Oleh: ASHIMUDDIN MUSA
Judul tulisan ini agaknya berlebihan. Tapi memang faktanya demikian. Kesadaran akan makna perubahan begitu indah setelah sekian lama menghilang dan baru ditemukan kembali di balik dialog para santri yang mereka itu terikat dan terorganisir oleh system pesantren, pada saat yang sama mereka diberikan mandat untuk menjaga kebersihan dan keindahan pesantren. Awalnya ia adalah pembendaharaan tersembunyi yang sukar sekali ditafsirkan menjadi bahasa perubahan. Namun demikian, seiring dengan itu, asupan nutrisi yang selalu dihidangkan baik oleh pengasuh maupun oleh para guru tentang makna perubahan, saat tengah asyik berdialog tatkala membuag sampah, nutrisi daripada nasehat-nasehat para guru seperti menerangi kalbu para santri untuk melakukan perubahan.
Kebersihan memang sangat ditekankan oleh pengasuh. Karena kebiasaan kebersihan agaknya sangat sulit dibentuk. Diakui atau tidak, di pesantren-pesantren manapun, baik yang mengakui dirinya modern ataupun tradisional sekalipun, kalau seandainya tidak ada pahlawan kebersihan di pesantren tersebut, agaknya pembumian risalah cinta tentang kebersihan menjadi sirna. Di satu sisi, risalah Tuhan dengan segala keindahan-Nya menjadi sukar dikenal oleh penduduk bumi. Dengan demikian, pengasuh di pesantren Motivator Quran di Bogor, tempat penulis nyantri dulu, mengajarkan arti keindahan. Baginya, menjaga keindahan adalah sarana menjemput cinta-Nya. Sebab, Tuhan Maha Indah menyukai keindahan. Dari keteladan serta inovasi yang diberikan pengasuh untuk mempertahankan kebiasaan cinta kebersihan menjadi bagian tak terpisahkan dalam kebiasaan santri.
Upaya pengasuh serta para guru yang turut ambil bagian dalam memberikan pemahaman serta menanamkannya kepada para santri dalam bentuk tindakan, adalah sebuah tindakan mulia dalam sebuah pendidikan keteladanan. Pendidikan teoritis tidaklah cukup untuk membentuk karakter anak didik ideal tanpa adanya kehadiran sosok guru ideal dalam kehidupan mereka. Apa yang dikatakan (H.D. Iriyanto: 2012) itu benar adanya, bahwa nasehat yang selalu dihidangkan kepada manusia adakalanya mampu memberikan perubahan yang berarti dan bertahan lama, tetapi tidak menutup kemungkinan juga bisa kandas di tengah jalan. Ia membagi perubahan tersebut menjadi dua kategori; pertama, perubahan sementara—biasanya ini berkaitan dengan emotion; kedua, berkaitan dengan mind-set.
- Iklan -
Seseorang yang pernah ikut diklat atau pelatihan seminar, setelah ia diberikan sebuah materi penting yang sampai mengaduk-aduk emosinya, pada gilirannya ia sampai menangis terharu, biasanya pesan-pesan yang diberikan juga mampu memberikan perubaha pada peserta pelatihan, akan tetapi durasinya tidak bertahan lama. Namun demikian, berbeda halnya dengan pelatihan di atas yang menggunakan aduk-aduk emosi, apabila yang diubah adalah mind-set atau pola pikir, maka dampak yang akan dirasakan akan lebih dahsyat dan bertahan lama. Lihatlah bagaimana orang-orang yang mengubah kelemahan menjadi keunggulan luarbisasa dengan pikirannya. Mereka benar-benar mampu mengubah nasib dan hidupnya. Sebut misalnya, Helen Keller, Buya Hamka, Jenderal Soedirman, Abraham Lincoln, dan sebagainya.
- Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah sekaligus teman dekat Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama adalah ideal penggerak perubahan. Dia berdua adalah katalisator penggerak perubahan bangsa—dari lemah menjadi kuat; dari bangsa terjajah menuju kemerdekaan. Tentu, usaha itu adalah bukanlah perkara mudah dilakukan, tetapi mereka mampu menggerakkannya dengan kesabaran dan keihlasan. Mereka berhasil melakukan perubaha dengan cara masing-masing dan pendekatan-pendekatan yang tentu dengan mudal kecersasan masing-masing. Dalam buku Guru Penggerak, Biografi KH Ahmad Dahlan yang ditulis Haidar Musyafa menggambarkan bagaimana kiprah dan perjuangan KH Ahmad Dahlan di dalam mewujudkan masyarakat di Kauman, Yogyakarta, menuju perubaha yang signifikan.
