Oleh: Holikin
Permasalahan anak di era digital makin hari kian kompleks. Dunia modern yang menyajikan banyak kemudahan, tidak lantas memberikan kemudahan dalam segala hal. Justru terkadang memberikan sajian yang sebaliknya. Ya, di sisi yang berbeda memberikan tambahan deretan problematika yang tak berkesudahan, jika tidak dipandang dengan arif.
Gadget dan invasi fantasi audio visual yang tersaji di dalamnya secara membabi buta menyeret anak-anak kita ke dalam jeratan perilaku yang tak sepantasnya. Moralitas dan karakter luhur yang seharusnya tertanam kokoh di dalam jiwa mereka terpenggal olehnya perlahan tapi pasti.
Budayawan kondang, Taufik Ismail pernah menyatakan bahwa perilaku yang tak biasa yang terjadi pada anak-anak kita nyaris semuanya ulah tontonan (televisi). Lebih lanjut Taufik berkata, “Yang tidak diajarkan televisi hanyalah cara membunuh televisi itu sendiri.” Ini baru televisi, lalu bagaimana dengan gadget? Tentu lebih dahsyat lagi.
- Iklan -
Untuk mengurangi dampak bahaya fantasi visual tersebut, kiranya kita perlu melakukan upaya massif. Salah satu upaya yang perlu kita lakukan adalah mengembalikan kejayaan “negeri dongeng” yang sedang redup. Sekolah sebagai instansi formal tentu memiliki kewajiban lebih dalam hal ini.
Dapat dipastikan, hampir semua anak-anak menyukai dongeng. Apalagi mereka adalah anak usia TK atau yang masih duduk di bangku SD. Baik membacanya secara langsung dari buku-buku dongeng atau menyimak dari orang lain. Penulis mengalaminya sendiri. Anak-anak lebih antusias mendengarkan penjelasan materi pelajaran jika disisipi dongeng. Berbalik seratus delapan puluh derajat jika tidak diselingi cerita dongeng. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa dongeng memiliki power lebih terhadap pembentukan minat belajar anak.
Dongeng tak hanya sebuah cerita fantasi pengantar tidur, ia mengandung nilai-nilai moral dan sosial yang berguna untuk membentuk karakter anak. Pembentukan karakter anak dapat dilakukan di lingkungan pembelajaran sekolah dan lingkungan rumah (keluarga). Strategi pembentukan karakter anak dilakukan dengan pemberian contoh, pembiasaan membaca dongeng, pembiasaan mendengarkan dongeng, dan penciptaan lingkungan baca yang mendukung.
Dongeng sebagai bentuk cerita tradisional atau cerita turun-temurun dari nenek moyang yang disampaikan secara lisan (mulut ke mulut). Karena itulah maka secara definitif dongeng dipahami sebagai cerita yang tidak benar-benar terjadi (fiktif belaka). Orang Madura mengakronimkan (atoro’ tegghes) dongeng (dhungngeng, Madura) menjadi “dhu-ngaddhu bharang se ta’ kengeng” (mengadu sesuatu yang tidak seharusnya).
Oleh sebabnya, dongeng merupakan sebuah cerita yang tidak diketahui asal-muasalnya namun sangat menghibur bagi pendengarnya. Selain menghibur, tentunya dongeng juga menyampaikan ajaran maupun pesan.
Dongeng disebut sebagai cerita fiktif yang terinspirasi dari dunia nyata. Meskipun benar atau tidaknya suatu cerita dongeng, tetapi sebuah dongeng dapat membangun karakter anak-anak untuk belajar berimajinasi. Anak secara tidak langsung dapat mengambil nilai-nilai luhur yang terdapat dalam cerita dongeng. Ibnu Muqaffa dalam bukunya Hikayat Kalilah wa al-Dimnah menyatakan, “Sungguh dalam dongeng itu terdapat kalam hikmah (kata-kata mutiara) yang tak ternilai oleh apapun jua dan keberadaannya laksana bukit batu yang tak termakan zaman.”
Bercerita atau berdongeng menjadi suatu keterampilan lisan dalam mengolah kata dan rasa sehingga dapat menarik bagi si pendongeng maupun para pendengarnya. Adanya cerita yang disampaikan secara lisan maka akan terjadi kontak kemesraan antara orang tua dan anak dalam rumah atau guru dan murid dalam kelas. Komunikasi yang terjalin menjadikan anak semakin dekat dengan orang tuanya atau khemestri antara peserta didik dan pendidik terjalin seutuhnya.
Dongeng jelas dapat digunakan sebagai media untuk mendidik serta membentuk karakter positif pada anak oleh orang tua maupun guru. Pemilihan dongeng yang tepat menumbuhkan nilai-nilai kehidupan yang terselip di balik cerita dongeng secara tidak langsung menjadi suatu keuntungan yang didapatkan dari mendongeng yang kiranya dapat dipetik oleh anak-anak disengaja maupun tidak. Nilai religius, nilai kebaikan hidup, nilai moralitas, nilai sosial, nilai budaya dan nilai-nilai kehidupan lain bisa dipelajari anak melalui dongeng, melalui peristiwa dalam cerita dongeng tersebut.
Adanya nilai kehidupan dalam sebuah cerita dongeng dapat menumbuhkan karakter anak dan pandangan hidup anak yang dibentuk sejak dini. Kemudian endingnya anak menjadi termotivasi untuk melakukan sebuah kebaikan kini dan nanti.
Tentu, kegiatan menumbuhkan karakter anak tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan upaya yang dilakukan oleh guru saja. Hal ini menjadi tanggung jawab dan kesadaran semua pihak, baik dari orang tua maupun masyarakat. Dengan kegiatan positif yang menyenangkan seperti kegiatan mendongeng, kegiatan menumbuhkan karakter anak dapat dilakukan sejak dini baik di lingkungan keluarga maupun sekolah. Benar adanya (dan perlu kita dukung) jika ada sebuah gerakan Indonesia mendongeng.
Alhasil, kegiatan mendongeng perlu kiranya kita tumbuhkan kembali. Tidak cukup sampai di situ, hal ini mestinya perlu kita suburkan dan kita sebarkan. Sebab, mendongeng adalah cara kita mengembalikan anak ke dunianya. Dunia miliknya yang sebenarnya.
*)Guru dan penulis asal Pulau Mandangin – Sampang Madura