Oleh Ilham Wahyudi
Mahli baru saja keluar dari diskotik ternama di Kota Anu. Ia memang acap pergi ke diskotik untuk mabuk dan bercengkerama dengan orang-orang yang haus minuman keras. Cukup dengan dua botol Captain Morgan Mahli sudah mampu membuat beberapa wanita duduk menemaninya minum sampai jelang subuh. Kadang kalau ia sedang takut tidur sendiri, satu-dua wanita ia ajak pulang ke rumahnya.
Mahli tinggal di sebuah apartemen di selatan Kota Anu. Apartemen itu ia dapatkan saat ia menjadi salah satu tim sukses calon presiden periode sebelumnya. Soal itu memang sedikit aneh. Apa sebab? Calon yang Mahli dukung sesungguhnya kalah dalam kontestasi pemilihan presiden. Bahkan calon itu sama sekali tidak mendapatkan suara. Namun karena keahlian Mahli berkembur melebihi para politisi, calon presiden itu mudah saja menghadiahkan Mahli apartemen lengkap dengan isinya, dan sebuah mobil.
”Kekalahan ini adalah modal besar Bapak untuk ikut kontestasi periode berikutnya. Ambil saja contoh presiden negara Nganu, Pak, beliau sudah empat kali ikut pemilihan presiden, dan baru pada percobaan kelima beliau sukses menjadi presiden. Nah, kalau Bapak baru kalah sekali, itu sungguh tidak ada artinya. Teruslah berjuang demi bangsa dan negara, Pak. Saya yakin dan percaya, suatu saat Bapak akan menjadi presiden.” Begitu kata Mahli pada calon presiden yang ia dukung. Calon presiden yang kalah itu mengangguk-ngangkuk menyetujui ucapan Mahli.
- Iklan -
Sehari-hari selain ke diskotik, mabuk, dan bergelut dengan banyak wanita, kerja Mahli ialah menulis. Ia mahir menulis puisi dan cerpen. Sesekali ia memang pernah juga menulis opini atau esai. Namun tulisan-tulisan seperti itu biasanya lahir jika sedang ada perhelatan akbar dunia politik. Jika musim politik habis, ia akan kembali menulis puisi dan cerpen.
Ketika menulis karya sastra, Mahli selalu memakai nama pena: Rumi Nawas. Akan tetapi jika menulis opini dan esai, ia akan memakai nama aslinya. Entah apa yang menjadi pertimbangannya menggunakan nama Rumi Nawas saat menulis karya sastra. Tapi yang jelas, ia memang menyukai puisi-puisi penyair sufi terbesar Jalaluddin Rumi, dan ia juga begitu kagum pada jalan hidup Abu Nuwas (Nawas). Mungkin itu sebabnya ia menggabungkan dua nama itu menjadi nama penanya.
Hidup Mahli kalau dipikir-pikir memang mirip dengan Abu Nawas. Ia sebenar benci dengan masyarakat di sekitarnya yang menurutnya munafik dan hipokrit. Banyak sekali dalam kesehariannya, Mahli menemukan orang-orang yang menolak sesuatu yang nikmat, tapi di belakang diam-diam menikmati. Orang sekarang menurut Mahli malah tampil tidak otentik: apapun yang dilakukan semuanya diukur dengan ukuran-ukuran palsu. Itulah sebabnya, ia sepenuh hati mengikuti gaya hidup Abu Nawas yang juga menurut cerita membenci perilaku masyarakat di sekitarnya saat itu. Namun, sungguh tiada yang tahu bagaimana ujung hidup Mahli, apakah sama seperti Abu Nawas atau ia malah tak sempat bertobat dan mati dalam penyesalan.
Seperti hari ini, Mahli sengaja memprovokasi teman-teman di sosial medianya dengan membuat status yang kontroversi: lebih baik membantu tetangga dari pada orang-orang di Palestina. Hentikan sumbangan-sumbangan itu! Orang Palestina tidak miskin. Mereka butuh peluru, roket, mungkin juga nuklir untuk menahan laju tentara zionis: bukan uang atau pakaian. Gilanya Mahli, ia memposting statusnya sambil memegang botol miras.
