Oleh : Damay Ar-Rahman
Sehabis subuh, aku dan Rajni mencari kayu di tengah hutan agar tersedia bahan bakar masakan hari ini. Daun-daun hijau lebat kami terobos sambil membawa kayu yang kami tenteng di lengan masing-masing. Rajni telah genap berusia sepuluh tahun. Meski tubuhnya mungil dan dekil sepertiku, Ia berfisik kuat sehingga seluruh rimba di hutan ini mampu dijelajahi. Rajni terlihat ahli dalam bidang angkut-mengangkut. Meski dia tidak pernah mengeluh, aku selalu memperingatinya agar tidak usah membawa kayu-kayu itu karena bebannya berat dan tidak pantas dilakukan oleh anak seusianya. Tapi, dia memang dasar cerewet. Sangat susah diberitahu. Terkadang aku mengalah bukan karena sebagai kakak, tetapi memang malas saja betekak dan akan berakhir diceramahi. Ya…. asal tidak sakit dan cari ribut.
Ibu membeli setandan pisang dan sayur kangkung seikat untuk diubah menjadi lauk pauk di gubuk reot peninggalan nenek. Jika Minggu pertama setiap bulan, ibu akan membawa ikan mujair atau lele sebagai makanan terlezat yang kami nanti-nantikan terutama jika disulap menjadi sambal. Jika jamur banyak terjual, kami akan makan gulai ayam.
- Iklan -
Setelah lelah mencari kayu-kayu untuk dibawa pulang, Rajni menemui Neneng yang juga sedang melakukan hal sama. Kalau sudah berpapasan dengan bocah itu, pasti dia lupa tugasnya dan membiarkan aku mengerjakannya sendiri. Permainan mereka sederhana. Hanya sebatang kayu kecil dari pohon jambu yang diikat untuk dimainkan dengan batu kerikil. Permainan itu takkan bisa dilakukan sendiri. Paling sedikit dua dan maksimal enam orang.
Cuaca masih terik tanpa angin yang membelai. Langit hanya segelintir awan menutupi, itupun sudah memudar dihadang matahari yang sinarnya memanaskan punggungku. Bayanganku terlihat kurus apalagi dibagian pinggang dan kaki. Kupikir, jika ke kota pasti aku sudah terpilih menjadi pemeran atau model majalah baju. Meski kerempeng, jika dibawa olah raga akan sangat kekar dan wajah kusam ini lebih cerah karena memang kami keturunan berkulit putih dari ibu. Hidung lumayan mancung dan alis mata bergaris tebal tanpa celak. Sayang, hidup kami di kampung, hutan belantara yang membutuhkan waktu empat puluh sembilan jam sampai ke sana, itupun kota kecil. Kota besar bakalan butuh waktu berhari-hari. Ibu saja jika ke pasar tanpa sepeda bisa jadi besok siang baru sampai ke rumah. Sebegitu lah kondisi hunian di pedalaman. Sunyi terkecuali rumah Neneng bersama neneknya di belakang dekat muara.
“Abang sudah berapa banyak kayunya?
“Setumpuk Abang rasa cukup.” Ucapku sambil menyapu wajahku yang berlumuran keringat.
“Emm coba aku lihat.”
Eih, udah gak bantu sok hitungan ni anak. Meski kesal, dia adalah adik yang peduli walau cuma memantau. Ketelitiannya sering membantuku yang teledor. Ibu selalu mengajarkan untuk berlaku baik sama Rajni, menyayangi, dan melindungi. Tidak hanya dia, binatang dan tumbuhan harus juga dijaga, tetapi bagaimana jika kita butuh buat makan, mau tidak mau harus mencabutnya.
“Semua ciptaan Allah itu membawa manfaat tanpa kerugian, kecuali manusia yang berbuat dan merusak. Menyayangi bukan berarti tidak digunakan, maksud ibu syukuri apapun di sekitar dan jangan lakukan hal-hal membawa keburukan seperti membakar, menebang, membuang sampah, itu semua akan membuat bumi menjadi lemah dan akhirnya menimbulkan bencana.
