Menyambut Hari Ibu 22 Desember 2023
*) Oleh: Tjahjono Widarmanto
Prawacana
Ada dua frase kunci yang menjadi pijakan dari tulisan ini. Yaitu ‘reposisi’ dan ‘gerakan perempuan Indonesia’. Istilah reposisi dalam KBBI dimaknai sebagai tiga hal.
Pertama bermakna ‘penempatan ke posisi semula’, Kedua, mengacu pada makna ‘penataan kembali ke posisi yang ada’, dan makna yang ketiga, dimaknai sebagai ‘penempatan ke posisi yang baru’. Ketiga makna yang diberikan oleh KBBI itu mengundang risiko tiga tafsir yang agak berbeda.
Merujuk pengertian “penempatan ke posisi semula”; menegaskan sebuah tafsiran bahwa gerakan perempuan Indonesia pernah memiliki posisi penting, kemudian mengalami pergeseran atau penggusuran sehingga perlu dikembalikan pada posisi semula. Tafsir Kedua, merujuk “penataan kembali ke posisi yang ada”, menyiratkan bahwa gerakan perempuan Indonesia perlu ditata ulang ke posisi yang ada. Itu berarti posisi gerakan perempuan Indonesia memang sudah ada, tetapi perlu ditata kembali. Tafsir ketiga “penempatan ke posisi yang baru”, menegaskan pemaknaan bahwa s gerakan perempuan Indonesia perlu diberi posisi yang baru yang ‘berbeda’ dari posisi terdahulu.
Peringatan Hari Ibu di Indonesia bergayut dengan peringatan Hari Ibu Sedunia (Mother’s Day). Hari Ibu di Indonesia diperingati setiap bulan Desember, tepatnya 22 Desember, sedangkan Hari Ibu Sedunia (Mother’s Day), dirayakan setiap bulan Mei. Tentu saja, walau memiliki gayutan yang sama, keduanya memiliki perbedaan secara kontekstual dan kesejarahan.
Secara historis atau kesejarahan Mother’s Day berakar pada gerakan emansipasi perempuan yang lahir di Amerika dan didengungkan pertam kali di tahun 1872 oleh Julia Ward Howe, seorang penulis dan pejuang hak-hak perempuan. Di Perancis, peringatan Hari Ibu dikenal sebagai Fete de Meres yang bermula dari sejarah kesetaraan perempuan.
Di Indonesia, Hari Ibu sebenarnya tidak hanya terbatas pada keluarga, tetapi juga memandang kontribusi perempuan pada masyarakat luas. Perempuan dan kaum Ibu, sesungguhnya adalah pelopor perubahan positif dalam segala lini. Perempuan merupakan agen perubahan yang strategis karena tidak hanya jumlahnya yang besar, tetapi juga posisinya sebagai ibu menjadikannya sumber pertama bagi penanaman sikap dan nilai pada individu-individu.
Perjalanan Historis
Sejarah Hari Ibu di Indonesia atau Hari Ibu Nasional diperingati setiap tanggal 22 Desember, karena untuk menandai peristiwa sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia pada 22-25 Desember 1928 yaitu saat diselenggarakan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta.
Kongres Perempuan Indonesia I ini sebenarnya merupakan reaksi langsung dari diikrarkannya Sumpah Pemuda. Api semangat menuju persatuan dan kesatuan bangsa berkobar dan menjalar kemana-mana, termasuk membakar jiwa para perempuan Indonesia. Maka, sejak tanggal 22-25 Desember 1928diselenggarakanlah Kongres Perempuan Indonesia. Hujan deras dan musim basah saat itu tak mampu menyiram api perjuangan yang menyala-nyala di dada para perempuan di pendapa Jayadipuran, sekarang dipakai sebagai kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya jalan Brigjen Katomso 139.
Dalam Kongres Perempuan Indonesia I tersebut hadir wakil-wakil perempuan dari berbagai organisasi perempuan. Organisasi-organisasi perempuan itu adalah Wanita Oetama, Aisjiah, Poetri Boedhi Sedjati, Wanita Sedjati, Wanita Taman Siswa, Roekoen Wanita, Wanita Moelia, Poetri Indonesia, Dharma laksi, Buderini, Boedhi Wanita, Wanita katolik, Hoofbesturr Aisiyah, Nadhatul Fataat, dan lain-lain. Dibentangkan pula lima belas makalah dari lima belas pembicara. Tema-tema makalah berkisar tentang peran wanita dalam perjuangan kebangsaan, cita-cita perempuan, keputrian, perkawinan, masa depan perempuan, dan sebagainya.
