Oleh Kak Ian
Si Kancil anak nakal
Suka mencuri timun
Ayo lekas ditangkap
- Iklan -
Jangan diberi ampun
Mungkin dari kita semua, sudah tahu bahkan sangat easy listening di telinga dengan lirik lagu di atas—yang di mana dari turun menurun sudah didengarkan atau ‘dipopularkan’. Entah, itu lewat dari mulut ke mulut orang tua dulu, ayah-ibu maupun para pendidik di masa kanak-kanak bahkan mungkin sudah termindset di pikiran kita. Bukan hanya itu saja di dalam dongeng kita pun diperkenalkan juga pada sosok yang dijadikan lirik lagu tersebut bahkan menjadi tokoh cerita. Di mana sangatlah kontras dari kebenarannya dan sebenarnya apa yang ada dan terjadi.
Apa mungkin seekor binatang yang imut, lincah, gesit dan kecil serta cerdik melakukan hal buruk. Tidak lain digambarkan dengan begitu rupa, tidak sesuai kenyataannya. Dianggap nakal, licik, penuh siasat dan pencuri. Sangat tidak logiskan?
Dongeng si Kancil dalam Kelogisan
Benar juga apa kata Kak Hendri seorang pendongeng Indonesia dan penulis buku, di mana dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Karakter Berbasis Dongeng (Simbiosa Rekatama Media) mengatakan, “Anak-anak sangat menyukai cerita si Kancil dan menjadikannya idola. Apalagi orang tua atau pun para pendidik yang terus menceritakan dongengnya di rumah maupun di sekolah. Kerajingan untuk terus minta diceritakan bukanlah hal yang mustahil. Sayangnya, tidak semua orang sadar pentingnya memilih dan memilah, bahkan merekonstruksi cerita si Kancil sehingga unsur borok yang ada di dalam konten ceritanya masih tetap melekat dan masuk ke dalam jiwa anak-anak. Kalau sudah begini, bagaimana jika nantinya sang anak meniru sikap dan gaya si Kancil karena borok yang ada dalam kisahnya sudah menular bahkan melekat kepada mereka. Fatalnya, anak-anak menjadi suka dan terbiasa untuk melakukan perbuatan seperti yang dilakukan si Kancil.”
Hal itu pun membuat saya merefresh kembali apalagi sebagai penulis sekaligus pengajar khawatir jangan-jangan saya sudah ‘terkontaminasi’ dengan apa yang dikatakan dalam buku tersebut. Entah, itu ke dalam tulisan saya maupun pada peserta didik saya. Hingga saya melakukan hal yang sudah menjadi ‘darahdaging’ bahwa cerita si Kancil itu demikian adanya. Padahal kenyataannya dan kebenarannya jauh dari itu semua dan tidak demikian adanya maupun faktanya. Bila hewan semungil itu demikian perilakunya—dan sekalipun fiksi tetaplah kelogisan harus dipakai pula. Tidak lain digambarkan dengan begitu rupa dianggap nakal, licik dan penuh siasat serta pencuri. Terlalu!
Borok di dalam Dongeng
Mungkin bagi kita yang selama ini tidak mengetahuinya atau yang sudah tahu tapi pura-pura tidak tahu hanya bungkam saja. Padahal kenyataan yang sebenarnya adalah salah dan banyak kekeliruan di sana. Tidak lain terutama adalah dalam ‘me-label-kan’ Kancil adalah hewan nakal, licik dan penuh siasat serta suka mencuri baik dalam lirik lagu maupun dongeng. Ironi sekali.
Sebenarnya apa sih borok di dalam dongeng itu? Seperti apa bentuknya atau macam apa bila ingin diketahui agar tidak salah lagi dalam ‘men-cap-kan’ sesuatu khususnya pada si Kancil. Padahal memang tidak benar, tidak sesuai kenyataan yang ada dan sebenarnya yang terjadi. Tentu kita akan bertanya-tanya demikian, bukan?