Kata itu benar-benar menyadarkan ku atas perbuatan Pak Jal. Pamanku dari kota untuk membuat proyek sampahnya yang akan menghancurkan kesuburan lahan ini, jika nantinya sampai jatuh ke tangan serakah seperti dia. Truk pengangkut tanah bakalan menggundulkan pohon-pohon hasil tanaman warga meski mereka memiliki tanah itu dengan status sewa. Mereka hidup dalam kemiskinan, itulah alasan mengapa lahan ini akan sangat berpengaruh selain untuk alam juga mata pencarian utama oleh beberapa kepala keluarga. Membayangkannya saja sangat menakutkan. Termasuk aku dan ibu. Bualan pria itu seperti pisau tajam, runcing, dan tukang dusta. Mobil merah di samping rumahku, yang disupiri oleh putranya adalah hasil rampasan. Aku mendengar itu dari percakapan ayah dan ibu. Entah milik siapa, pada intinya itu bukan hak mereka.
Apa mereka tidak takut azab Allah, seperti buku cerita Rajni yang sering membuatnya rewel malam-malam karena horor. Ah…orang seperti itu kebal akan dosa. Menyadarinya saja kurasa tak pernah. Memang aku taklah begitu suci, ya.. setidaknya aku tak seburuk mereka.
Setelah tahun lalu berkunjung bersama istrinya dengan membawa buah tangan berbagai jenis kue dan baju-baju buat Rajni, mereka kembali datang bersama anak sulungnya Paptri dan Gundarma ke tempat kami. Istrinya yang berbibil tebal dan berlipstik merah kentara juga turut dihadirkan lagi, entah apa maksudnya. Mungkin ingin merayu ibu seperti saat itu. Mereka mengharapkan tanda tangan ibu demi memenuhi keinginannya yang sangat pemaksaan.
“Aku sudah bilang, kau akan dapat keuntungan Wati. Tak perlu khawatir.”
“Bukan begitu Jal, akan sangat tidak mampu untuk aku menanggung ingkar janji dengan Almarhum abangmu.”
“Alah, orang sudah mati aja kok ditakuti. Kamukan percaya sama Tuhan bukan setan.”
“Astagfirullah, jaga ucapanmu. Meskipun suamiku telah tiada, kami selalu menyebutnya dalam doa-doa.”
“Yang namanya mati tetap mati lo. Ngak usah ditambah-tambah. Sudah berikan saja. Lagi pula, kalian sudah nyaman di sini, tak perlu tanah itu.”
Ibu mendengarnya dengan tatapan sayu. Ibu sudah malas menggubris dia. Daripada merespon alangkah lebih baiknya diam. Lagipula tidak ada manfaatnya. Sambil berdiri, ibu mengambil surat pemberian mereka pekan lalu, ibu memandangi istri adik suaminya itu tanpa berkata-kata. Tetapi aku, mulai mengumpat dalam hati. Ingin kuhantam dia dengan guliku ini. Dasar nenek lampir jelek, kalau bukan karena bibiku udah aku lempar keluar sama anaknya yang menyebalkan itu. Sudah manja, sombong pula. Kaya, hasil ngerusuhin aja berlagak. HUH.
Daripada darahku naik seratus delapan puluh derajat dengan melihat kelakuan mereka, lebih baik keluar menghirup udara segar pagi ini. Saat kutinggalkan, wajah mereka melihatku dengan masam. Tanpa pamit dan masa bodoh, aku keluar membiarkan mereka yang omong kosong. Aku yakin, ibu punya prinsip walaupun tidak sekolah. Apapun yang terjadi, keluarga itu takkan bisa mengambil milik kami.
“Tenang……Allah akan selalu bersama orang-orang benar.” Ya nasihat ibu takkan bisa dibantah. Dalilnya juga ada. Dosa melanggar perintah agama. Itulah yang terbaik.
Saat melintasi halaman rumah, aku menoleh menangkap wajah ibu yang dilanda susah. Susah kasih tahu paman dan istrinya tentang masalah ini. Ah lagi..lagi aku ingat ibu dengan ajarannya agar tidak cepat marah. Tanganku yang panas ini kucoba dinginkan walau hatiku tetap ingin mengusir mereka keluar.