Semangat kebangsaan para perempuan Indonesia saat itu tergambar jelas pada ucapan Raden Ayu Siti Soendari, salah seorang pemimpin pergerakan perempuan Indonesia: “Boekankah kerapatan kita kerapatan Indonesia dan dioentoekkan bagi seloeroeh kaoem istri
dan poetri Indonesia, beserta tanah toempah darah dan bangsanja?”
Jelas sekali dalam pidato itu ditegaskan bahwa kongres perempuan Indonesia I itu merupakan partisipasi aktif para perempuan, putri dan ibu di Indonesia dealam gerakan kebangsaan Indonesia. Dalam pidato tersebut tampak sekali bahwa kongres perempuan tersebut merupakan sumbangsih seluruh kaum perempuan, istri dan putri Indonesia untuk tumpah darah dan bangsanya.
Yang menarik, Kongres perempuan Indonesia I itulah yang pertama kali merespons positif Sumpah Pemuda, 10 Oktober 1928. Pada kongres perempuan itulah pertama kali digunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar kongres. Peristiwa itu dicatat oleh Dr Keith Fuolcher sebagai ,”Perubahan dahsyat hanya dalam jangka dua bulan setelah Sumpah Pemuda!”.
Dalam Verslag van het Congres Perempoean Indonesia gehoeden te Jogjakarta Van 22 tot 25 desember 1928, laporan resmi yang dibuat untuk pemerintah kolonial Belanda, disebutkan penggunanan bahasa Indonesia sebagai bahasa yang idealistis. Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar yang digunakan dalam Kongres perempuan Indonesia I itu menjadi pendanda penting bagi komitmen penggunaan Bahasa Indonesia yang waktu itu masih dalam usia bayi dan belum dikenal luas.
Yang mengawali adalah Raden Ayu Siti Sundari yang mewakili Poetri Indonesia. Dengan menanggalkan bahasa daerahnya, dengan menanggalkan status priyayinya sebagai putri bangsawan Jawa yang harus memakai bahasa Jawa, dan menanggalkan pula bahasa intelektualnya, cas cis cus bahasa Belanda, Ia membentangkan makalahnya dalam bahasa Indonesia berjudul :”Kewadjiban dan Tjita-tjita Poetri Indonesia”.
Majalah Tempo dalam penelusurannya di November 2008 menuliskan bahwa Ayu Siti Sundari yang dikenal sebagai orotor ulung, dengan anggun dan membuat terkesima para hadirin peserta kongres. Beliau mengawalinya bentangan pidatonya dengan anggun dan penuh pesona: “Sebeloem kami memoelai membitjarakan ini, potoetlah rasanja kalao kami terangkan lebih dahoeloe, mengapa kami tidak memakai bahasa Belanda ataoe bahasa Djawa. Boekan sekali-kali karena kami hendak merendahkan bahasa ini ataoe mengoerangkan nilaija. Sama sekali tidak..!”
Setelah sejenak berhenti, Raden Ayu Siti Sundari melanjutkan, “ Akan tetapi barang siapa diantara toean jang mengoendjoengi kerapatan pemoeda di kota djakarto beberapa boelan jang laloe, tentoenja masih mengingat hasilnja, jaitoe hendak berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia, hendak bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia, dan hendak mendjoenjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Oleh karena jang tersoeboet itoelah maka kami, sebagai poetri Indonesia jang lahir di Djawa jang indah ini, berani memakai bahasa Indonesia di moeka rakjat ini. Boekankah kerapatan kita kerapatan Indonesia dan dioentoekkan bagi seloeroeh kaoem isteri dan poetri Indonesia, beserta tanah toempah darah dan bangsanja?…”
Hadirin terpesona, aplaus membahana dan semangat kebangsaan menyala berkobar-kobar. Kongres Perempuan Indonesia I ini pun menghasilkan beberapa keputusan penting dan strategis untuk menyokong pergerakkan kebangsaan. Keputusan tersebut adalah (1) mendirikan badan federasi bersama untuk mewadahi semua pergerakan dan perkumpulan perempuan yaitu Perserikatan Perkumpulan perempuan Indonesia (PPPI), (22) menerbitkan surat kabar sebagai corong pergerakan perempuan Indonesia yang keredaksiaannya dipercayakan pada Nyi Hadjar Dewantara, Hajinah, Ismudiyati, Badiah dan Sunaryati, (3) mendirikan studyfonds yang menolong gadis-gadis yang tak mampu untuk belajar, (4) memperkokoh kepanduan puteri, (5) mencegah perkawinan anak, (6) menuntut pemerintah kolonial untuk mendirikan fonding bagi janda dan anak, tunjangan pensiun, dan memperbanyak sekolah puteri, (7) agar talak diikutkan secara tertulis dengan peraturan agama.
