*)Oleh: Tjahjono Widarmanto
…….
Bangunlah jiwanya,
Bangunlah badannya untuk Indonesia Raya
(WR. SOEPRATMAN)
Petikan di atas adalah kutipan dari lagu kebangsaan Indonesia Raya karya WR.Soepratman yang versi revisi Panitia Lagu Kebangsaan Indonesia Raya yang dibentuk pada 16 November 1948. Aslinya lagu Indonesia Raya ini merupakan tiga stanza dan diperdengarkan kali pertama pada peristiwa Sumpah Pemuda 1928. Kali pertama diperdengarkan di hadapan publik para pemuda perwakilan Kongres Pemuda, dalam momentum bersejarah Sumpah Pemuda, dalam bentuk aransemennya dan hanya diiringi biola penciptanya, tanpa disertai lirik. Lirik lagu Indonesia Raya itu sendiri kali pertama disebarluaskan melalui surat kabar SIN PO edisi 10 November 1928. Surat kabar SIN PO itu sendiri merupakan surat kabar tempat WR. Soepratman muda berkerja menjadi jurnalis.
WR. Soepratman dalam kutipan lagu di atas (yang merupakan versi Panitia Lagu Kebangsaan Indonesia Raya) menempatkan jiwa lebih dahulu dibanding badan. Dalam versinya yang asli pun demikian, didahulukan jiwa bukan badan: Bangoenlah djiwanja,… Soeboerlah djiwanja…sadarlah hatinya, sadarlah boedinja oentoek Indonesia radja…. Bahkan dengan tegas, dalam versi aslinya itu, WR. Soepratman mensejajarkan jiwa dengan hati dan budi. Jiwa mendahului raga, bukan sebaliknya.
- Iklan -
Manusia memiliki dua perangkat kehidupan yaitu tubuh/raga dan jiwa. Jiwa dalam bahasa Ibrani disebut sebagai nefes, dalam bahasa Latin diistilahkan sebagai animus atau anima, dalam bahasa Jerman disebut sebagai geist, orang Inggris mengistilahkannya sebagai soul. Dalam khasazanah sastra Sansekerta, jiwa disebut sebagai jiva atau jivatman dan dimaknai sebagai “sesuatu yang hidup sekaligus menjadi benih kehidupan”.
Falsafah Jawa dan Yunani memiliki kedekatan dalam memaknai konsep jiwa. Yunani menyebut jiwa sebagai noos yang mengandung arti makna hidup atau yang menentukan makna manusia. Sedangkan falsafah Jawa mengistilahkan jiwa sebagai rahsa atau rasa. Rasa atau rahsa terletak dalam manah atau qalbu yang berperan membentuk karakter-karakter mulia.
Rasa atau rahsa dalam perspektif falsafah Jawa bukan suatu sikap yang diarahkan pada benda atau kebendaan melainkan “keadaan” yang akan diraih. Pada gilirannya rasa bermanifestasi dalam wujud sikap dan perilaku yang ditampakkan oleh lahiriah. Jelaslah, bahwa rasa atau jiwa merupakan mesin pendorong terwujudnya aktivitas lahiriah. Rasa bukanlah sekedar tumpukkan kognisi namun mentalitas yang mengonstruksi aktivitas manusia. Filsafat Jawa memetaforakan jiwa manusia sebagai alam semesta yang bersembunyi dalam diri manusia dan terus berotasi (bergerak) sesuai gerak kehidupan manusia. Gerak jiwa ini bisa diibaratkan samudera yang kadang pasang kadang surut kadang deras kadang landai. Kondisi jiwa ini dalam kearifan Jawa dimetaforakan dengan gending atau gamelan yang bisa berupa gending soran yang dinamis, meluap-luap, penuh gejolak, sekaligus bisa pula resah, atau sebaliknya dalam gending alusan yang tenang, halus, penuh kedalaman, dan jernih.
Plato dengan tegas mengatakan bahwa hakikat manusia terletak pada jiwanya. Jiwa dalam pengertian Plato adalah karakter yang mencakup kepribadian dan pikiran, nalar dan moral. Plato membagi dimensi manusia atas dua dimensi yang saling bertautan yaitu akal (pikiran, rasio) dan mental sebagai tempat jiwa bersinggasana. Jiwalah yang menjadi ruang bagi hal-hal yang metafisis, spiritual, religius dan nilai yang menjadi penuntun manuasia berbudaya.
Tak jauh berbeda, dalam konsep Islam, jiwa yang diistilahkan dengan nafs berperan mendorong manusia dalam melakukan sebuah perbuatan. Nafs berperan tiga hal, yaitu penanda eksistensial dan hakikat manusia, penyebab atau pendorong dalam melakukan perbuatan, dan merupakan penentu sifat yang bisa berorientasi pada kebaikkan atau keburukan. Ketiga peran itulah yang pada akhirnya akan mengelompokkan jiwa atau nafs dalam lima kategori.
Kategori pertama disebut sawiyyah mullahamah atau jiwa yang selalu mendapat dorongan ilham. Kategori kedua disebut sebagai ammarah bissu’i yaitu kondisi jiwa yang cenderung mendorong pada tindakan buruk. Yang ketiga, digolongkan sebagai lawwamah yaitu kondisi jiwa yang dalam keadaan dan situasi ragu-ragu. Keempat, disebut sebagai zakiyyah yaitu keadaan jiwa yang cenderung pada fitrahnya yang suci. Yang terakhir adalah nafs atau jiwa yang mutmainnah yakni keadaan jiwa yang sudah mencapai ketenangan hidup.
Sudut pandang psikoanalisis memandang jiwa sebagai keadaan diri manusia yang bisa mewujud dalam alam sadar maupun tak sadar. Bagi penganut psikoanalisis, lapisan kesadaran atau alam sadar manusia berisikan hasil pengamatan sekaligus perekaman manusia terhadap dunia sekitar. Adapun lapisan tak sadar manusia bisa dipicu oleh hal-hal yang dilupakan seperti memoria yang apabila distimulus bisa muncul mendorong perilaku. Bisa pula didorong oleh id, ego dan superego. Id muncul karena hasrat kesenangan dan hasrat kenikmatan yang antara lain didorong oleh libido yang mewujud pada perilaku hegonis yang mengabaikan tatanan dan nilai. Ego didorong oleh realita atau kenyataan yang mendorong munculnya perilaku sebagai bentuk respon dari realita tersebut. Adapun superego berkaitan dengan pandangan dan aspek moralitas, nilai, etika, spiritualitas dan religi.
Sudut pandang-sudut pandang di atas kesemuanya bersepakat menempatkan jiwa sebagai sesuatu yang “mulia” yang menjadikan marwah dan martabat manusia berbeda dengan binatang. Semua konsep di atas bersetuju bahwa jiwa merupakan penggerak hati nurani yang menuntun manusia menuju pada kesadaran mendalam akan keberadaan diri dan tugasnya sebagai manusia. Maka, tak heran WR. Soepratman meletakkan diksi dan frase bangoennlah djiwa, soeboerlah djiwanja, sadarlah hatinya, sadarlah boedinja lebih dulu dibanding frase dan diksi bangunlah badannya. Dan tugas semua manusia, utamanya manusia Indonesia untuk senantiasa membangun jiwa, menyuburkan jiwa sekaligus merawat jiwa.
*) Penulis adalah penyair ,esais dan guru yang tinggal di Ngawi.