Rumput berbasah embun. Aroma preticor tercium teduh hingga ke relung hati. Suara air mengalir terdengar sendu. Rasanya ingin mandi kalau tidak sakit. Gara-gara deman semalam, aku harus sabar menahan gejolakku untuk nyemplung.
Rumah Neneng akan aku lewati. Baru saja kulalui pagar bambunya, harum masakan nenek Neneng menggetarkan perutku yang baru saja setengah jam lalu terisi masakan ibu. Kampung ini sangat susah untuk dinomorduakan. Takkan ada tempat yang lebih indah dari desa peninggalan pahlawan di sini.
Akupun sampai di tempat biasa. Tempat ini membuang penat dan segala kerisauan. Dikejauhan gunung menjulang. Sawah-sawah tersusun mengikuti garis air yang berasal dari lereng bukit di ujung sana.
Suasana masih sama seperti kemarin pagi. Hanya saja, tanpa kicauan burung dan lembu liar berkeliaran. Ini lebih baik. Sendiri dan menenangkan. Lihatlah, ayah begitu membuatku kembali ke masa lalu. Saat lelaki memintaku memanjat pohon karet untuk diambil getahnya.
“Hati-hati Hafizh, tak usah dipaksa kalau ngak bisa. Biar ayah saja.” Panggil seorang pria dengan kain sarung serta topi capingnya.
“Tapi ayah yang minta.” Jawabku terkekeh.
“Tapi kulihat kau tak siap-siap kerjanya. Sudahlah, yang ada ayah telat ke ladang. Turun saja.”
“Ayah, aku sudah hampir tiba di ujung. Ngak ada apa-apa tapi.”
“Memang tak ada apa-apa di ujung sana. Ayah hanya perlu getahnya.”
Aku terdiam saat ayah meneriakiku untuk turun. Lama-lama pohon ini kurasa tinggi juga. Terutama saat melihat ke bawah. Benar saja, ternyata sudah sejauh ini aku memanjat. Memandang wajah ayah sudah sangat kecil. Jika aku jatuh, bisa remuk tulangku.
Ah masa itu benar-benar menyenangkan. Ayah selalu mengajakku ke manapun ia pergi, agar aku tak menjadi bujang pemalas. Segala macam bisa dikerjakannya. Bahkan sampai menjadi abang bengkel. Begitulah kira-kira orang menyebutnya karena tangkas dalam memperbaiki mobil, motor, bahkan truk. Bayaran yang diterima hanyalah terimakasih, atau kopi. Oh iya, dulukan ayah pernah kerja di bengkel kota sebelum kenal ibu. He….
Mengapa ayah suka menggratiskan setiap ilmunya.
Aduh betul saja, aku selalu heran dibuat ayah. Berjam-jam kadang memperbaiki kerusakan. Sampai sakit memegang pinggul.
“Kenapa ditolak. Walau dua puluh ribu juga bisa buat jajanku.” Tanyaku saat tidak jadi pulang dari ladang karena seorang ibu minta diperbaiki mesinnya.
“Ibumu bilang, jika orang membutuhkan bantuan harus ikhlas. Jangan mengharap apapun.”
“Tapikan ayah ngak minta. Itukan dikasih.” Jawabku sambil melihat ayah mendayung sepeda, selepas motor wanita itu sudah kembali hidup. Mana bagus pula dibuat mesinnya.
“Percayalah Hafizh. Ibumu itu benar. Jika engkau ingin mendapat rezeki yang membuat jiwamu bahagia, ikhlas itu melegakan dahaga nak. Terbiasalah.” Pria itu tersenyum menatapku. Dan aku hanya terdiam membalas matanya yang tulus.
“Baiklah, Ayah pergi dulu jaga ibu dan adikmu. Kalian anak kesayangan ayah.” Ucapnya sambil melambaikan tangan. Sejak saat itulah aku tak lagi melihat ayah kembali. Aku menunggu di teras depan sampai tengah malam. Ibu juga belum tidur duduk di tikar ruang tamu. Rajni mana tahu apa-apa, dia masih berusia tujuh tahun. Tak berselang lama, kami melihat obor di balik riuk.