KH Ahmad Dahlan selalu menghadapi tantangan luar biasa dari masyarakatnya sendiri. Tantangan itu lahir dikarenakan masyarakat setempat belum mengenal lebih jauh isi dari jalan pikiran KH Ahmad Dahlan di satu sisi, di sisi lain karena mereka belum memiliki pemikiran jauh lebih maju ke depan, dikarenakan orang-orang kauman pada umumnya—dan lebih tepatnya orang Indonesia yang notabene penganut agama Islam—dibatasi gerak dan pemikirannya oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Oleh karena itu, atas dasar itulah KH Ahmad Dahlan bersemangat hendak melakukan perubahan yang lebih signifikan meskipun usahanya selalu mendapatkan tantangan dari berbagai kalangan.
Kalau kita lihat, tantangan perubahan yang dihadapi KH Ahmad Dahlan tampak sulit diterima kebanyakan masyarakat Kauman saat itu dikarenakan orang-orang Kauman masih kental dengan pandangan lamanya yang sudah masuk ke alam bawah sadarnya. Menurut Dr. Muruga Kumar, dikutip H.D. Iriyanto, perubahan pikiran bisa dilakukan dengan merekonstruksi pikiran bawah sadar. Meskipun di awal, konsep atau ide baru yang hendak dibangun akan mendapatkan penolakan dari konsep atau ide yang lama, namun jika hal itu kita lakukan terus-menerus, maka konsep atau ide baru tersebut akan bisa menguat. Ibarat air yang sudah bercampur dengan tinta, agar bisa menjadi jernih kembali harus diisi air bening terus-menerus. Hal seperti itulah yang terus-menerus dilakukan KH Ahmad Dahlan. Sehingga, dampak dari perubahan itu bukan hanya dirasakan di Kauman, melainkan oleh seluruh orang di Indonesia.
Dialog para santri yang tidak formal tersebut adalah bagian penting dari contoh kesadaran santri dalam mengoptimalkan alam bawah sadarnya. Mereka tidak peduli apapun profesinya di pesantren. Meskpun demikian ia terus mengejar idealita dan cita-citanya menjadi manusia dengan prinsipnya khairunnas amfa’uhum linnas agar menjadi yang terbaik dan dapat bermanfaat untuk sesama. Dengan demikian, dengan bekal semangat yang tinggi itulah agar nantinya mereka dapat benar-benar menerangi dunia dengan kemampuannya yang dimilikinya. Benar apa kata Ach. Dhofir Zuhri, kecerdasan teoritis tanpa ada keteladan ideal dari pendidik adalah kurang sempurna. Pendidikan harus berorientasi tarbiyah (penguatan moral) daripada ta’lim (kecerdasan intelektual). Untuk itu, peran guru adalah memainkan pearanan signifikan untuk menjadi cerminan yang baik.
Pertanyaannya, bagaimana tugas guru untuk mengoptimalkan pendidikan? Agaknya kita perlu merujuk pada teori K. Given dalam bukunya Brain Based Teacing ini. Pertama, emosional. Karena ini berkaitan dengan hasrat, maka guru harus bisa mendesain pembelajaran dengan semenarik mungkin. Kedua, versi sosial. Karena berkaitan dengan interaksi sosial, maka guru harus mampu menciptakan pembelajaran yang berorientasi keakraban. Ketiga, kognitif. Guru harus bisa menginspirasi, karena ini berkaitan dengan logika. Keempat, fisik. Karena berkaitan dengan fisik, maka guru diharapkan harus energik dan menjadi pelatih bagi siswa. Kelima, reflektif. Di sini guru berfungsi sebagai pencari bakat para siswa.
Kelima teori di atas ini bukan hanya sebatas teori yang sebatas ada di eranya, melainkan sudah dipraktekkan oleh kedua tokoh seperti disebutkan di atas tadi jauh sebelum teori tersebut itu muncul. Bahkan mereka menjadikannya pula sebagai mudal mereka dalam berdakwah. Makanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa mereka adalah sosok ideal yang memiliki kesanggupan luarbiasa untuk menjadi katalisator terciptanya perubahan bangsa Indonesia menjadi lebih baik. Selamat membaca (*)
(* Ashimuddin Musa alumni Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) dan anggota GP ANSOR Pragaan Sumenep.