Sontak teman-temannya yang pro Palestina marah dan tanpa ampun memaki-maki Mahli di media sosial. Namun, ada juga teman Mahli yang malah setuju dengan pemikiran Mahli yang serong dari kebiasan itu. Ilham teman mengajinya dulu sewaktu kecil salah satunya. Dia malah menyebarkan status Mahli dengan kata-kata tambahan: penting juga mencermati status ini dengan hati yang teduh dan tanpa kemarahan. Tapi orang-orang yang pro selalu merasa itu adalah ungkapan kontra terhadap perjuangan Palestina. Maka Ilham pun sama saja akhirnya mendapatkan cacian dan makian dari teman-teman media sosialnya.
Mahli menelepon Ilham, kemudian menertawakan teman kecilnya itu.
”Hahaha…, makanya jangan sok-sok ikut aku, kau Ilham! Mereka itu semua brutal. Kau tahu tidak makian di media sosial itu lebih tajam dari peluru? Orang terkena peluru masih bisa hidup jika posisi peluru bukan menembus bagian vital tubuh. Tapi makian netizen langsung menembus organ-organ vital manusia. Berapa orang sudah mati bunuh diri setelah dibantai di media sosial. Lihat, betapa memuakkan dunia akhir-akhir ini, bukan?”
”Kau mabuk, Mahli?”
”Apa lagi yang nikmat selain mabuk, Ilham? Kau di mana? Sini mabuk bersamaku, atau kau ingin kita ke klub? Malam ini DJ-nya teman baikku, dia banyak teman wanita. Nanti aku kenalkan satu. Aku tunggu kau di rumah, ya!”
Telepon ditutup.
Sudah satu jam sejak telepon ditutup, tapi Ilham belum datang. Mahli sudah mondar-mandir: ruang tamu-kamar-ruang tamu-kamar. Menelepon juga sudah berulang kali Mahli coba, tapi Ilham tidak mengangkat. Bosan menunggu, akhirnya Mahli pergi sendiri.
Di jalan, pada sebuah simpang yang tak jauh dari tempat tinggal Mahli, ia melihat orang ramai berkumpul. Orang-orang itu seperti sedang melihat sebuah kecelakaan. Penasaran Mahli berhenti, kemudian turun dan melihat lebih dekat. Oh, Tuhan, betapa terkejutnya Mahli, ternyata Ilham yang sedang ia tunggu sedang terkapar bersimbah darah.
Tanpa pikir panjang Mahli langsung menggotong Ilham. Memasukkan Ilham ke dalam mobilnya, kemudian langsung tancap gas ke rumah sakit terdekat. Nasib baik, Ilham masih bisa tertolong.
Tiga hari setelah kejadian, Mahli menjenguk Ilham. Menurut keterangan dokter yang menangani Ilham, kawan kecilnya itu mengalami geger otak dan beberapa luka yang mesti dijahit.
”Seberapa parah geger otaknya, Dok?”
”Lumayan, Mas. Untuk itu, mohon jangan ajak dulu dia berbicara tentang yang rumit-rumit. Mungkin beberapa hal akan terlupa. Namun seiring kesembuhan, ingatannya besar kemungkinan akan kembali.” Mahli mengangguk. Lalu berjalan menuju ruang perawatan Ilham.
Di dalam kamar perawatan, orang tua Ilham terlihat menangis. Tapi saat Mahli masuk, mereka langsung mengucapkan terima kasih sebab Mahli sudah bersedia menanggung semua biaya perobatan Ilham. Dan Mahli hanya tersenyum sambil memeluk kedua orang tua Ilham.
”Ilham, aku minta maaf. Malam itu aku sempat kesal kau tak kunjung datang. Ternyata kau sedang menuju rumahku. Maaf Ilham, jika kau tak aku undang, pastilah saat ini kau baik-baik saja.”
Tiba-tiba keanehan terjadi. Ilham menjawab permintaan maaf Mahli.
”Apa yang kau sesali Mahli. Kau tahu, kecelakaan ini memang sudah takdir. Seperti halnya penguasaan negeri Palestina. Itu juga takdir. Dan sebaik-baik manusia adalah menerima takdir.”
