Oleh: Inggar Saputra*
Seringkali dengan status ideologi dan dasar negara, Pancasila dianggap sakral dan sakti. Tetapi kesaktian Pancasila sekarang menghadapi tantangan yang sulit sebab dimaknai sempit. Maksud sempit, kesaktian dan kesakralan Pancasila diajarkan hanya bercerita dan menghafal terhadap kondisi masa lalu. Padahal zaman berubah, masa lalu layak diajarkan dan disambungkan dengan kondisi sekarang dan bagaimana menjadi jembatan emas menuju masa depan.
Akibat dari belajar Pancasila yang menghafal, bercerita dan ceramah satu arah. Tak heran, perkuliahan Pancasila di kampus dinilai membosankan. Mahasiswa dipaksa menghafal sejarah, membayang dalam angan. Tapi gagal menemukan realitas sejarah kekinian yang dapat dirasakan di lapangan.
Teknik menghafal sejarah dan cerita Pancasila bagi mahasiswa jelas membosankan. Dengan ceramah satu arah, tak ubahnya Pancasila diajarkan dengan doktrin belaka. Tak heran, mahasiswa seringkali kebingungan kemudian bertanya buat apa belajar Pancasila? Ketika ditelisik lebih dalam, bukan salah Pancasilanya, tapi model pembelajarannya yang tak mengikuti perkembangan zaman.
- Iklan -
Kebingungan mahasiswa merupakan sebuah kewajaran. Belakangan ini mata kuliah Pancasila sudah bagus dianggap sebuah kewajiban di perguruan tinggi. Tetapi masalahnya kemudian ada tiga, yaitu model pembelajaran yang monoton, dosen mengajarkan secara statis dan ketersambungan Pancasila dengan keilmuan lainnya. Jika semakin dipaksakan alih-alih memahami Pancasila, justru mahasiswa akan semakin pudar keinginan belajar Pancasila.
Pikiran Lama Di Dunia Baru
Dunia semakin berubah, teknologi masuk mendisrupsi segala dimensi dalam kehidupan kita. Jika dulu Pancasila diajarkan melalui doktrinasi oleh Orde Baru, kita melihat hasilnya sekarang. Nilai Pancasila sebatas menghafal, tapi minim praktek keteladanan di dunia nyata. Pola mengajar ceramah selalu jadi pilihan utama, seolah lupa pikiran lama gagal menemukan relevansi di era baru, dunia baru dan generasi baru.
Dampak nyata perubahan zaman akibat masuknya teknologi, dosen dituntut mampu menyesuaikan dua hal, memahami teknologi dan beradaptasi dengan perilaku kebaruan mahasiswa. Jika dulu mengajarkan mahasiswa dengan ceramah dan doktrin berlaku. Sekarang kondisi belajar seperti itu sulit diterima dan masuk dalam pemahaman mahasiswa. Apalagi jika melihat pola perilaku mahasiswa yang masuk kategori generasi milenial yang cenderung malas membaca.
Ini artinya, pemanfaatan teknologi harus dimaksimalkan dalam mengajarkan Pancasila. Tak bisa lagi dosen datang, berceramah di depan kelas, memberikan tugas, lalu di akhir semester memberikan soal ujian. Tak kalah repot soal ujian yang diberikan full teori, tak ada analisis kasus apalagi praktek nyata dari Pancasila itu sendiri. Jadilah berjuta kemalasan menghampiri mahasiswa diakhir pertanyaan memilukan, buat apa belajar Pancasila?
Suka atau tidak suka, kemampuan beradaptasi dengan mahasiswa generasi milenial menuntut perhatian lebih dosen pengajar Pancasila. Generasi milenial identik dengan tiga ciri yaitu kreatif, konektivitas dan kepercayaan diri. Mereka hidup dimanjakan teknologi, sehingga jadi pribadi yang digital native. Semua informasi termasuk belajar Pancasila diperoleh dari internet. Sekali klik, berjuta informasi diserap secara utuh kadang tanpa diseleksi lagi. Repotnya dari fenomena ini, tradisi membaca buku tak lagi jadi pilihan utama.
