Oleh :Osamu Dazai
Ibu sedikit menangis. Ia sedang menyantap sup di ruang makan. Kupikir barangkali sesuatu telah masuk dalam supnya. “Sehelai rambut?” tanyaku. “Bukan.” Ibu pun kembali menyendok dan ditelannya sup seolah tak terjadi apa-apa. Sembari menyendok sup ke mulut, ia menoleh ke satu titik, pandangannya terarah pada sebatang pohon sakura semi di luar jendela dapur. Selagi kepalanya berpaling menatap pohon itu, ia mengepak-kepakkan sesendok sup menuju mulut. Ibu makan dengan sedemikian rupa, dan cara ia makan berbeda dengan tatacara yang pernah disinggung sebuah majalah wanita, sehingga dalam perkara ini, kata “mengepak-kepakkan sendok” bukan sekadar kiasan.
Naoji, adik laki-lakiku pernah bilang kepadaku sewaktu dia mabuk, “Cuma karena orang punya gelar tak menjadikannya ningrat. Beberapa orang malah bangsawan hebat tak bergelar kecuali wataknyalah yang menggelarinya, dan orang macam kita, yang tak punya apa-apa selain gelar, ujung-ujungnya jadi paria tinimbang ningrat. Iwashima, misal (dia menyebut salah satu kawan sekolahnya, seorang pangeran klan), bukankah dia mengesankan dirinya orang lebih cabul ketimbang germo mana pun yang kau temui di jalanan? Si bodoh sialan itu mengenakan tuksedo ke acara pernikahan sepupunya. Bahkan andai ada keharusan baginya untuk tampil dengan pakaian macam itu, hal itu membikin aku pengin muntah lantaran mendengar bahasa muluk yang dirasa pantas bagi si idiot itu untuk diucapkan ketika berpidato menyanjung pasangan di pelaminan. Aksi sok semacam itu merupakan kedok murahan yang tak ada sangkutpautnya dengan adab. Sebagaimana dulu di sekitar Perguruan Tinggi ada yang namanya ‘Kumpulan Kelas Atas’ yang sebagian besar dari apa yang dianggap kaum bangsawan mungkin sejatinya bisa disebut ‘Gembel Kelas Atas’. Bangsawan sejati tak bersikap konyol macam Iwashima. Ibulah satu-satunya yang sejati di keluarga kita. Ia produk asli. Ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa kita semua tandingi.”
Ambil contoh soal makan sup. Kami dilatih supaya mencondongkan tubuh sedikit di atas piring, mengambil sup secukupnya dengan posisi sendok di samping, kemudian menyendok sup ke mulut, dengan tetap memegang sendok di samping. Sebaliknya, Ibu dengan ringannya meletakkan jemari tangan kiri pada tepi meja dan duduk tegak sempurna, kepala terangkat tinggi dan hampir tak melirik ke arah piring. Ia benamkan sendok ke dalam sup dan seperti burung layang-layang—begitu anggun dan rapi sampai orang bisa menggunakan simile ini—membawa sendok itu ke mulut pada sudut yang presisi dan menyuapkan sup dari ujung sendok ke tengah bibir. Lalu dengan pandangan tenang pada sekeliling, ia mengepak-kepakkan sendok, bak kelepak lembut burung, tak pernah sekali saja menumpahkan barang setetes sup atau sedikit saja bersuara ketika menyesap sup, atau menimbulkan denting piring manakala meletakkan sendok. Ini mungkin bukan cara makan sup yang ditentukan oleh etika, namun bagiku mengesankan dan entah bagaimana terasa orisinil. Kenyataannya sungguh menakjubkan. Betapa sup terasa lebih enak saat kau menyantapnya seperti cara Ibu, duduk tegak dengan tenang dan membawa sendok sup ke mulutmu ketimbang mulutmu yang menunduk ke sendok dalam sup. Namun, seperti kata-kata Naoji, dengan menjadi gembel kelas atas, maka bersantap tenang ala Ibu tidaklah mungkin. Jadi aku membungkuk ke arah piring dengan gaya suram yang ditentukan oleh etiket yang cocok.
- Iklan -
Bersantap ala Ibu bukan hanya sup saja namun hidangan lain. Caranya amat berbeda dari tatakrama makan lazim. Saat hidangan daging sampai meja, ia langsung memotongnya jadi potongan-potongan kecil dengan pisau dan garpu, lantas memindahkan garpu ke tangan kanan dan dengan riang menusuk potongan daging satu per satu. Juga ketika kami berjuang keras memisahkan daging dari tulang ayam tanpa harus mengguncang piring, tak perlu berbasa-basi, dengan tangan Ibu langsung mengambil tulang dan menggigiti dagingnya. Aksi tak sopan seperti itu malah mempesona dan anehnya lagi erotis ketika Ibu melakukannya. Cenderung tak lazim.
Kadangkala aku berpikir bahwa segalanya akan terasa lebih enak kalau kita makan pakai jari, namun aku menahan diri, lantaran takut kalau gembel kelas atas macam aku meniru Ibu dengan buruk, itu bakal membuatku terlihat seperti gembel lugu yang apa adanya.