Dalam perkembangan berikutnya Perserikatan Perkumpulan perempuan Indonesia (PPPI), yang menjadi wadah seluruh perkumpulan perempuan Indonesia berperan penting dalam pergerakkan kebangsaan. Salah satu peran strategisnya adalah memunculkan sebuah konsesus dan rekomendasi politik bahwa “perempuan Indonesia berkewajiban berusaha supaya generasi baru sadar akan kewajiban berbangsa.” Menindaklanjuti konsesus dan rekomondasi politik ini mereka menyelenggarakan berbagai sekolah, rapat-rapat politik dan kelak dalam revolusi bersenjata mendirikan dapur-dapur umum dan palang merah yang menyokong perlawanan gerilya. Kelak, rekomendasi politik ini akan mengkristal pada tahun 1946 yang menyokong sepenuhnya aksi Gabungan Politik Indonesia yang mengajukan tuntutan Indonesia berparlemen untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Soekarno sebagai fouding fathers, negarawan dan seorang intelektual tak hanya berbicara tentang narasi-narasi besar tentang negara, politik, ideologi dan kebangsaan belaka, namun juga mengemukakan pemikiran-pemikirannya tentang peran, posisi dan kedudukan perempuan. Paradigma dan pemikiran Soekarno tentang perempuan bisa dilacak dalam bukunya Sarinah yang terbit kali pertama pada tahun 1947. Sayang sekali, buku mengenai gerakan perempuan ini jarang sekali dikaji secara mendalam dan komprehensif, baik sebagai sebuah tori pergerakan maupun sebagai tindakan politik. Apalagi, selama ini acapkali yang diperbincangkan dan digembar-gemborkan hanyalah perilaku Soekarno yang poligamis daripada ide-ide majunya mengenai persoalan perempuan, sehingga pemikiran-pemikran Soekarno terlipat dan terkubur dalam kotak pandora.
Gagasan Soekarno tentang perempuan yang dituangkannya dalam Sarinah bukan pemikiran yang tiba-tiba muncul begitu saja, namun merupakan proses berpikir dalam kurun waktu lama. Gagasan perempuan dalam Sarinah mempunyai runutan berpikir dengan artikel Soekarno yang ditulisnya di tahun 1928 mengenai keadaan perempuan di Hindia Belanda yang terbelakang berikut gagasannya mengenai perjuangan perempuan sebelum dan sesudah kemerdekaan.
Sarinah merupakan sebuah buku yang mengandung pemikiran yang visioner di zamannya. Setidaknya ada tiga tesis pemikiran Soekarno tentang permpuan. Tesis pertama, tentang posisi perempuan sebagai ibu, sebagai bagian dari keluarga sekaligus perannya dalam masyarakat. Tesis kedua, perwujudan kemerdekaan nasional tak mungkin dicapai tanpa adanya keterlibatan perempuan di dalamnya. Adapun tesis ketiga bahwa dalam penyusunan negara dan masyarakat mustahil tak menyertakan keterlibatan kaum perempuan. Pemikiran-pemikiran ini di zaman itu merupakan sebuah pemikiran yang visioner karena dalam realitanya problem persoalan wanita belum pernah dipelajari secara mendalam oleh pergerakan nasional.
Pemikiran-pemikiran Soekarno yang dituangkan dalam Sarinah ini boleh dkatakan sebagai sebuah pandangan yang visioner sekaligus ironi karena terbit kali pertama di tahun 1947. Visioner karena saat itu hanya 10 porsen dari 70 juta penduduk Idonesia yang baru melek aksara. Dari sepuluh porsen itu kaum perempuan yang melek aksara hanya 1% saja, bahkan kurang sehingga nyaris tidak menjangkau sasaaran yang dituju Soekarno. Oleh karena itu boleh dikatakan bahwa pandangan-pandangan dalam Sarinah adalah pandangan-pandangan yang diperuntukkan untuk masa depan, itu berarti visioner.