Istilah borok dalam dongeng mungkin terdengar agak aneh atau kurang familiar didengungkan. Padahal borok dalam dongeng sendiri sudah mengakar dari dulu sejak kita kanak-kanak hingga sampai sekarang bila ingin mengetahui kenyataannya. Seperti saya sebagai penulis dan pengajar pun baru saya ketahui.
Tidak percaya? Si Kancil-lah bentuk konkrit ‘korban’ dari dongeng Indonesia yang selama ini bila kita mau mengetahuinya!
Maka dari itu sudah saya katakan di atas dan saya ulangi sekali lagi borok dalam dongeng tentunya memang masih aneh atau kurang familiar kita ketahui. Padahal ini hanya istilahnya saja sebagai representasi dari sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa dongeng bisa membuat pemikiran anak menjadi buruk. Lebih frontalnya adalah dongeng bisa membuat pikiran anak menjadi borok. Lho kok bisa?
Mungkin benar apa yang dikatakan David McClelland, peneliti sekaligus psikolog sosial Amerika membeberkannya. Penyebab mundurnya dan ketertinggalannya Spanyol dibandingkan Inggris, dikarenakan banyaknya borok dalam cerita yang berkembang di Spanyol pada waktu itu. Apakah hal ini bisa terjadi pada dongeng-dongeng di negeri ini? Bisa saja!
Lihat saja dongeng si Kancil contoh kecilnya. Tapi walaupun kecil dampaknya begitu dahsyat bila diketahui. Coba perhatikan dongeng-dongeng si Kancil yang sudah ada dari zaman baheula hingga sampai saat ini. Si kancil sebagai sentral dari tokoh utama dalam dongeng divisualkan sebagai tokoh yang dinamis; imut, mungil, lucu, dan kreatif serta cerdik. Tapi…, lha, lha, lha, ini disisipi bila si Kancil dalam cerita sebagai tokoh yang tidak terpuji; tukang bohong, tukang tipu, dan tukang curi serta dianggap tukang kibul. Elemen-elemen inilah yang dimaksud borok dalam dongeng kita khususnya pada dongeng si Kancil. Mengenaskan sekali ya menjadi si Kancil sampai sekarang terus menjadi bahan ‘gibahan’ seluruh negeri ini bila kita mau mengetahuinya khususnya dalam dongeng Indonesia.
Memilih Dongeng yang Baik dan Cerdas untuk Anak
Dalam artikel ilmiah berjudul The Need for Achievement (N-Ach) yang ditulis oleh seorang peneliti dan psikolog sosial David McClelland, bahwa dongeng mempunyai peranan penting untuk kemajuan bangsa untuk 25 tahun ke depan. Berawal dari ketertarikan McClelland, untuk melakukan penelitian di Inggris dan Spanyol mengenai perbedaan perkembangan yang terjadi pada kedua negara itu. Tidak lain membandingkan cerita-cerita atau dongeng-dongeng yang ada ketika itu.
Ternyata di Inggris lebih baik dan maju. Sedangkan Spanyol mengalami kemuduran. Padahal pada abad 17 M keduanya merupakan negara kaya raya. Dengan mengumpulkan buku cerita dan dongeng anak yang berkembang pada masa itu, McClelland menemukan sisi penting dari dongeng. Ia melihat bahwa dongeng yang berkembang di Inggris mengandung banyak virus bernama N-Ach (Need for Achievement). Sedangkan dongeng yang berkembang di Spanyol tidak mengandung virus N-Ach. Tidak sampai di situ, McClelland terus melakukan penelitian dengan mengumpulkan kurang lebih dari 1300 cerita anak di era tahun 1925-1950 dari banyak negara. Kemudian juga meneliti dokumen-dokumen kesusastraan dari zaman Yunani Kuno. Ternyata hasil penelitian menunjukkan bahwa cerita anak yang mengandung nilai kebutuhan akan prestasi pada suatu negeri, selalu diikuti dengan adanya pertumbuhan ekonomi di negeri itu dalam kurun waktu 25 tahun kemudian.