Adikku Naoji bilang bahwa kami bukanlah tandingan Ibu, dan kadang aku merasa putus asa sebab sulit menirunya. Suatu ketika, di taman belakang rumah kami di Jalan Nishikata—ketika itu malam terang bulan indah awal musim gugur—aku dan Ibu duduk-duduk di tepi kolam asyik memandang rembulan ketika ia bangkit dan melangkah ke rumpun semak berbunga di sampingnya. Di tengah-tengah bebungaan warna putih, ia memanggilku sembari tertawa kecil, “Kazuko, tebak apa yang Ibu perbuat saat ini.”
“Memetik bunga.”
Ia memekik dalam tawa. “Wee-wee!”
Aku merasa bahwa ada semacam hal teramat menggemaskan dalam diri Ibu yang tak mungkin dapat kutiru.
Ini pengelakan yang lumayan jauh dari sup pagi, namun baru-baru ini aku mengetahui dari suatu buku yang kubaca bagaimana pada masa monarki Prancis, para dayang istana tak ambil pusing untuk buang air di taman istana atau sudut-sudut koridor. Keluguan semacam itu betul-betul membikin aku terpesona, dan membuatku penasaran apa Ibu juga salah satu perempuan seperti itu.
Bagaimanapun pagi ini ia sedikit menangis—ah—ketika menyesap sup. Membuatku bertanya-tanya apa itu sehelai rambut dan ternyata bukan.
“Barangkali supnya terlalu asin.”
Sup pagi ini bahannya ercis dari Amerika, jatah yang kuterima dan kubuat semacam potage. Aku kurang yakin pada kemampuanku sebagai juru masak, sekalipun itu salah satu dari sedikit hal yang wajib dipunyai seorang perempuan, dan aku kuatir rasa sup buatanku, bahkan setelah Ibu bilang rasanya tidak masalah.
“Masakanmu berhasil,” ujar Ibu serius. Setelah menghabiskan sepiring sup, ia makan beberapa kepal onigiri berbalut rumput laut.
Aku tidak pernah sarapan pagi dan belum merasa lapar sampai pukul sepuluh siang. Tetapi pagi ini aku menghabiskan sepiring sup, sekadar percobaan untuk menyantap apa saja yang tersaji di meja. Kuletakkan beberapa kepal onigiri di piring, menyusunnya dengan sumpit, menumpuknya satu sama lain. Kuambil sekepal dengan sumpit dan kuarahkan ke mulut, dari kanan persis bagaimana Ibu memegang sendok sewaktu menyantap sup, lantas memasukkannya ke dalam mulut seolah-olah aku sedang memberi makan seekor burung kecil. Selagi aku berlama-lama dengan makananku, Ibu yang sudah selesai bersantap, diam-diam bangkit dan dengan punggung, menghadap ke dinding yang dirambati matahari pagi yang hangat. Dalam hening ia mengamatiku yang sedang makan.
“Kazuko, kau tidak boleh makan seperti itu. Paling tidak kau harus menikmati sarapanmu.”
“Apa Ibu menikmatinya?”
“Tak usah memikirkan diriku—aku tidak sakit lagi.”
“Tapi akulah yang tidak sakit.”
“Tidak, tidak,” dengan senyum sedih, Ibu menggeleng.
Lima tahun lalu aku terbaring dengan apa yang disebut penyakit paru-paru, meski dalam hati aku menghendaki penyakit itu pada diriku. Di sisi lain, penyakit Ibu yang baru-baru ini ia derita sungguh menguatirkan dan mengibakan. Tetapi satu-satunya yang Ibu perhatikan cuma diriku.
“Ah,” gumamku.
“Ada apa?” sekarang giliran Ibu bertanya.
Kami bertukar pandang dan seperti mengalami suatu momen bersepaham. Aku terkekeh sedang Ibu tersenyum simpul.
Saban kali aku terserang oleh pikiran yang begitu memalukan, tangis samar yang aneh keluar dari bibirku. Ini kali aku mendadak teringat begitu jelas, peristiwa seputar perceraianku enam tahun lalu, dan sebelum aku menyadari, isak tangisku pecah. Aku bertanya-tanya, kenapa Ibu juga menangis? Tak mungkin ia mengingat-ingat sesuatu yang sama memalukannya seperti masa laluku. Tidak, pasti ada sesuatu lain.
“Apa yang barusan kau ingat, Ibu?”
“Aku sudah lupa.”
“Tentang aku?”
“Bukan.”
“Naoji?”
“Ya.” Dan seperti memastikan ucapannya, Ibu sandarkan kepala ke satu sisi lalu menambahkan, “Boleh jadi.”
Naoji adikku dipanggil saat masih di Perguruan Tinggi dan dikirim ke suatu pulau di Pasifik Selatan. Sampai sekarang kami tak mendapat kabar apa pun mengenainya, dan dia masih hilang entah di mana, bahkan setelah perang berakhir. Ibu sudah pasrah lantaran tidak pernah menjumpai Naoji lagi. Setidaknya itulah yang ia bilang, namun aku tak pernah sekalipun “menyerah”. Yang selalu kupikir, suatu saat nanti kami pasti akan berjumpa lagi dengannya.