Dalam Sarinah, Soekarno menunjukkan posisi seharusnya para perempuan Indonesia dalam keluarga dan kancah sosial. Soekarno berpendirian bahwa perempuan Indonesia harus maju dan pintar sehingga berdiri sejajar dengan kaum lelaki tanpa melesat dari kodrat mereka sebagai perempuan dan ibu. Hal ini dikemukakan dengan bahasa yang amat puitis : “…poelang dari pekerjaan masjarakat beloem letih, masih segar badan! Langit tampak tjemerlang, boenga-boenga tampak indah. Ia dapat berkasih-kasihan dengan soeami dan anak-anaknja, memoetar radio dengan mereka, pergi ke gambar hidoep dengan mereka. Ia dapat mendidik anak-anaknja dengan penuh kebebasan, membahagiakan mereka, menjoesoen karangan boenga bersama mereka disaksikan soeaminja. Ia dapat minoem dari mata air tjinta dan keiboean bebas dan loeloesa. Kodrat, kodratnja istri dan kodrat iboe, berkembang lagi seharoem-haroemnja…ah, keadaan bahagia…”(Sarinah).
Bagi Soekarno perwujudan kemerdekaan nasional tak mungkin dicapai tanpa adanya keterlibatan perempuan di dalamnya. Dengan gambalang diutarakannya; . ..”Sebab kita tidak bisa menjusun negara dan tidak dapat menjusun masjarakat djika (antara lain-lain soal) kita tidak mengerti soal-wanita….” (Sarinah).
Walau diungkapkan dalam ekspresi bombastis dan propagandais, Soekarno menyusun sebuah teori tentang gerakan perempuan melalui pendekatan sejarah dan pemikiran tentang revolusi yang tumbuh di Eropa sebagai antitesis terhadap penindasan kapitalisme, teokrasi dan borjuisme. Dengan berjejak pada teori Lewis, H., Morgan, dan Bachofen, Soekarno memahami evolusi keterbelakangan perempuan bukan karena kodrat alam melaikan terbentuk dalam sejarah perkembangan cara masyarakat mengkonstruksnya.
Perlunya Reposisi Gerakan Prempuan Indonesia
Sejarah berputar, namun berbeda dengan Kongres Pemuda dengan ikrar Sumpah Pemuda yang selalu dirayakan dengan gegap gempita, Kongres perempuan Indonesia cenderung dilupakan. Nyaris tidak diperbincangkan, bahkan pergerakan perempuan Indonesia terkesan dikerdilkan sejak rezim orde baru dalam wadah ‘dharwa wanita’ yang menunjukkan bahwa perempuan atau wanita merupakan subordinasi dari laki-laki yang harus berdarma untuk kepentingan suami. Sampai saat ini nyaris tidak ada konstruksi baru bagi pergerakan perempuan Indonesia.
Saat ini tak banyak yang tahu bahwa sebenarnya peringatan Hari Ibu merupakan sebuah episode penting bagi perkembangan pergerakan perjuangan Indonesia. Selama ini peringatan Hari Ibu didangkalkan hanya sebagai sekedar sebuah peringatan untuk menghargai peran wanita dalam lingkup domestiknya, hanya sebagai seorang istri dan ibu dalam kehidupan berumah tangga. Sehingga tidak heran bentuk peringatan Hari Ibu hanya menyentuh hal-hal yang tidak esensial misalnya, pemberian kado istimewa, bunga, aneka lomba untuk para ibu, aneka lomba pekerjaan wanita (dikotomi pekerjaan ini pun sangat gegar gender!) untuk para bapak, sampai pembebasan para ibu dari beban kegiatan dosmetiknya setiap hari.
Reposisi gerakan perempuan Indonesia harus dilakukan. Tanpa adanya reposisi gerakan perempuan, maka peran perempuan dalam konteks kebangsaan akan semakin kabur. Bahkan akan menjadi alat komoditas dari elite politik yang dengan genit “menjual” sosok perempuan untuk sekedar mengisi kuota di legislative saja. Hanya satu kata: Reposisi gerakan Perempuan Indonesia!
