif bagi saya justru okeh tomboke, okeh rekasane, okeh pusinge. Bagi saya dan realitas di lapangan, “naik jabatan” di NU atau di Ma’arif NU itu justru okeh tomboke. Okeh rekasane. Tidak percaya? Coba sendiri.
Kedelapan, ketika naik jabatan, sebaiknya kebijakan yang diambil bisa lebih realistis, dan lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan setiap sekolah. Terkadang, tantangan ini mengharuskan seorang pemimpin untuk turun langsung—berdiskusi dengan para kepala sekolah, mendengarkan guru-guru, bahkan bertemu orang tua murid. “Naik jabatan tapi turun tingkat” artinya membuat kebijakan dari perspektif yang lebih rendah, dekat dengan kebutuhan nyata.
Kesembilan, jabatan naik atau turun, bagi saya itu semua adalah alat. Di mana saja, kapan saja, dengan posisi apa saja. Artinya apa? Ketika kita didawuhi para kiai, ulama, untuk berkhidmat, siap tidak siap ya harus siap. Soal jabatannya naik atau turun, itu bagi saya kesempatan saja. Tapi, bukankah kader penggerak NU itu harus benar-benar berkhidmat sampai akhir hayat?
Di Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, naik jabatan tak sekadar berarti duduk di posisi tertinggi atau diakui dalam struktur organisasi. Lebih dari itu, naik jabatan sering kali berarti tanggung jawab baru untuk turun tingkat, memahami lebih dalam, dan bekerja lebih erat dengan mereka yang berada di lapisan paling mendasar.
Naik tapi turun, dalam konteks ini, adalah bentuk dedikasi yang luar biasa, di mana posisi jabatan bukan hanya soal status, tetapi juga tentang misi dan panggilan untuk membuat pendidikan yang lebih baik, lebih bermakna, dan tentunya lebih dekat dengan nilai-nilai yang diemban oleh Lembaga Pendidikan Ma’arif NU.
Jika Kiai Abdul di atas naik jabatan tapi turun tingkatan, ia saya lihat tampak senang dan bahagia menjalankannya. Bahkan, mulai percaya diri dengan pengurus kabupaten/kota lainnya. Saya yakin, meski turun tingkatan, justru itu yang dibutuhkan masyarakat sekolah dan madrasah di kabupatennya. Jika Kiai Abdul saja siap naik meski turun, lalu bagaimana dengan kita?
-Hamidulloh Ibda, Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) Plus Lembaga Pendidikan Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah.