Oleh Faiq Aminuddin
Uang, sebagai alat tukar, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Seiring berjalannya waktu, peran uang semakin berkembang, mengubah cara kita bertransaksi, berinvestasi, dan bahkan berinteraksi satu sama lain. Namun, sejauh mana kita memahami dan mengendalikan peran uang dalam hidup kita? Adakah kita telah merdeka dari penjajahan uang yang terkadang membuat kita pusing dan gelisah?
30 Oktober ditetap sebagai Hari Uang Nasional atau Hari Keuangan Nasional sejak 77 tahun yang lalu. Pada tahun 1946 pemerintah Republik Indonesia mulai menerbitkan Oeang Republik Indonesia (ORI) dan menyatakan bahwa uang NICA sudah tidak berlaku di wilayah Indonesia. Lahirnya uang milik Indonesia ini juga merupakan salah satu tanda kemandirian, kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia di mata dunia. Hari Uang Nasional merupakan hari yang tepat untuk merenungkan bagaimana kita memahami peran uang dalam hidup kita.
- Iklan -
Mengapa Gelisah Saat Dompet Menipis?
Lahirnya uang telah mengubah sistem barter yang memiliki banyak kelemahan dan salah satu faktor penting dalam perdagangan, dan perkembangan perekonomian. Dalam masyarakat modern, uang adalah alat pertukaran yang sangat penting. Ini mempermudah transaksi dan perdagangan, memungkinkan kita untuk mendapatkan barang dan jasa dengan lebih efisien daripada sistem barter yang rumit. Uang adalah medium yang memfasilitasi pertukaran, memungkinkan kita untuk mengakses apa yang kita butuhkan dan memberikan apa yang kita miliki. Oleh karena itu, peran uang dalam memperlancar aktivitas ekonomi tak terbantahkan.
Namun, penting untuk kita mengingat bahwa uang hanyalah alat, bukan tujuan akhir dalam hidup kita. Saat kita menggunakan uang dengan bijak, kita dapat mencapai tujuan hidup yang lebih besar daripada sekadar mengejar kekayaan materi. Uang memang salah satu alat kita untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makan-minum, pakaian dan tempat tinggal. Akan tetapi uang bukanlah satu-satu alat. Uang bukanlah tujuan akhir dalam hidup kita.
Ironisnya, meskipun uang dirancang untuk mempermudah hidup kita, uang juga bisa menjadi sumber kegelisahan dan stres. Banyak orang merasa tertekan ketika persediaan uang mereka menipis atau habis. Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup, seseorang dapat terperangkap dalam kecanduan pada uang dan materi. Ini adalah contoh bagaimana uang, yang seharusnya menjadi alat, bisa menjajah hati manusia. Apalagi kalau pikiran kita sulit membedakan mana yang mkerupakan kebutuhan dan mana yang sekedar keinginan.
Mungkin kita pernah merasa cemas saat persediaan uang menipis atau habis padahal sebenarnya kebutuhan pokok kita sudah terpenuhi. Kita kadang terlalu khawatir dan berpikir besok bagaimana kalau sekarang tidak punya uang. Dalam sejarah Islam, kita dapat menemukan contoh-contoh inspiratif tentang bagaimana tokoh agama menjalani hidup berserta suka dukanya. Salah satu contoh yang paling sempurna adalah Nabi Muhammad SAW. Beliau tidak hanya mengajarkan pentingnya bersyukur dan berbagi, tetapi juga memberikan teladan dengan tindakan.
Teladan Kemerdekaan
Kita perlu mencontoh Nabi Muhammad SAW yang rela mengganjal perutnya untuk menahan lapar. Kalau saja mau, Nabi Muhammad SAW bisa meminta kepada Allah agar diberi rezeki berupa makanan saat itu juga dan sebagai rasul dan nabi yang paling dicintai Allah, permohonannya tentu akan dikabulkan. Tapi ternyata hati Nabi Muhammad SAW rela dengan rasa lapar tersebut. Nabi Muhammad SAW tidak mengeluh apalagi gelisah. Dengan tindakan ini, Nabi Muhammad SAW menunjukkan bahwa harta, termasuk uang seharusnya tidak menjadi penjajah hati manusia.
Di Indonesia, kita juga memiliki contoh dari seorang pemimpin Muslim terkemuka, Abdurrahman Wahid, yang dikenal dengan sebutan Gus Dur. Gus Dur hidup dengan sederhana dan bersahaja, meskipun dia memiliki kesempatan untuk hidup dalam kemewahan. Dia menunjukkan bahwa seorang pemimpin bisa memiliki kekuasaan dan pengaruh tanpa terperangkap dalam harta dan materi. Gus Dur adalah contoh yang sangat baik tentang bagaimana hidup dengan bijak dan tidak terlalu tergantung pada uang. Dawuh imam Syafi’i “Aku mengetahui bahwa rezekiku tidak akan dimakan orang lain, maka menjadi tenanglah hatiku” perlu kita resapi dan yakini sehingga hati kita tidak terjajah oleh kekhawatiran akan rezeki dan menipisnya persediaan uang.
Kita juga tidak boleh melupakan kisah Qarun yang sangat kaya, bergelimang uang. Alih-alih bersyukur, Qarun malah semakin sombong dan kikir bahkan tidak mau berzakat. Alqur’an dalam surat QS. Al-Qashash mengisahkan bahwa akibat kesombongan dan kekikirannya, Qarun ditenggelamkan ke dalam bumi.
Merdeka dari uang tidak berarti kita meniadakan perannya dalam hidup kita, tetapi lebih kepada bagaimana kita memahami dan mengendalikan uang, bukan sebaliknya. Hidup bersahaja adalah langkah awal dalam merdeka dari uang. Saat kita bisa hidup sederhana, kita akan lebih bahagia dan kurang terbebani oleh tekanan finansial. Ketika persediaan uang kita menipis atau habis, kita tidak perlu panik atau gelisah. Keyakinan bahwa Allah akan selalu memberi rezeki kepada hamba-Nya harus menjadi pegangan kita. Al-Qur’an dalam surat Ar-Rum terdapat firman Allah SWT “Allah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, lalu mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali).” Sebagai orang beriman kita tentu harus percaya dan yakin dengan firman Allah. Ketika hidup dengan kepercayaan ini, kita akan merasa lebih tenang. Kita akan lebih fokus pada kebahagiaan yang sejati dalam hidup.
Merdeka dari penjajahan uang adalah tantangan yang nyata dalam masyarakat modern. Namun, dengan memahami peran uang hanya sebagai alat, belajar dari contoh-contoh teladan seperti Nabi Muhammad SAW, Imam Syafi’i dan Gus Dur, serta hidup dengan sederhana dan yakin bahwa Allah Maha memberi rezeki, kita dapat mencapai kebebasan dari tekanan finansial dan menemukan kebahagiaan sejati dalam hidup. Hari Uang Nasional dapat kita jadikan sebagai pengingat untuk selalu merdeka dalam berpikir dan bersikap terhadap uang. Uang bukanlah segala-galanya. Ada yang lebih penting daripada uang.
-Kepala MTs Irsyaduth Thullab Tedunan Demak.