- Iklan -
BIODATA PENULIS
TJAHJONO WIDARMANTO
TTL: 18 april 1969 di Ngawi, Jawa Timur. Menulis esai, artikel, cerpen dan puisi. Beberapa kali menerima penghargaan di bidang kesastraan antara lain, Lima Buku Puisi Terbaik versi Hari Puisi Indonesia 2016, Penghargaan Sastrawan Pendidik 2013 dari Pusat Pembinaan Bahasa, Penghargaan Guru Bahasa dan Sastra Berdedikasi 2014 dari Balai Bahasa Jawa Timur, Penghargaan Seniman Budayawan Berprestasi Jawa Timur 2012, Pemenang Sayembara Menulis Buku Pengayaan Buku Teks kategori Fiksi 2004, 2005, 2007, 2010, dan 2013, dan LCPI Komunitas Saung 2021.
Karyanya dimuat di Horison, Basis, Jurnal Puisi, Republika, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Koran Tempo, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Lampung Pos, Media Indonesia, Solo Pos, Lampung Pos, jurnal Faktual, SastraMedia, Lensa Sastra, Ceritanet, Asyik2.dotcom, Majalah LP. Maarif Jateng, Maghrib id, Majalah Karas Balai Bahasa Jateng, Tajek Balai Bahasa Bali, Majalah Kandaga Balai bahasa Jawa Barat, Majalah Kantor Balai Bahasa Sultra. Beberapa puisinya bersama penyair Indonesia lainnya sudah diterjemahkan dalam bahasa Jerman dan Inggris. Pun menulis dalam bahasa Jawa di Panjebar Semangat, Jaya Baya, Jaka Lodang.
Buku-bukunya yang telah terbit Suluk Pangracutan dari Kampung arwah (2023), Qasidah Langit, Qasidah Bumi (2023), Bersepeda dari Barat ke Utara hingga Tulang Rusukku Tumbuh Bulu (buku puisi, Alang Pustaka:2021), Kitab Ibu dan Kisah-Kisah Hujan (buku puisi, Etankali:2020), Yuk, Nulis Puisi (Diva Press, 2019), Kata dan Bentuk Kata dalam Bahasa Indonesia (2019), Biografi Cinta (buku puisi, CMG:2019), Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (buku puisi, Basabasi:2018), Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak (buku puisi, Satukata:2016), Pengantar Jurnalistik; Panduan Awal Penulis dan Jurnalis (cet.ke-2, Araska Publisher, 2016), Marxisme dan Sumbangannya Terhadap Teori Sastra (Satukata;2014), Sejarah yang Merambat di Tembok-Tembok Sekolah (buku puisi, Satukata:2014), Mata Air di Karang Rindu (buku puisi, Satukata:2013), Masa Depan Sastra; Mozaik Telaah dan Pengajaran Sastra (kumpulan esai sastra, Satukata:2013), Umayi (buku puisi, satukata:2012), Nasionalisme Sastra (bunga rampai esai sastra:2011), Drama; Pengantar dan Penyutradaraannya (Lingkarsastra Tanah Kapur, 2009), Mata Ibu (buku puisi, 2010), Kidung Cinta Buat Tanah Tanah Air (buku puisi 2007), Kitab Kelahiran (buku puisi, Dewan Kesenian Jatim:2003), Kubur Penyair (buku puisi, Diva Press:2002), dan Di Pusat Pusaran Angin (buku puisi, KSRB;1997).
Diundang dan mengikuti “Cakrawala Sastra Indonesia” (2004), “Pertemuan Sastrawan Asia Tenggara” di Kedah, Malaysia (2007), “Pertemuan Guru Bahasa Melayu-Indonesia”, di Bandar Sri bengawan Brunai Darussalam (2008), “Jakarta International Lirary Festival” (JILFEST) I 2006, “Poet Gathering International” Jambi 2015, “Temu Penyair Nasional” di Palembang 2017, “Temu Penyair Jawa Sumatera Bali” di Lampung 1997, “Festival Mei” di Tasikmalaya 1997, ‘Temu Sastrawan MPU” III, IV, VI, “Festival Seni Surabaya”, “Festival Cak Durasim”, “Borobudur Writer and Cultural Festinal” (BWCF) I, II, III, IV, V(2014-2020), “Kongres Bahasa Jawa”, “Kongres Budaya Jawa” II, III (2018, 2022).