“Kupikir aku sudah lepas harapan, namun ketika kumakan sup lezatmu, aku memikirkan Naoji, dan aku tak kuasa menahannya. Aku berharap lebih baik padanya dulu.”
Pada saat Naoji masuk SMA, dia jadi begitu fanatik pada sastra, dan mulai menjalani kehidupan anak bengal, membikin hanya Langit yang tahu betapa sedihnya Ibu. Dan terlepas dari petingkahnya yang buruk, Ibu teringat Naoji saat ia memakan supnya seraya menangis. Aku dengan marah memasukkan makanan ke mulut dan mataku jadi perih.
“Dia pasti baik-baik saja, Bu. Naoji akan baik-baik saja. Bajingan macam Naoji takkan mati semudah itu. Yang mati selalulah orang-orang lembut, manis, dan rupawan. Naoji itu takkan mati sekalipun bila kau pukul dia pakai tongkat.”
Ibu tersenyum. “Kalau begitu kupikir kau bakal mati muda.” Ia menggodaku.
“Kenapa musti aku? Kelakuanku buruk, rupaku jelek! Aku akan hidup sampai delapan puluh tahun.”
“Sungguh? Kalau begitu, ibu akan hidup sampai sembilan puluh tahun!”
“Ya,” kataku, sedikit bingung. Bajingan hidupnya lama. Orang rupawan selalu mati muda. Ibu itu cantik. Namun aku pengin beliau berumur panjang. Bingung aku musti bilang apa. “Engkau itu sulit dikategorikan,” kilahku. Bibirku bergetar, air mataku berlinang.
Aku membatin mestikah kumenceritakan tentang ular. Suatu sore, empat atau lima hari lalu, bocah-bocah di lingkungan sekitar mendapati selusin telur ular yang tersembunyi di bawah salah satu tiang pagar taman. Mereka bersikeras bahwa itu telur-telur ular berbisa. Terpikir olehku kalau ada belasan ular berbisa merayap di sekitar semak bambu kami, kami takkan lagi bisa menghabiskan waktu ke taman tanpa melakukan dulu suatu pencegahan. Aku bilang pada bocah-bocah itu, “Ayo bakar telurnya,” dan mereka lantas menurutiku, menari-nari girang.
Kutumpuk dedaunan kering dan belukar semak dan membakarnya, lalu melempar satu per satu telur itu ke dalam api. Untuk waktu lama telur-telur belum juga hangus terbakar. Bocah-bocah meletakkan lebih banyak daun dan ranting di atas api dan membuatnya kian berkobar, namun telur-telur itu kelihatan tak terlahap api.
Gadis dari rumah pertanian ujung jalan memanggil-manggil dari seberang pagar, bertanya apa yang sedang kami lakukan.
“Kami membakar telur ular berbisa. Aku cemas ular-ular itu akan menetas.”
“Seberapa besar telurnya?”
“Seukuran telur burung puyuh, putih bersih.”
“Kalau begitu mereka cuma telur ular biasa yang tak berbahaya, bukan telur ular berbisa. Asal kau tahu, telur mentah takkan hangus begitu saja.”
Gadis itu terkikik seolah semua ini begitu lucu.
Api berkobar selama sekitar setengah jam, namun telur-telur itu tetap tak terbakar. Aku meminta bocah-bocah mengambilnya dan memendamnya di bawah pohon plum. Kukumpulkan beberapa kerikil untuk dijadikan penanda tempat kami mengubur.
“Semua, mari kita berdoa.” Aku berlutut dan menautkan kedua tangan. Bocah-bocah itu dengan patuh ikut berlutut di belakangku serta memanjatkan doa. Selesai berdoa, aku meninggalkan bocah-bocah itu dan perlahan menaiki tangga batu. Ibu berdiri di ujung, di bawah naungan wisteria yang berjejalin.
“Kau sudah berbuat keji,” katanya.
“Aku pikir itu mungkin telur ular berbisa, ternyata bukan. Biar bagaimanapun aku sudah memberikan pemakaman yang layak. Tak ada yang perlu dikuatirkan.” Kusadari tatapan Ibu yang amat menyayangkan perbuatanku itu.
Ibu samasekali tak percaya takhayul, tetapi ia begitu takut ular sejak sepuluh tahun lalu ketika Ayah meninggal di kediaman kami yang di Jalan Nishikata. Tepat sebelum Ayah meninggal, Ibu mendapati apa yang disangkanya tali hitam tipis tergeletak di dekat tempat tidur Ayah, dengan santainya menjumput itu tali, dan dikejutkan bahwa apa yang diambilnya itu ternyata ular. Ular itu meluncur gesit sepanjang koridor, lantas hilang begitu saja. Cuma Ibu dan Wada pamanku yang menyadari ular tersebut. Mereka bertukar pandang tapi tak mengatakan apa-apa, sebab takut mengusik ketenangan penghabisan Ayah. Itu sebabnya bahkan Naoji dan aku (yang kebetulan ada di kamar waktu itu) tidak tahu menahu tentang ular itu.
