*) Oleh: Tjahjono Widarmanto
Tidak setiap kemajuan yang acap kali kita sebut sebagai pembangunan (isme) memunculkan peradaban yang lebih mulia di bandingkan sebelumnya. Bahkan tak jarang pembangunan (isme) dengan berbagai dalih mengabaikan dimensi kemanusiaan. Padahal aspek kemanusiaanlah yang menunjukkan eksistensi, esensi dan karakter bagi sebuah kebudayaan.
Pembanguan (isme) yang menihilkan kemanusiaan hanya akan berfokus pada pencapaian bentuk-bentuk infrastruktur tanpa memberdayakan dan membentuk ‘manusianya’. Pembangunan (isme) jenis ini akan bertumpu pada target-target infrastrukstur yang mengacu pada bangunan-bangunan fisik. Kecenderungan dari pembangunan (isme) semacam ini akan melahirkan risiko-risiko melahirkan alenasi dan pemarjinalan manusia itu sendiri. Pembangunan (isme) serampangan semacam ini hanya melahirkan krisis manusia dan kemanusiaan. Ambisi pembanguanan (isme) semacam ini hanya sampai pada permukaan dan tak bakal menghasilkan peradaban yang lebih cemerlang.
Peradaban berasal dari etimologi kata adab yang bermakna kesantunan, budi pekerti, sikap luhur, karakter yang mulia, dan berahlak; pencapaian kebudayaan tertinggi manusia dalam berbagai ranah dimensi seperti seni, arsitektur, ilmu pengetahuan, teknologi yang berguna untuk mengembangkan kehidupan dn eksistensi manusia.. Kata dasar adab ini berkembang menjadi istilah peradaban.
- Iklan -
Dalam KBBI, istilah peradaban dimaknai sebagai kemajuan lahir dan batin yang meliputi kecerdasan dan kebudayaan dengan objek sebuah bangsa. Peradaban memiliki dimesi lahir dan batin. Peradaban tidak hanya pencapaian pada bentuk-bentuk bangunan fisik, tetapi juga pencapaian nilai-nilai, kesantunan, etika, solidaritas, spiritual, dan seluruh aspek kebudayaan manusia. Kemajuan negara atau suatu bangsa ditentukan oleh peradaban bukan zaman.
Ibnu Khaldun, seorang cendikiawan Islam yang kali pertama menyoal peradaban. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa peradaban merupakan puncak-puncak keahlian dalam berbagai bidang kelapangan dunia, memperbarui kondisi, serta memunculkan ciptaan-ciptaan yng mengagumkan dari berbagai keahlian yang memiliki dampak bagi kehidupan dan jiwa manusia. Menegaskan pendapat Ibnu Khaldun tersebut, Arnold Toynbee menggarisbawahi bahwa peradaban adalah pencapaian kebudayaan yang telah mencapai taraf tertinggi dalam berbagai aspek budaya, baik fisik maupun nonfisik. Hungtinton dengan lebih luas menyebutkan peradaban sebagai pencapaian identitas terluas dari budaya yang bisa teridentifikasi melalui unsure-unsur objektif umum (seperti bahasa, sejarah, arsitektur, kebiasaan, institusi, teknologi, pengetahuan, religi, dan lain-lain) dan unsur-unsur subjektivitas manusia seperti identifikasi diri dan berbagai pencapaian aktualisasi manusia.
Literasi Sebagai Basis Pembangunan yang Berperadaban
Pembangunan yang berperadaban pada hakikatnya adalah meraih kemajuan dengan tidak semata pada ambisi berorientasi pada bentuk-bentuk infrastruktur, tetapi mengarah pada pemberdayaan ‘manusia’ sebagai subjek sekaligus objek perubahan. Pemberdayaan manusia ini artinya peningkatan kualitas manusia secara fisik dan batin yang pada gilirannya akan menghasilkan produk-produk kebudayaan untuk menjadi pilar peradabannya.