”Sudah, sudah Ilham. Kau jangan bicara yang berat-berat dulu. Lukamu cukup parah kata dokter tadi. Ee, maksudku akan semakin parah kalau kau terlalu banyak berpikir dan bicara. Lebih baik istirahat saja!”
”Kau tahu Mahli, aku malah berpikir sebaliknya.”
”Maksudmu?”
”Aku sungguh sebenar paham kini maksud dari statusmu di media sosial tempo hari. Mungkin jika aku tak mengalami kecelakaan ini, aku terus dalam kurungan bingung, meski aku setuju dengan apa yang kau katakan. Tapi itu tak lain karena aku mengenal kau dari kecil. Aku tahu kau tidak pernah jahat sejak kecil, jadi aku percaya statusmu itu bukan dengan niat jahat. Dengan dasar itu saja sebenarnya aku setuju. Tapi kini, sungguh aku paham.”
”Oke, oke, Ilham. Tapi saat ini kau butuh istirahat. Nanti saja kita bahas, ya, nanti kalau kau sudah bisa main futsal lagi baru kita bahas.” Dua teman kecil itu tertawa. Tapi tidak sampai mengeluarkan bahak tentunya.
Setelah obrolan di rumah sakit, Mahli jadi sering begadang memikirkan ucapan Ilham. Sudah seminggu ia tidak mabuk, juga tidak bergelut dengan para wanita. Ia merasa Tuhan menegurnya melalui peristiwa kecelakaan Ilham. Bahkan Mahli sampai pada kesimpulan, bahwa ia sesungguhnya yang diselamatkan Tuhan. Tapi melalui peristiwa kecelakaan Ilham.
Mahli juga sadar, seminggu tanpa mabuk dan para wanita hidupnya baik-baik saja, kecuali jam tidurnya yang sedikit terganggu. Itu pun karena ia terus merenungkan percakapannya di rumah sakit. Selebihnya semua normal dan biasa saja.
Tiga bulan setelah kecelakaan Ilham, dan sahabatnya itu juga sudah bisa berlari sedikit-sedikit, ia pun mendatangi Ilham kemudian berpamitan pergi.
”Mau kemana kau Mahli?”
”Aku mau ke Anatolia, Turki.”
”Untuk apa ke sana? Maksudku dalam rangka apa kau ke Turki? Bisnis atau?”
”Entahlah, aku pun tak tahu untuk apa. Tapi yang jelas, aku merasa hidupku harus aku mulai kembali dari sana.”
”Sebentar, bukankah itu kota tempat Jalaluddin Rumi dimakamkan?”
”Ya, Ilham.”
”Baiklah, aku paham sekarang Mahli. Pergilah, semoga apa yang kau cari akan kau temukan. Sering-seringlah berkabar, tak soal kabarmu penuh dengan hal-hal kontroversi. Tenang aku tidak akan memakimu, apalagi membencimu.”
Mahli tertawa. Ilham tertawa. Kali ini tawa mereka penuh bahak yang menggelegar.
¤ ¤ ¤
Tiga puluh tahun kemudian, dari kota Anatolia menyebar sebuah seruan yang membuat dunia geger. Seruan itu ternyata dari seorang sufi yang bernama: Mahli Rumi. Dan calon presiden yang kalah dulu itu (yang Mahli dukung dengan setengah hati) ternyata telah berhasil menjadi presiden setelah percobaan keempatnya mencalonkan diri. Dialah presiden pertama di dunia yang menyambut seruan Mahli Rumi.
Dunia seperti sedang menuju sebuah akhir. Namun akhir seperti apa? Tiada yang tahu. Sungguh tiada yang tahu.
Akasia.
ILHAM WAHYUDI. Lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia salah seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur. Selain menjadi seorang Fundraiser di Adhigana Fundraising, ia juga dikenal sebagai tukang mabuk. Beberapa cerpennya ada yang dimuat dan banyak yang ditolak redaksi. Buku kumpulan cerpennya “Kalimance Ingin Jadi Penyair” tidak akan diterbitkan.
.