Oleh : Inayatun Najikah
Saya mendapati buku ini pada pameran yang digelar didepan halaman perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta ketika berlibur disana. Hal pertama yang membuat saya tertarik adalah karena ada penggalan kalimat yang menyebutkan tentang pendidikan anak laki-laki tentang seluk beluk perempuan. Pada saat itu saya hanya berpikir bahwa buku ini akan menjabarkan bagaimana menjalin relasi yang sehat dan berkeadilan antara laki-laki dan perempuan. Saya tidak kepikiran sama sekali jika buku ini mencakup kiat-kiat kehidupan rumah tangga yang bahagia dan harmonis dalam cakupan seksualitas.
Ketika melihat pada halaman depan buku ini ada semacam embel-embel ‘novel kamasutra dari Jawa’ yang sudah tentu akan membawa rasa penasaran dan ketertarikan bagi para calon pembacanya, termasuk saya. Novel berjudul Nyai Gowok ini bercerita tentang pengalaman seorang remaja laki-laki bernama Bagus Sasongko yang ‘diserahkan’ kepada Nyai Lindri, seorang perempuan dewasa nan cantik yang bertugas sebagai seorang gowok, untuk dididik menjadi seorang lelaki dewasa.
Gowok adalah penyebutan masyarakat Jawa untuk seorang perempuan yang mengajarkan perihal rumah tangga dan seksualitas kepada remaja laki-laki yang beranjak dewasa. Konon, sebelum sampai di Jawa, gowok merupakan tradisi dari istana di Tiongkok. Tradisi ini awalnya diperkenalkan oleh perempuan Tiongkok bernama Goo Wok Niang. Disebutkan bahwa ia datang ke Jawa bersama Laksamana Cheng Ho sekitar tahun 1415-an. Karena lidah masyarakat Jawa kesulitan mengeja nama tersebut, maka tercipta istilah gowok yang sesuai dengan pelafalan bahasa Jawa.
- Iklan -
Istilah dididik dan belajar (nyantrik dalam bahasa Jawa) disini lebih spesifik kepada pelajaran tentang semua yang berhubungan dengan tubuh perempuan. Bagaimana memperlakukannya agar mencapai kehidupan rumah tangga yang bahagia dan harmonis di masa depan bagi sang remaja laki-laki yang nyantrik tersebut. Tentu pelajaran yang dimaksudkan disini adalah tentang pendidikan seksual.
Budi Sardjono sebagai penulis novel ini sepertinya memiliki kepiawaian dalam menceritakan detail menarik dalam cerita yang berlatar tempat di Temanggung tahun 1950-an. Bahkan bisa jadi cerita yang diangkat adalah berdasarkan pengalaman pribadinya. Apalagi saat kita mendapati salah satu tokoh pendukung adalah dirinya sendiri. Kepiawaiannya yang lain ialah dalam menceritakan keadaan masyarakat Jawa masa itu baik secara sosial maupun budaya, serta beragam istilah dalam bahasa Jawa yang turut serta mendampingi setiap bab dari tulisannya.
Karya setebal 300-an halaman ini terbagi menjadi dua belas bab. Dimana pada masing-masing bagiannya akan tersaji porsi sensualitas yang naik turun. Pada bagian awal menyajikan pendalaman karakter dengan diselipi penggalan sejarah ; Perang pangeran Diponegoro yang memberontak terhadap kompeni hingga perjanjian Giyanti yang memecah Mataram menjadi empat yaitu Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman, Kasunanan Surakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran. Pada bagian selanjutnya pembaca akan disuguhkan beberapa tembang Jawa lengkap dengan maknanya, meski beberapa kali kerap diulangi.
Melihat sisi penokohan, Nyai Lindri yang bisa dikatakan sebagai tokoh utama cerita ini (selain Bagus Sasongko), dalam penceritaannya merupakan tokoh wanita dewasa dan berwibawa yang memiliki pesona fisik begitu nyaris sempurna dalam standar kecantikan perempuan. Memiliki kulit tubuh yang kuning langsat, rambut panjang sebahu, isi dada bagai dua buah cengkir kelapa gading, kecil tapi menonjol kedepan dan tampak indah penampakannya. Sedangkan Bagus Sasongko adalah seorang remaja laki-laki yang cukup pandai mengingat cerita dan mudah memahami. Ibarat kata ia adalah murid yang cerdas.
Bagi masyarakat Indonesia, apalagi masa kini, sangat mudah untuk langsung menuduh gowok sebagai seorang perempuan yang tak ubahnya (maaf) seorang pelacur. Menggunakan badannya untuk dinikmati seorang laki-laki secara seksual. Bahkan dalam banyak hal, istilah pedofil atau mother complex (oedipus complex) dapat digunakan dalam hubungan Nyai Lindri dan Bagus Sasongko. Bagaimanapun juga, Nyai Lindri menyediakan tubuhnya untuk dinikmati laki-laki yang bukan suaminya.
Budi Sardjono hampir berhasil menjelaskan perbedaan ‘jenis pekerjaan’ gowok dengan pekerjaan sebagai seorang PSK atau prostitute. Dengan menggunakan analogi kamasutra, pendidikan seks disini bukan sekadar menuruti hawa nafsu, namun sebaliknya. Menahan dan mengontrolnya, sehingga dapat memuaskan kedua belah pihak untuk mencapai harmonisasi kehidupan berumah tangga. Sang cantrik (pelajar), akan diajari cara menghormati tubuh perempuan, diajari bagaimana melayani dan memuaskan perempuan untuk mencapai kebahagiaan.
Kamasutra adalah sebuah teks Hindu India kuno yang berisi ‘saran’ hubungan seksual dengan beragam posisi yang kerap digambarkan sebagai sebuah teks ‘porno’ dan melulu hanya berisi teknik bersenggama. Padalah teks yang ditulis oleh Vatsyayana ini sebenarnya lebih berisi panduan kehidupan yang bahagia dan harmonis dengan membahas sifat alami cinta, kehidupan keluarga dan beragam aspek lain yang berhubungan dengan kenikmatan kehidupan manusia. Jadi, kamasutra bukan sebuah buku yang melulu tentang seks saja.
Novel ini memang memiliki tema provokatif dan merujuk ke arah sesuatu yang dianggap tabu oleh kebanyakan masyarakat. Namun saat menuntaskan hingga akhir bacaan, secara tersirat kita akan mendapatkan suatu nilai yang berharga. Dimana ada sesuatu yang buruk, disana juga diimbangi dengan sesuatu yang baik. Mantera jahat akan sirna dengan mantera kebaikan. Dialog dan pengajaran yang diberikan Nyai Lindri kepada Bagus Sasongko dapat kita jadikan pelajaran tentang bagaimana belajar untuk profesional dan tidak mudah dikuasai oleh nafsu. Pada akhirnya saya tidak menyesal telah membeli buku ini. Selamat membaca.
Judul Buku : Nyai Gowok
Penulis : Budi Sardjono
Penerbit : Diva Press (Anggota IKAPI)
Tahun Penerbitan : 2014
Inayatun Najikah, Penikmat Buku tinggal di Pati