Namun aku mendapati pada malam kematian Ayah, ada ular berputar-putar di sekitar pepohonan dekat kolam taman. Aku kini berusia dua puluh sembilan, itu berarti ketika ayahku meninggal sepuluh tahun lalu aku sembilan belas, dan bukan lagi anak-anak. Sepuluh tahun telah berlalu, tetapi ingatanku tentang apa yang terjadi ketika itu masih saja jelas, dan aku tidak mungkin salah. Aku tengah melangkah di tepi kolam, pengin memotong kembang untuk ritual keagamaan. Aku berhenti di dekat serumpun azalea dan tiba-tiba kulihat seekor ular kecil meliliti ujung cabang azalea. Ini sedikit mengagetkanku. Kemudian ketika hendak memotong dahan kerria di semak berikutnya, aku pun mendapati seekor ular di sana. Juga di atas mawar Saron, di atas momiji, pada rumpun retama, wisteria, dan pohon sakura—di setiap semak dan pohon—ada ular. Ini tidak terlalu menakutiku. Aku cuma merasa ular-ular itu, sebagaimana diriku, sedang berduka atas kematian ayahku dan saat itu merangkak keluar dari lubang mereka guna memberi penghormatan kepada arwahnya. Selanjutnya pada waktu kubisikkan perihal ular di taman kepada Ibu, ia meresponsnya dengan tenang, sekadar memiringkan kepala ke samping, seolah-olah ia tengah merenungkan sesuatu. Ia tak berkomentar apa pun.
Tetapi memang betul bahwa dua insiden yang melibatkan ular membikin Ibu membenci ular untuk selamanya. Atau lebih tepatnya ia menyimpan kekuatiran sekaligus kekaguman, di mana ia menjadi takut pada ular.
Sewaktu Ibu mengetahui aku sudah membakar telur-telur ular, ia pasti merasa ada suatu pertanda buruk dalam tindakan tersebut. Kesadaran ini mengingatkanku pada perasaan bahwa aku telah melakukan hal mengerikan dengan membakar telur ular. Aku begitu tersiksa oleh ketakutan bahwa aku barangkali sudah menyebabkan kutukan jahat jatuh menimpa Ibu sehingga aku tak mampu melupakan kejadian itu dari benakku. Tidak pada hari itu, lusa, atau kapan pun. Namun di ruang makan pagi ini, aku melontarkan komentar bodoh tentang yang rupawan bakal mati muda, yang tak bisa kututup-tutupi sesudahnya. Tak peduli dengan apa aku coba alihkan. Dan akhirnya berakhir dengan air mata. Lalu, pada saat aku sedang membersihkan sisa-sisa sarapan, kurasakan sensasi tak tertahankan bahwa seekor ular kecil mengerikan yang bakal memperpendek usia Ibu kini merayap ke dalam dadaku.
Di hari yang sama kudapati seekor ular di taman. Pagi itu indah dan tenang, dan setelah menyelesaikan pekerjaan di dapur, aku berpikir untuk menyeret kursi anyaman ke halaman rumput lalu merajut. Saat aku turun ke taman membawa kursi, aku melihat ular di sekitar tangkai bunga iris. Satu-satunya reaksiku adalah sedikit jijik. Kubawa kursi kembali ke beranda dan mulai merajut. Ketika hari sudah sore, aku pergi lagi ke taman bermaksud mengambil dari perpustakaan kami (yang letaknya di gubang bagian bawah taman) satu volume buku lukisan Marie Laurencin, ternyata kudapati seekor ular tengah merayap perlahan di atas rerumputan. Itu ular sama yang kujumpai pada pagi hari, seekor ular yang tenang lagi anggun. Ular itu dengan damainya melintasi halaman. Ular berhenti ketika mencapai keteduhan kumpulan mawar, mengangkat kepala, menggeletarkan lidahnya bak kobar api. Kelihatan tengah mencari sesuatu, namun tak berapa lama kemudian menunduk sampai menyentuh tanah seolah-olah terliputi kelelahan. Aku membatin, “Pasti ini ular betina.” Juga impresi pekat yang terbit dalam diriku adalah betapa indahnya corak ular tersebut. Aku beranjak ke gudang dan mengeluarkan sejilid buku lukisan. Dalam perjalananku kembali, aku sekali lagi menengok ke tempat di mana kujumpai ular itu, akan tetapi kini ia sudah tidak ada di sana.
Menjelang malam manakala aku tengah minum teh bersama Ibu, kebetulan aku berpaling ke taman tepat di saat ular itu perlahan-lahan merayap kembali memenuhi pandanganku, ia bergerak di undakan ketiga tangga batu.
Ibu ikut memperhatikan. “Apakah ular yang tadi?” Ia bergegas mendekatiku selagi bertanya dan meringkuk di samping seraya menggenggam tanganku. Terlintas di benakku apa yang ia pikirkan.
“Maksudmu induk telur-telur itu?” kataku.
“Ya, ya,” ujar Ibu tegang.
