Oleh : Suyat Aslah
Ada sebuah ruang terabsurd di dunia, tempat seorang pemuda melankolis pernah mengubur cintanya. Seseorang yang lebih suka menyampaikan isi hatinya pada kesunyian alam. Kau takkan pernah memahami seutuhnya, akan jadi hal langka jika kau mendengar kata-kata yang runtuh dari bibirnya.
Dia ada namun seakan tiada. Lebih suka hidup dalam kesunyian yang meraja. Bersembunyi dalam dekap sepi, atau bertualang dalam imajinasi. Bukit berperdu jadi saksi bahwa dia masihlah ada. Diam dan memahami dunia.
“Apa dia seorang pujangga tanpa suara?” Tanyamu padaku.
- Iklan -
“Dia adalah puisi yang tercipta dari hati yang patah diam-diam,” jawabku. Mungkin itu terlalu hiperbolis, atau puitis. Aku tak memikirkannya.
Aku hanya mengatakan apa yang kutahu, dan yang kuanggap boleh dikumandangkan pada dunia, terkhusus padamu. Ruang terabsurd memang sulit dijabarkan dalam ucapan, terutama bagi orang yang tak pandai bicara.
“Kau pernah mendengar bahwa, tatapan mata bisa menjelaskan segalanya?” Kau mulai membuka celah untuk memahami pemuda melankolis itu.
“Ya. Tapi apa kau tahu bahwa, mata juga bisa jadi penerjemah yang seringkali salah?” Aku yakin itu bisa mematahkan argumenmu.
Itu adalah percakapan awal kita di tempat yang telah disediakan Tuhan. Pertemuan yang kelak membuat kita terikat dalam satu simpul bernama cinta. Sebuah rasa yang bisa terlalu cepat berevolusi. Meski setelah itu berlembar-lembar kisah telah dilalui, kita sempat memilih jalan berbeda. Hingga hanya tersisa suara-suara yang bertengkaran dalam kepala. Tak bisa mendefinisikan satu sama lain. Kita terpisahkan oleh sekat ruang dan waktu. Bagian dari dunia yang sulit kuretas agar tak menjaraki kita.
Waktu menyeretku pada rangkuman detik yang menyiksa. Jalan sepi jadi tempat kembali dan teriakan menggema dalam diri. Detak rindu merambati nadi. Tarian ranting-ranting pohon seakan menertawakanku. Langit yang kupandangi terlihat berbeda. Jubah alam yang melahirkan hawa aneh membekukanku.
Tapi itulah tempat yang cukup tenang untuk melepaskan beban secara perlahan. Menyingkir sejenak dari dunia yang membuatku remuk redam. Meski pertengkaran masih ada dalam kepala, setidaknya sebuah rasa terbit di hati dan meyakinkanku bahwa, “Semua akan baik-baik saja.”
Sebelum aku pulang, kupandangi lebih dulu tanah kering di kejauhan yang melandai, dua gundukan tanah yang terpisahkan tanah datar. Serumpun rumput kering tersisa di puncaknya, dari sudut pandangku berdiri itu membuatnya terlihat mirip punuk unta. Napas perbukitan membuatku sedikit lebih kuat menantang hari. Hari-hari yang seakan mengiris hidupku tanpa ragu.
Hingga takdir kembali bersuara. Kita terikat kembali dalam kondisi berbeda dengan sedikit aroma purba. Kita di sini sekarang, di sebuah bukit berperdu yang bisu. Wajahmu masih tetap sedatar pintu. Lalu kau memalingkan wajahmu pada awan-awan yang seperti kapas bertebaran di langit. Mendesah tapi bukan karena mengeluh. Kupandangi wajahmu dari samping, manik mata kelabu basah bernaung di bawah alismu. Pijar mata yang bisa saja melemahkan jiwa. Pipi cemerlang dan begitu purnama. Lalu kau tersenyum tanpa kutahu alasannya. Terlihat gigi gingsulmu yang seakan berjodoh dengan bibirmu.
“Aku membayangkan dua sejoli yang berjanji bertemu dalam sebuah puisi. Dunia khayali yang begitu memesona jiwa-jiwa sepi,” katamu sambil masih memandangi awan di langit.
“Kau bisa terjebak dalam imajinasi,” kataku agak ngawur.