“Ibu! Apa itu?” Panggilku sambil menunjuk ke arah cahaya merah menyala.
“Ya Allah. Masuk Hafizh, mereka seperti anggota itu.”
“Hah….” Aku paham maksudnya. Esoknya kudengar beragam berita tentang mayat -mayat telantar di pinggir jalan. Bahkan, kolonel negara ikut terbantai. Saat tragedi itu, aku dan ibu hanya bisa pasrah atas kepergian ayah yang sangat kecil kemungkinan untuk kembali. Semua usaha telah dilakukan. Mulai bertanya ke berbagai warga kampung hingga mencari ke hutan terlarang yang pernah ayah katakan. Aku memberanikan diri, tetapi nyaliku sangat secuil. Hanya sampai perbatasan dan lewat sebelas meter aku mampu melewatinya. Bulu kudukku telah merinding dan jantung juga berdetak kencang sehingga aku putuskan untuk kembali. Berharap ayah tidak berada di sana. Setelah itu, aku dan keluarga hanya mampu berdoa dan menanti tibanya kabar. Tentang ayah, masih terniang pasca peristiwa itu. Jika melihat barang-barang milik ayah, begitu mengingatkanku tentang berbagai cerita. Terutama kendaraan klasik ayah yang begitu bersejarah.
Tetapi, aku merasa harus berusaha lagi. Mana tahu, kali ini aku berhasil dan Allah memberikan aku jalan. Saat melewati salah satu tetangga yang baru pulang dari kota, aku bertanya dan jawaban akhirnya kutemukan. Sepeda tahun 1942 nya terparkir di teras rumah Pak Damri. Saat terdengar orang-orang membawa senjata tembakan dan parang memasuki desa, ibu panik dan lesu terutama ayah belum kembali sejak semalam. Kata Pak Damri, ia hanya menitipkan sepeda untuk pergi ke ladang. Lalu tidak balik lagi. Kurasa, mungkin cukup pencarian panjang ini. Air mata menetes ke pipi tirusku. Meski tidak tahu keberadaannya di mana, aku merasakan ia sedang tersenyum di sebuah tempat. Perbuatannya yang mulia membuatku kagum dan menjadi panutan untuk Rajni. Setiap gadis itu bertengkar denganku, pasti nama ayah disebut lalu dibandingkan padaku. Dia benar, dan aku tidak pernah marah. Aku memang sengaja memancing amarahnya biar ayah disebutkan. Sesungguhnya aku rindu. Tapi aku adalah laki-laki, anak tertua pula. Berpura-puralah aku kuat dan tegar. Dalam hati seperti ditampar dan amat menusuk hingga sembilu.
Tapi, lagi-lagi ibu mengajarkan sayangi adikmu. Itu sudah biasa terdengar dan begitu indah. Saat aku menatap mentari yang menembus dedaunan kering dihadapanku, akupun terbuyar dari lamunan. Kulihat keluarga serakah itu sudah pulang bersama wajah mereka yang suram. Tanah puluhan hektar ini, akan dibangun sekolah dan mesjid sesuai amanah ayah. Aku akan meneruskannya.
Damay Ar-Rahman atau Damayanti alumni Universitas Malikussaleh dan IAIN Lhokseumawe merupakan pengajar dan sebagai penulis lepas. Penulis telah menerbitkan sembilan buah buku diantaranya Aksara Kerinduan (2017), Serpihan Kata (2018), Senandung Kata (2018), Bulan di Mata Airin (2018), Dalam Melodi Rindu (2018), Akhir Antara Kisah Aku dan Kamu (2020), Di Bawah Naungan Senja (2022), dan Musafir (2022). Tulisannya dimuat oleh surat kabar Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka, Jawa Pos Radar Lawu, Riau Pos, Sinar Indonesia Baru, Riau Sastra, Literasikalbar.com, Utusan Borneo dan E-Jurnal Doea Jiwa. Beberapa kali mengisi kelas menulis dan menjadi pelatih sastra. Saat ini penulis menetap di Lhokseumawe, Aceh. Ig/Fb @damay_ar-rahman