Kami saling berpegangan tangan dan terpaku dalam hening sembari menahan napas, mengamat-amati ular itu. Dengan lesunya ular itu menggelung di depan gudang, lalu kembali merayap. Bergerak lamban ia lewati anak-anak tangga batu lantas meluncur menuju rumpun iris.
“Berkeliaran di taman semenjak pagi,” gumamku. Ibu menghela napas dan menjatuhkan diri pada kursi.
“Pantas saja. Ia sedang mencari-cari telurnya. Malang nian.” Ibu kesal.
Aku terkekeh gugup, tak tahu mesti berbuat apa.
Matahari yang menyinari muka Ibu membikin matanya terang kebiru-biruan. Air mukanya, yang kelihatan menunjukkan sedikit kemarahan, begitu anggun sehingga aku merasa terbuai karenanya. Terpikir olehku saat itu muka Ibu mirip ular malang yang baru saja kami lihat, dan entah bagaimana, aku membatin bahwa ular jelek yang mendiami dadaku suatu saat nanti bakal berakhir dengan melahap sang rupawan yang tengah berduka ini. Sang induk ular.
Kuletakkan tangan pada bahu Ibu yang lembut serta lemah, dan kurasakan semacam getaran fisik yang tak mampu kujabarkan.
Awal Desember masa Jepang menyerah tanpa syarat, kami meninggalkan kediaman kami di Jalan Nishikata, Tokyo lantas pindah ke rumah bergaya Cina di Izu ini. Setelah ayah meninggal, Paman Wada—adik Ibu dan kini satu-satunya kerabat yang masih hidup—mengurus biaya kehidupan rumah tangga kami. Namun dengan berakhirnya perang segalanya berubah, dan Paman Wada memberitahu Ibu bahwa kami tidak bisa terus seperti itu, bahwa kami tak ada pilihan selain menjual rumah dan memecat seluruh pelayan, dan bahwa yang terbaik bagi kami yaitu membeli rumah kecil asal nyaman entah di desa mana, yang pasti kami berdua bisa tinggal dengan senang. Ketimbang persoalan anak, Ibu tak terlalu paham masalah uang, dan pada saat Paman Wada menerangkan kepadanya situasi kami berdua, reaksi yang dimunculkannya adalah meminta Paman mengusahakan apa pun yang menurutnya baik bagi kami.
Di akhir November, sepucuk surat datang dari paman, mengabarkan bahwa vila Tuan Kawata akan dijual. Vila itu berdiri di atas tanah pegunungan berpemandangan elok dan mencakup kurang-lebih setengah hektar tanah pertanian. Kami diberitahu bahwa wilayah itu terkenal akan bunga plumnya, hawanya hangat pada musim dingin, sejuk di musim panas. Surat Paman Wada diakhiri dengan: “Aku yakin kau akan betah tinggal di sana, tetapi terlebih dulu kau harus mendiskusikannya secara pribadi dengan pihak lain, jadi bisakah kau datang ke kantorku besok?”
“Apa Ibu mau pergi?” tanyaku.
“Aku harus pergi,” ujarnya sambil tersenyum getir. “Ia memintaku datang.”
Keesokan harinya Ibu pergi selewat tengah hari. Ia ditemani mantan sopir kami, yang mengantarnya pulang sekitar pukul delapan malam hari itu.
Ibu masuk kamarku dan duduk dengan tangan menjulur ke atas meja, seolah-olah beliau hendak pingsan di tempat. “Semuanya sudah diputuskan,” hanya itu yang ia ucapkan.
“Apa yang sudah diputuskan?”
“Segala sesuatunya.”
“Akan tetapi,” ujarku bertanya-tanya, “bahkan sebelum Ibu melihat rumah itu seperti apa?”
Ibu mengangkat sikut, menyentuh kening seraya mendesah lamat-lamat. “Kata Paman Wada, ini kediaman bagus. Aku merasa seakan aku bakal segera pindah ke sana, sekarang juga, dengan menutup mata.” Ia mendongak dan memamerkan seulas senyum. Wajahnya kelihatan sedikit tirus dan begitu anggun.
“Ya, kurasa begitu,” aku menimpali, tersisih oleh keluguan Ibu yang begitu mempercayai Paman Wada.
“Kalau begitu tutup matamu juga.”
Kami berdua tertawa, namun setelah tawa kami mereda, kami merasa begitu tertekan.
Para tukang pindah datang setiap hari ke rumah sejak saat itu, dan pengemasan barang-barang untuk diangkut pergi ke tempat baru pun dimulai. Paman Wada juga mengunjungi kami dan membikin pengaturan yang diperlukan supaya segala sesuatu yang dapat dijual dapat disisihkan.
Aku dan Okimi pembantu kami sibuk mengerjakan tugas-tugas menata pakaian dan membakar sampah di taman, tetapi Ibu tak membantu barang sedikit pun. Ia habiskan waktunya di kamar, menyuntuki sesuatu.
Tak tahan, lantas aku pun mengerahkan keberanian buat bertanya, “Ada apa? Apa kau tak ingin pindah ke Izu?”