Kau mengirimkan tatapan cepat padaku, kemudian langsung beralih pada jeritan burung-burung yang berlompatan di puncak pohon. Berombongan seperti menari-nari di udara pagi. Lalu kau mengembangkan tanganmu, seperti membiarkan embusan angin mencumbuimu.
“Dunia nyata mungkin lebih indah untuk ditempati. Udara mengembuskan cerita tersendiri, pepohonan melakukan tarian erotis di atas panggung semesta, langit melukis wajahnya dengan awan-awan. Jubah alam yang berganti-ganti.” Aku membuka percakapan lagi.
“Apa kau menyadari bahwa percakapan kita tak ada pemberhentian yang jelas?” tanyamu sambil menurunkan kembali kedua tanganmu.
“Biarlah. Kau pernah mendengar kalimat, sesuatu akan jadi lebih indah jika dibiarkan tak terjelaskan?” tanyaku. Namun setelah jeda lumayan lama, tak ada jawaban darimu. Aku melanjutkannya lagi, “Tidak semua esensi di dunia ini bisa dilihat oleh mata.”
Kau kembali memandangku mengandung maksud. Seperti jenis tatapan melenakan pikiran. Menembus halus mataku tanpa melukai. Lalu kau menarik bibirmu lagi, sebuah senyuman menggantung di wajahmu.
“Seperti itukah ruang terabsurd di dunia?” tanyamu.
“Ya. Tempat yang bisa jadi menentukan nasib pemiliknya,” jawabku masih berputar-putar.
“Mungkinkah malah kau yang terjebak dalam imajinasi?” tanyamu.
“Mungkin iya. Terutama saat kau tak ada,” jawabku. Aku sendiri tak yakin dengan jawabanku sendiri. Sedikit aneh saat kuucapkan.
Kali ini kau malah lebih dalam menatapku sambil masih tersenyum tak habis-habis. Cukup lama hingga aku mengubah arah berdiriku sedikit membelakangimu untuk menghindari pandangan matamu. Lalu kau tertawa lebar. Jenis tawa yang sama seperti saat kau dahulu tergelak oleh lelucon yang kaubuat sendiri. Sementara aku hanya mencoba menguasai diri sambil merasakan hal yang langka sejak beberapa hari terakhir ini.
“Kau ingin tahu ke mana aku pergi sebelumnya?” tanyamu setelah tawamu reda.
Aku belum ingin menjawabi, sengaja kuberi waktu untukmu berkata lagi.
“Bukan hal yang bisa membuatmu cemburu,” katamu lagi.
Setelah itu percakapan kita masih terasa aneh. Pertemuan kembali setelah ruang dan waktu menjaraki akan butuh proses menyembuhkan, setidaknya membuat kembali terasa wajar. Seakan udara masih sedikit beku untuk sebuah gelak tawa.
Bukit berperdu masih bisu. Terkadang alam seakan jadi pendengar yang baik bagi para pemilik jiwa-jiwa sepi dan terluka. Kuingin kau masih berada dalam banyak ketidaktahuan, kuharap itu membuat suasana bercerita masih ada. Kubiarkan banyak hal simpang siur dalam kepalamu. Namun malah kita sama diam dalam sekitar empat jenak, sampai sebuah daun kering jatuh dari rantingnya dan berayun di udara. Itu masih tampak indah di mata. Matahari mulai berpendar keemasan. Membuat mata kita memicing karena silau. Embun di dedaunan siap menyongsong matahari.
“Kita kembali?” tanyamu. Aku mengamini.
Kita berjalan pada tanah yang melandai. Benteng hijau begitu memanjakan hati. Pijakan kakimu meraba-raba tanah, lalu kau mengulurkan tangan untuk meminta pegangan. Kupegang tanganmu erat-erat, kurasakan desiran di hati dan kuyakinkan pada diri bahwa tak ingin aku kehilangan kau untuk yang kedua kali.(*)
Suyat Aslah, penulis kelahiran Cilacap tahun 1995. Alumnus SMA Diponegoro Sampang. Mulai menjadi penikmat sastra sejak SMA. Beberapa bukunya yang dia tulis berjudul Puspa (2016), Sehelai Jiwa Sepi (2018), Philogynik (belum terbit). Beberapa cerpennya dimuat di beberapa media termasuk blog pribadinya. Channel YouTubenya: Aslah S.