Tinggi rendahnya pencapaian kebudayaan sebuah bangsa dapat diukur antara lain dengan parameter tingkat literasinya. Akses dan kecenderungan masyarakat pada kebiasaan berliterasi dapat menjadi indicator apakah suatu bangsa akan mampu membangun peradabannnya atau tidak.
John Miller dan Michael C McKenna dalam bukunya Word Literacy: How Cauntries Rank and Why It Matters (2016) memetakan pemeringkatan tingkat literasi bangsa-bangsa yang menunjukkan posisi Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara (nomor dua dari bawah) jauh di bawah Malaysia atau Thailan. Riset Miller tersebut berbanding lurus dengan data UNESCO yang mendskripsikan ratio pertautan buku dan manusia Indonesia adalah 1 orang berbanding 1000 penduduk. Data tersebut berarti menunjukkan rendahnya kualitas manusia.
Litarasi di Indonesia itu sendiri acapkali dimaknai secara keliru hanya sebagai “melek huruf semata”, hanya sebagai kemampuan membaca dan menulis untuk keperluan sehari-hari, belum sampai pada tingkatan kemampuan memahami buku secara luas. Pengadaan infrastruktur fisik pun tidak berpihak pada literasi, banyak membangun jalan-jalan raya tetapi tidak mengatur regulasi penerbitan buku yang berkualitas, sarana perpustakaan yang memadai di tiap kabupaten, pengadaan buku di sekolah yang terlalu miskin disbanding anggaran pengadaan fasilitas fisik, dan tak adanya strategis yang tajam dan mumpuni dalam membangun tingkat literasi masyarakat.
Arah pembangunan (isme) memang seharusnya berbasis litersi sehingga mampu mendongkrak daya cendikia, daya intelektualitas masyarakat dalam berbagai jenjang usia. Jikalau basis literasi menguat maka insane-insan Indonesia akan memiliki pola nalar yang kokoh, rasional, kritis, inovatif, sekaligus kreatif. Dengan keberadaan insane-insan Indonesia semacam itu maka akan terbuka lebar peluang untuk membangun peradaban yang unggul.
Ekosistem Literasi
Menciptakan basis literasi berarti secara simultan dan menyeluruh membangun ekosistem literasi. Ekosistem merupakan sebuah system yang terdiri dari berbagai unsure yang saling berpaut. Pun demikian demikian ekosistem literasi, terdiri dari berbagai unsure dan komponen yang saling berkait dan berpaut.
Pembangunan yang berbasis literasi haruslah berorientasi membangun ekosistem literasi secara komprehensif dan menyeluruh. Selama ini harus diakui pembangunan Indonesia abai dalam membuat ekosistem literasi yang mumpuni. Bahkan boleh dikatakan Indonesia tidak mempunyai strategi pengembangan ekosistem literasi untuk menyiapkan basis literasi sebagai dasar pembangunannya.
Kelangkaan atas buku-buku berkualitas menunjukkan ketidakpedulian negara terhadap produksi buku sebagai pemasok utama tradisi literasi tidak pernah diatur dalam sebuah regulasi yang mapan. Regulasi yang seharusnya mengembangkan secara optimal keberadaan penulis, penerbit, bahan baku, hak cipta, dan distribusinya.
Strategi memcipta kultur literasi juga tidak pernah secara simultan dengan sungguh-sungguh dilaksanakan. Baru sebatas pada jargon atau aksi yang sekedarnya saja; contohnya gerakan membaca di sekolah setiap 15 menit yang tanpa didukung umpan balik yang nyata sebagai sebuah strategi yang berkelanjutan. Peprustakaan-perpustakaan sekolah yang tak memadai, yang seringkali hanya menjadi alat “proyek” semata.
Fenomena kehadiran teknologi digital dalam industri buku tidak pernah dipikirkan, ditata, dan diregulasikan dengan tepat ternyata hanya menjadikan dampak matinya produk-produk bacaan, bangkrutnya penerbit, dan gulung tikarnya took-toko buku. Tidak adanya antisipasi negara dalam menyikapi teknologi digital yang seharusnya bisa jadi senjata menguatkan kultur literasi, justru sebaliknya menggerus kultur literasi.