“Bukan begitu,” hanya itu jawabannya, ekspresinya tak jelas.
Butuh sekitar sepuluh hari untuk menyelesaikan pindahan. Suatu malam saat aku berada di taman bersama Okimi membakari kertas-kertas bekas dengan jerami, Ibu muncul dari kamarnya, berdiri di teras, diam-diam memperhatikan api berkobaran. Angin dingin kelabu bertiup dari barat, dan asap membumbung. Kebetulan pandanganku tertuju ke muka Ibu dan aku kaget mendapati betapa kusam warna kulitnya, lebih kusam tinimbang sebelumnya.
“Ibu, kau agaknya sakit!” seruku. Ibu menyahut, tersenyum lembut, “Aku baik-baik saja.” Ia beranjak kembali ke kamar. Malam itu, tersebab tempat tidur kami penuh, Okimi tidur di sofa sementara Ibu dan aku tidur bersama di kamarnya di atas kasur yang dipinjam dari tetangga.
Ibu berujar dengan suara yang terdengar begitu rapuh, membuatku ketakutan, “Aku akan pergi ke Izu karena kau ada bersamaku, karena aku memilikimu.”
Aku kaget mendengar ucapan tak terduga ini. “Dan bagaimana kalau aku tak ada di sisimu?” aku keceplosan. Ibu tiba-tiba menangis. “Kalau begitu, yang terbaik bagiku adalah kematian. Andai saja aku bisa mati di kediaman ayahmu meninggal ini.” Ia bicara terputus-putus, diiringi tangis yang kian keras.
Belum pernah Ibu bicara dengan suara sebegitu lemah, dan tak pernah sebelumnya ia memperlihatkan padaku tangis yang begitu menyedihkan. Bahkan ketika ayah meninggal, atau saat aku menikah, atau pada waktu aku pulang selama masa kehamilan, tatkala bayi yang baru kulahirkan mati di rumah sakit, atau ketika kemudian aku hanya terbaring di tempat tidur, atau pada waktu Naoji melakukan hal-hal buruk—Ibu tak pernah menunjukkan kelemahan semacam itu. Selama sepuluh tahun semenjak kematian Ayah, Ibu tetap bersikap lembut dan tenang sebagaimana sewaktu Ayah masih hidup. Aku dan Naoji manfaatkan kelembutan itu untuk tumbuh tanpa berpikir serius akan segala sesuatu. Kini Ibu tak lagi punya uang. Ia telah habiskan seluruhnya untuk kami, untuk Naoji dan untukku, amat murah hati kepada kami. Lantas ia dipaksa meninggalkan rumah tempatnya menghuni selama bertahun-tahun untuk memasuki kehidupan menyedihkan di pondok tanpa pelayan satu pun. Kalau saja Ibu keji dan pelit, pemarah pada kami, atau tipe orang yang diam-diam menemukan metode meningkatkan kekayaan, maka ia tentu takkan pernah mengharap kematian, tak peduli seberapa banyak waktu telah berubah.
Untuk pertama kalinya, kusadari alangkah ngeri, sengsara, dan nestapanya hidup tanpa sepeser uang. Hatiku dipenuhi amarah, namun aku terlalu sedih sampai-sampai air mataku tak mau tercurah. Aku bertanya-tanya apakah perasaan yang kurasa ketika itu merupakan apa yang orang maksud dalam frasa usang “marwah hidup”. Aku berbaring, menatap langit-langit, merasa tak mampu bergerak barang sedikit pun, tubuhku kaku bak batu.
Keesokan harinya, seperti yang kuprediksi, Ibu kelihatan sakit. Ia terus memikirkan berbagai hal setiap menit perpanjangan waktu dirinya masih mendekam di kediaman yang berharga baginya itu. Namun Paman Wada tiba mengabarkan bahwa kami harus pergi hari itu ke Izu. Hampir seluruh barang sudah tiba di sana. Ibu ogah-ogahan mengenakan mantel, membungkuk tanpa sepatah kata pun ke Okimi dan orang-orang yang kami pekerjakan sebelumnya yang datang buat mengucapkan salam perpisahan. Ibu lalu berjalan keluar dari kediaman kami di Jalan Nishikata itu.
Kereta relatif lengang, kami semua dapat kursi duduk. Pamanku begitu bersemangat, dia menyenandungkan bagian-bagian dari lakon Noh. Ibu yang kelihatan pucat dengan mata setengah terpejam, tampak dingin. Kami berhenti di Nagaoka untuk naik bus sekitar seperempat jam lantas turun, dan mulai berjalan kaki menuju pegunungan. Kami mendaki tanjakan miring sampai ke sebuah desa kecil, dengan bagian terluarnya vila Cina yang dibangun bergaya khas.
“Ternyata lebih nyaman dari yang kubayangkan, Bu,” ujarku, masih terengah-engah habis mendaki.
Ibu berdiri di muka pintu masuk pondok. “Ya,” sahutnya. Sejenak air muka bahagia terpancar dari sorot matanya.
“Udaranya bagus. Segar,” kata paman, tampak puas.