Pertanyaan menohok lain dari mahasiswa terkait mata kuliah Pancasila, apa keterkaitan Pancasila dengan keilmuan program studi mereka. Ini sebuah pertanyaan gugatan yang perlu dijawab dengan pikiran terbuka. Bagaimanapun, belajar Pancasila pastinya terkait dengan komunikasi, akuntansi, manajemen, biologi dan fisika. Sebab yang diajarkan Pancasila adalah nilai dan kepribadian yang pastinya melekat dalam kepribadian manusia Indonesia. Ketika seorang sarjana komunikasi misalnya belajar Pancasila, keilmuannya akan tetapi lestari jika mau menggunakan prinsip dalam Pancasila dan digerakkan nilai universal yang terkandung pada Pancasila.
Merespons cara belajar milenial yang teknologi minded dan tiga ciri khasnya, tentu dibutuhkan ketersambungan yang tepat. Kreativitas mereka harus disalurkan dengan pemberian tugas membuat video dan infografis seputar materi Pancasila. Nantinya hasil karya kreatif ditayangkan di media sosial seperti short video di youtube atau reels di instagram. Mereka harus percaya diri, maka berikan tantangan dengan siapa yang memiliki like, komen dan share terbanyak mendapatkan nilai A atau diberikan hadiah dari dosen.
Pola ujian tengah dan akhir semester juga harus mulai berubah. Teori dan pemahaman atas sejarah, nilai dan butir Pancasila tetap diberikan kepada mahasiswa. Tetapi diberikan stimulus, misalnya kaitkan ajaran Pancasila dengan tokoh teladan dalam kehidupan anda sehari-hari. Dapat juga diberikan challenge kepada mahasiswa untuk mewawancarai tokoh agama dan tokoh masyarakat di lingkungan sekitarnya. Pertanyaan yang diberikan seputar isu toleransi beragama, nilai-nilai kemanusiaan, persatuan bangsa di tahun politik, keteladanan tokoh nasional dalam berdemokrasi dan bagaimana membentuk masyarakat yang berkeadilan sosial.
Dalam riset tahun 2018, Alvara Research Center merilis tiga besar favorit generasi milenial yaitu film, olahraga dan musik. Hal ini sebenarnya bisa menjadi pintu masuk memasyarakatkan Pancasila kepada mahasiswa khususnya generasi milenial. Dorongan membuat film pendek, menggagas praktek baik Pancasila dalam pertandingan olahraga antar mahasiswa dan konser musik dengan lagu bermuatan nasionalisme dapat jadi pilihan. Ini sekaligus memecah kebuntuan milenial yang haus akan keteladanan terhadap praktek baik Pancasila.
Memviralkan Pentingnya Pancasila
Teknologi dengan segala dampak baik dan buruknya menjadi tantangan besar mengajarkan Pancasila kepada mahasiswa. Kita menghadapi situasi sangat mudah nilai negatif dan buruk diviralkan. Padahal ada berjuta kebaikan di masyarakat yang sesuai dengan spirit Pancasila. Di sinilah tugas besar para dosen selaku pendidik mendorong mahasiswa mengangkat fenomena sosial bercita rasa kebaikan di masyarakat. Tak sebatas bercerita permasalahan sosial, tapi harus ditumbuhkan kesadaran bersama bagaimana Pancasila mampu menjadi solusi utama dalam menyelesaikan masalah tersebut dengan nilai universalnya.
Konteks memviralkan, kita semua pasti memiliki media sosial termasuk kalangan mahasiswa sebagai penikmat utama media sosial. Melalui medium pembelajaran Pancasila, video, infografis dan karya kreatif lainnya yang mengangkat problematika sosial dapat diviralkan. Ini penting sebagai bentuk penyebaran informasi kebaikan dan literasi digital dunia kampus kepada masyarakat luas. Lebih jauh diharapkan gerakan viral kebaikan Pancasila mampu mengatasi kebisingan dan informasi sampah yang bertebaran di media sosial.
Sekali lagi, tak ada yang salah dari Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara yang diwariskan pendiri bangsa Indonesia. Ketika ada gugatan terhadap mengapa belajar Pancasila, murni ini proses adaptasi saja dari pendidik agar mampu memahami kebutuhan generasi muda yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Dengan bantuan teknologi, kita mulai gerakan memviralkan Pancasila sehingga nilai kebaikannya dapat dibaca, dilihat, dinikmati dan diamalkan masyarakat Indonesia.
*) Penulis adalah pengajar Pancasila di Universitas Dian Nusantara, Jakarta. Aktif sebagai peneliti dan penggiat literasi di Perkumpulan Rumah Produktif Indonesia.