Situasi-situasi di atas tampak kurang ditanggapi dengan cepat dan progesif oleh penyelenggara negara, sehingga kekuatan digital belum dijadikan media ampuh untuk membangun ekosistem literasi. Mau tak mau kita harus menebus abai tersebut dengan menyiapkan basis literasi untuk mendasari pembangunan fisik. Jika literasi kita rendah maka bangsa kita akan jadi pecundang dalam konstelasi global!
Referensi
As. Sirjani, Raghib.2011. Sumbangan Peraqdaban Islam pada Dunia. Terjemahan: Sonif, dkk. Jakarta:
Pustaka Al Kaustsar
Kamaluddin, Mohammad. 2021. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar Dalam Bingkai Keislaman. Malang:UMM.
Widarmanto, Tjahjono. 2022. Literasi: Masa Depan Bangsa. Artikel di Majalah LP Ma’arif, Jateng. Oktober.2022
BIODATA PENULIS
TJAHJONO WIDARMANTO
TTL: 18 april 1969 di Ngawi, Jawa Timur. Menulis esai, artikel, cerpen dan puisi. Beberapa kali menerima penghargaan di bidang kesastraan antara lain, Lima Buku Puisi Terbaik versi Hari Puisi Indonesia 2016, Penghargaan Sastrawan Pendidik 2013 dari Pusat Pembinaan Bahasa, Penghargaan Guru Bahasa dan Sastra Berdedikasi 2014 dari Balai Bahasa Jawa Timur, Penghargaan Seniman Budayawan Berprestasi Jawa Timur 2012, Pemenang Sayembara Menulis Buku Pengayaan Buku Teks kategori Fiksi 2004, 2005, 2007, 2010, dan 2013, LCPI Komunitas Saung 2021, Esai-Esai Terbaik di Sastra Media 2022-2023, Penulis Terbaik Majalah Media Pendidikan Jawa Tmiur 2023. Buku-bukunya yang telah terbit Dari Balik Maut Kulirik Cinta (2023), Suluk Pangracutan dari Kampung arwah (2023), Qasidah Langit, Qasidah Bumi (2023), Bersepeda dari Barat ke Utara hingga Tulang Rusukku Tumbuh Bulu (buku puisi, Alang Pustaka:2021), Kitab Ibu dan Kisah-Kisah Hujan (buku puisi, Etankali:2020), Yuk, Nulis Puisi (Diva Press, 2019), Kata dan Bentuk Kata dalam Bahasa Indonesia (2019), Biografi Cinta (buku puisi, CMG:2019), Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (buku puisi, Basabasi:2018), Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak (buku puisi, Satukata:2016), Pengantar Jurnalistik; Panduan Awal Penulis dan Jurnalis (cet.ke-2, Araska Publisher, 2016), Marxisme dan Sumbangannya Terhadap Teori Sastra (Satukata;2014), Sejarah yang Merambat di Tembok-Tembok Sekolah (buku puisi, Satukata:2014), Mata Air di Karang Rindu (buku puisi, Satukata:2013), Masa Depan Sastra; Mozaik Telaah dan Pengajaran Sastra (kumpulan esai sastra, Satukata:2013), Umayi (buku puisi, satukata:2012), Nasionalisme Sastra (bunga rampai esai sastra:2011), Drama; Pengantar dan Penyutradaraannya (Lingkarsastra Tanah Kapur, 2009), Mata Ibu (buku puisi, 2010), Kidung Cinta Buat Tanah Tanah Air (buku puisi 2007), Kitab Kelahiran (buku puisi, Dewan Kesenian Jatim:2003), Kubur Penyair (buku puisi, Diva Press:2002), dan Di Pusat Pusaran Angin (buku puisi, KSRB;1997). Saat ini menjadi guru di SMAN 2 Ngawi.