“Ya,” Ibu tersenyum. “Sejuk. Udara di sini enak.” Kami bertiga ketawa.
Di dalam pondok kami dapati barang-barang kami dari Tokyo telah sampai. Di muka kediaman berpeti-peti barang bertumpuk tinggi.
“Di sebelah sini, ada pemandangan indah dari ruang duduk.” Paman yang agak terbawa suasana, menyeret kami ke sana, mendudukkan kami untuk mengagumi pemandangan yang tergelar.
Saat itu sudah pukul tiga sore, matahari musim dingin lembut menerpa halaman taman. Pada dasar undak-undakan yang mengarah dari halaman, ada kolam kecil dikelilingi pohon plum, dan di luar taman, pohon jeruk keprok. Jalanan desa, persawahan, rerimbun pohon sugi, dan di kejauhan laut pun tampak. Sewaktu duduk di ruang tamu itu, laut terasa sejajar dadaku.
“Pemandangan yang lembut,” ujar Ibu lesu.
“Karena sejuk udara. Sinar matahari di sini berlainan sinarnya dengan di Tokyo, bukan? Seolah-olah sinarnya terjaring melalui sutra,” jawabku seriang mungkin.
Di lantai dasar ada dua kamar berukuran lumayan besar, ruang tamu Cina, aula, kamar mandi, ruang makan serta dapur. Di lantai atas kamar bergaya barat dengan kasur besar. Inilah bagian-bagian dalam pondok. Dan kurasa takkan sesak untuk kami berdua tinggali, atau bahkan bertiga seandainya Naoji pulang.
Pamanku pergi ke penginapan satu-satunya di desa untuk membawakan makanan bagi kami. Makan siang segera diantar. Paman letakkan makanan di ruang duduk dan kami mulai makan. Sebotol wiski yang dia bawa disajikan sebagai pencuci mulut. Dia begitu ceria, bersikeras menghubung-hubungkan petualangannya di Tiongkok bersama Tuan Kawata, bekas pemilik rumah ini. Ibu hampir tak menyentuh makanannya, dan segera setelah itu, manakala hari beranjak malam, ia bergumam, “Aku ingin berbaring sebentar.”
Kukeluarkan seprai dari barang-barang pindahan kami lalu membantu Ibu merapihkannya. Ibu tampak menguatirkan, maka aku pun mencari termometer guna mengukur suhunya. Ternyata 38 derajat.
Paman tampak kesal karenanya. Bagaimanapun dia lantas pergi ke desa mencari mantri. Pada waktu aku memanggil-manggil Ibu, ia hanya mengangguk-angguk dan kelihatan mengantuk.
Aku menekan tangan mungil Ibu dan mulai menangis. Ia begitu menyedihkan—tidak, kami berdualah yang sangat menyedihkan. Air mata tak kunjung berhenti. Sambil menangis aku merenung, bahwa aku ingin mati saat itu juga bersama Ibu, bahwa kami sudah tidak punya lagi harapan, bahwa hidup kami telah berakhir ketika kami tinggalkan kediaman di Jalan Nishikata.
Sekitar dua jam kemudian paman kembali bersama mantri desa. Orangnya tua mengenakan pakaian formal yang sudah kelihatan kuno.
“Ini bisa saja pneumonia. Namun, bahkan kalau pneumonia tak usah cemas.” Sambil mengucapkan pernyataan kabur begini, mantri desa menyuntik Ibu lantas pergi begitu saja.
Keesokan harinya demam Ibu tak kunjung turun. Paman memberiku dua ribu yen dengan instruksi mengirim telegram kepadanya kalau-kalau Ibu musti dirawat di rumah sakit nanti. Dia pulang hari itu juga ke Tokyo.
Kuambil peralatan masak seadanya dari barang-barang pindahan kami dan kusiapkan semangkuk bubur nasi. Ibu menelan hanya tiga sendok, menolak menghabiskan bubur. Sesaat sebelum siang hari, mantri desa kembali datang. Kali ini pakaiannya sedikit kurang formal, namun dia masih mengenakan sarung tangan putih.
Aku mengusulkan kiranya lebih baik bila Ibu ke rumah sakit saja. “Tidak perlu,” ujar mantri, “Aku rasa itu tidak perlu. Hari ini aku akan memberikan suntikan dosis tinggi, jadi demamnya bakal mereda.” Jawabannya sama tidak meyakinkannya seperti kemarin. Dia lalu pergi selepas menyuntik Ibu dengan dosis tinggi.
Sore itu, muka Ibu merah padam dan keringat mengucur deras. Ini, bisa jadi, berkat keajaiban suntikan si mantri. Saat aku mengganti baju tidurnya, Ibu bilang, “Siapa tahu dia mungkin mantri yang hebat!”
Suhu tubuh Ibu perlahan-lahan kembali normal. Aku senang sekali kemudian aku bergegas pergi ke penginapan desa, membeli selusin telur. Aku rebus beberapa dan menghidangkannya ke Ibu. Ia makan tiga telur serta menghabiskan setengah mangkuk bubur nasi.