Jadi jelas dari pernyataan di atas, kita semakin yakin bahwa dengan memasyarakatkan kembali dongeng di tanah air secara tidak langsung, sudah berusaha untuk membangun bangsa yang berkarakter; santun, cerdas, kreatif dan demokratif. Dengan begitu menceritakan dongeng-dongeng yang berkualitas adalah jembatan untuk membina generasi bangsa yang lebih baik dan kreatif.
Kalau sudah begitu, ketika semua usai dilakukan oleh McClelland lalu apa tugas kita terlebih bagi orang tua di rumah atau pendidik di sekolah. Ya, masa sih menjadi kaum rebahan atau berpangku tangan melihat anak-anak kita kembali mendapatkan bacaan cerita atau dongeng yang tidak baik dan tidak sehat. Itu sama saja acuh pada pendidikkan anak terutama pendidikan karakter. Itu impossible, bukan!
Maka dari itu sudah saatnya orang tua atau pendidik di sekolah, begitupun mungkin—dengan saya sebagai penulis sekaligus pengajar pula sudah mulai memiliki tugas baru. Tidak lain adalah adalah membersihkan borok yang sudah termindset pada dongeng khususnya cerita anak. Yakni dengan cara melakukan upaya kembali untuk mengeluarkan virus positif pada dongeng agar ‘sehat’ dan bisa baik (lagi) didengar maupun dibaca oleh anak-anak Indonesia. Ibarat kata anak-anak seperti menikmati sebuah kenikmatan dari buku cerita atau pun buku dongeng sambil menyelami kisah-kisah yang ada—dalam buku itu layaknya sebuah vitamin untuk membuat otak mereka sehat dan berkembang baik.
Ya, memberikan virus positif ketika saat memilih dan memilah serta menceritakan buku-buku cerita atau buku-buku dongeng nanti pada anak-anak kita khususnya, agar Indonesia semakin maju dan sehat. Kalau sudah begitu yuk para orang tua dan pendidik di sekolah kita galakkan kembali dongeng pada jalan yang sebenarnya.
Begitupun dengan saya sebagai penulis sekaligus pengajar hal ini juga akan saya perhatikan. Siapa pun kita pasti bisa untuk dongeng Indonesia yang (lebih) sehat![]
Tentang Penulis
Kak Ian, penulis, pengajar dan penikmat sastra. Aktif dan bergiat di Komunitas Pembatas Buku Jakarta. Karya-karyanya berupa cerpen, cerita anak, cerita remaja, opini dan puisi, sudah termaktub di koran nasional dan lokal serta media online lainnya di antaranya; Majalah Zakat Sukses, Majalah Bastera dan Majalah Kelasa Balai Bahasa Lampung, Majalah Anak Adzkia, Majalah Utusan, Majalah Ummi, Koran Tempo, Kompas Nusantara Bertutur, Solopos, Pontianak Pos, Medan Pos, Riau Pos, Tanjungpinang Pos, Bangka Pos, Satelit Pos, Malang Pos, Analisa, Suara Merdeka, Radar Surabaya, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Banyuwangi, Radar Mojokerto, Padang Ekspres, Haluan, Rakyat Sumbar, Singgalang, maarifnujateng.or.id, ayobandung.com, magrib.id, litera.co.id, merawai.com dll. Bukunya yang telah terbit “Kumpulan Cerita Remaja: Malaikat yang Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama” Penerbit Mecca, Desember 2019. “Kumpulan Cerpen: Hikayat Kota Lockdown”, Penerbit Sinar Pena Amala, Agustus 2020. Sedang menyiapkan buku ke enam dan ke tujuh; Kumpulan Cerpen “Jika di Antara Kita Lebih Dulu Dipanggil Tuhan” dan 20 Kumpulan Dongeng Profesi “Juru Masak dan Pisau Kesayangannya.”