Esoknya mantri hebat itu muncul kembali dengan pakaian khasnya itu. Dia mengangguk-angguk pada saat kuhaturkan terima kasih atas keberhasilannya mengobati Ibu, dengan ekspresi yang mengesankan “Kan, sudah kubilang.” Dia memeriksa Ibu dengan hati-hati, lantas menoleh ke arahku, berujar, “Ibumu agak baikan. Maka dari itu ia boleh makan apa pun yang ia pengin dan bisa kembali beraktivitas.”
Cara omongnya begitu aneh membuatku menahan sekuat tenaga supaya tidak ketawa. Kupersilakan mantri untuk pergi. Saat aku kembali ke kamar Ibu, aku mendapati ia tengah duduk di kasur.
“Sungguh mantri yang hebat. Aku tidak sakit lagi,” ia seperti meracau, seolah sedang bicara sendiri. Terbit ekspresi bergembira di wajahnya.
“Ibu, haruskah kubuka kerainya? Turun salju!”
Kepingan salju sebesar kelopak bunga turun pelahan. Kubuka tirai dan duduk di samping Ibu, mengawasi turunnya salju. “Aku sudah tidak sakit,” ujar Ibu sekali lagi. “Saat aku duduk-duduk di sini bersamamu, membuatku merasa seolah-olah semua yang telah terjadi hanyalah mimpi. Sejujurnya, ketika saatnya tiba untuk kita pindah, aku betul-betul tak ingin pergi barang selangkah pun. Akan kuberikan apa saja, asal bisa tinggal sehari lebih lama. Atau setengah hari, setengah hari saja di kediaman kita di Jalan Nishikata. Aku setengah mati tak pengin naik kereta, dan ketika kita tiba kemari, setelah satu dua momen itu, aku merasa hatiku akan meledak merindukan Tokyo, terutama ketika hari menjelang petang. Lalu segalanya tampak hampa di hadapanku. Ini bukan penyakit biasa. Tuhan menghabisiku, dan hanya setelah Dia menjadikanku seseorang yang berbeda dari diriku dulu, entah bagaimana Dia menyerukan padaku untuk kembali hidup.”
Sejak saat itu hingga sekarang, kami masih melanjutkan kehidupan sepi kami di pondok pegunungan ini. Kami menyiapkan makanan, merajut di teras, membaca di ruangan, minum teh—dengan kata lain, menjalani hidup yang sepenuhnya terisolasi dari dunia luar. Pada Februari, sepenjuru desa tergenang bunga plum. Hari-hari tenang tak berangin berganti Maret, dan bunga bersemi di dedahan hingga akhir bulan. Saban kupandang bunga-bunga itu, rasanya begitu mempesona, aromanya membanjiri ruangan pondok tiap kali kubuka pintu kaca. Menjelang akhir Maret, di malam hari angin berembus kencang. Dan manakala kami menghabiskan waktu di ruang makan yang remang sembari menyesap teh, kelopak-kelopak kembang akan terembus masuk melalui jendela, tercemplung dalam cangkir kami. Kini April tiba, ketika sedang merajut di teras, aku dan Ibu berbincang-bincang akan rencana mengolah ladang. Ibu bilang ia pengin membantu. Bahkan di saat kutulis baris-baris ini, kupikir, seperti yang beliau katakan, kami telah mampus, dan terlahir kembali sebagai orang yang benar-benar berbeda. Tetapi kebangkitan laksana Kristus tak mungkin terjadi pada manusia biasa. Ibu bicara seakan masa lalu sudah jauh terlupa, namun tetap saja, tatkala ia mencicipi sup pagi ini ia memikirkan Naoji dan menangis. Luka masa laluku belum juga sembuh.
Aih, ingin kutulis semuanya, sejelas-jelasnya tanpa menyembunyikan apa pun. Diam-diam aku terkadang berpikir, kedamaian rumah pegunungan ini tak lebih dari sebuah kebohongan, kepura-puraan. Sekalipun menganggap ini sebagai jeda singkat yang terjamin oleh Tuhan teruntuk aku dan Ibu, tak bisa kulepaskan firasat bahwa semacam bayang-bayang gulita tengah mendekati kami. Ibu seakan berbahagia, namun ia kian kurus dari waktu ke waktu. Dan dalam dadaku bersemayam ular berbisa yang menggemuk berkat pengorbanan Ibu. Ular yang terus berkembang sekuat apa pun kuberusaha mencegahnya. Andai saja itu sekadar sesuatu yang datang bersamaan pergantian musim, tak lebih! Bahwa aku yang tega melakukan perbuatan keji macam membakar telur-telur ular itu jelas menunjukkan alangkah nestapanya keadaanku sekarang…. Segala yang kulakukan agaknya cuma membikin Ibu terjerumus dalam ketidakbahagiaan dan seiring waktu melemahkan dirinya.
Perihal cinta… ah, menuliskan kata itu sajalah yang mampu kuperbuat. Aku tak dapat menambahkan apa pun.
Sumber terjemahan:
The Setting Sun
Tuttle, 1981
Penerjemah: Bagus Dwi Hananto