Oleh : Depri Ajopan
Aku yang bermimpi tiba-tiba terbangun, dan ngelantur sendiri. Seolah perempuan yang aku kenal setahun lalu itu berada di dekatku. Saskia, aku ada berita gembira untukmu sayang, yang bisa menjawab keraguanku selama ini, ketika niat hati ingin mempersuntingmu. Dalam mimpi yang berturut itu aku berhasil menyeberangi lautan luas, mengajakmu hidup di pulau sejuk. Kau dan aku berbahagia. Aku menafsirkan sendiri mimpi itu, sudah saatnya kau dan aku menikah. Tapi yang membuatku heran, kenapa kau masih saja belum membuka cadarmu untukku, padahal kau sudah jadi istriku dalam mimpi itu. Apa yang ada di balik cadarmu sayang? Ketika kutanya, jawabanmu seperti biasa. Ada saatnya Mas kau melihat wajahku. Saskia, aku mohon dalam pertemuan selanjutnya, copotlah cadarmu itu sebentrar saja, perlihatkan wajahmu, karena aku berhak melihatnya, sebelum melakukan pernikahan. Saskia aku siap melamarmu.
Baru kali ini aku menemukan perempuan aneh, yang tidak mau memperlihatkan wajahnya di depanku. Hari ini, aku siap-siap dan bergegas datang ke rumahnya. Aku mengetuk pintu mengucap salam, tak ada jawaban. Ponselku berbunyi, ada pesan masuk.
Mas, Bapak dan Ibu tidak ada di rumah. Nanti saja datang ya, pas mereka ada, takut terjadi fitnah.
- Iklan -
Aku tak mau pulang, sengaja menunggu, meskipun sampai besok. Menurutku kelakuannya berlebihan. Apa ia merasa kedatangku disengaja untuk mengambil kesempatan meruntuhkan harga dirinya, aku tak kepikiran sampai ke sana. Mungkin ia menganggapku lelaki tak bermoral. Bukankah di depan rumahnya selalu ramai, bahkan pintu rumah itu berhadap-hadapan dengan warung sembako, yang bersebelahan dengan bengkel mobil yang banyak dikunjungi orang-orang. Lagi pula tidak mungkin aku duduk berduaan dengan dia di dalam kamar atau di dapur mengobrol panjang. Pasti aku duduk di ruang tamu yang bisa terlihat jelas dari luar sana. Aku tahu aturan main, dan tidak ada maksud nyeleneh setitikpun. Dan mungkin ia menuduhku yang bukan-bukan. Seburuk itukah aku di matanya, lalau kenapa ia mencintaiku. Apakah setiap perempuan yang lulusan pesantren, yang lancar baca kitab kuning dan memahami fikih dari berbagai mashab punya prinsip yang sama seperti Saskia. Satu jam aku menunggu di luar, baru ayah dan ibunya datang. Dugaanku Bu Lusi dan Pak Warman baru pulang dari pasar.
“Kok Nak Asran duduk di sini, gak langsung masuk ke rumah?” Sapa ibunya yang baru turun dari mobil bersama suaminya membawa barang belanjaan di bungkus dalam plastik hitam.
“Ya, Bu. Saskia tidak membolehkan masuk.”
“Kenapa?”
Inilah kesemptan baik untuk aku mengatakan sesuatu tentang Saskia yang memperlakukan aku seperti ini. Dia pikir aku laki-laki macam apa. “Tadi Saskia bilang Bapak dan Ibu harus ditunggu, baru aku boleh masuk, katanya takut terjadi fitnah. Padahal kalau aku masuk tak mungkin kututup pintu rapat-rapat, pastiku buka lebar-lebar,” aku menunjukkan raut wajah kekesalanku di depan kedua orang tua itu, dan aku sodorkan hapeku ke Bu Lusi, memperlihatkan pesan yang dikirim Saskia lewat WA. Bu Lusi hanya tersenyum melihat kelakuan putrinya padaku, tak memberi respon apa pun. Aku tak tahu pasti, apakah ia membenarkan sikapku yang mengadu, atau malah ia membela putrinya. Ia hanya tersenyum melihatku yang menunggu jawaban, lalau menyuruhku masuk, setelah Saskia membukakan pintu.
“Jadi kapan rencananya kamu melamar aku Mas,” ucap Saskia waktu aku dan dia duduk berduaan di ruang tamu. Ayahnya sudah masuk ke dalam kamar, sementara ibunya sibuk memasak di dapur. Aku mencium aroma yang sedap, dan mendengar suara blender berdenyut-denyut.
“Sama seperti kau menjawabku,” aku heran kelakuannya yang berani bertanya langsung seperti itu, tapi tidak berani membukakan pintu untukku.
“Sama seperti aku menjawabmu, maksud Mas apa sih?” Seakan ia menuntutku. Aku tak pernah melihat gerak bibirnya berucap, kecuali dalam bayangan. “Kau kan selalu bilang padaku, ada saatnya kau memperlihatkan wajahmu untukku. Jadi ada saatnya juga aku melamarmu,” matanya yang lentik menatap ke jendela. Aku tak tahu apakah ia lagi tersenyum atau sedang marah. “Oh, jadi ceritanya Mas mau balas dendam nih,” suaranya begitu lembut yang membuatku bisa memastikan dia tidak sedang marah. “Ya, dong. Disitu jugakan tak pernah memberi jawaban yang pasti,” ucapku membalas lebih tegas lagi. “Oke deh,” jawabnya enteng yang membuat pertemuan ini tidak ada mesranya, malah jadi hambar. “Eh, astaga aku ada yang lupa,” tiba-tiba ia berdiri, dan berlari ke dapur. Aku tahu, ia ingin menyuguhkan minuman untukku. Kelakuannya seperti inilah yang ingin aku krtitsi. Bukankah menghormati tamu itu adalah termasuk bagian dari ibadah, dan salah satu bentuk ia menghormati tamu itu dengan cara melayaninya, misalnya membuat air minum. Dalam hal kecil seperti itu saja ia terpeleset, namun dalam hal yang menururtnya besar ia selalu waspada. Contohnya, ia tidak mau membukakan pintu untukku, dengan alasan tertentu. Aku tak mengerti jalan pikirannya yang menurutku aneh. Apakah ia sudah mengikuti paham-paham yang keliru itu? Entahlah. Ia meletak minuman di atas meja, bersamaan dengan sebungkus roti. “Ada yang ingin kutanyakan padamu Saskia,” wajahku terlihat serius. “Mas ingin tahu apa sebabnya aku belum mau membuka cadarku di depanmu?” Ia langsung memotong pembicaraanku yang belum tuntas.
“Bukan, aku bermimpi tadi malam, dan melihatmu dalam mimpiku.”
“Mimpi apa?” Aku ceritakan tentang mimpiku, dan berkomentar dengannya, juga menafsirkannya.
“Jangan terlalu mempercayai itu Mas, Mas bukan tafsir mimpi.”
“Tapi aku sudah bermimpi tiga kali bertururt-tururt,” ia kaget mendengar penjelasanku.
“Terus kenapa Mas menafsirkan seperti itu?” Aku menggarut-garut kepalaku, bukan karena ingin merubah pikiran. Aku percaya dengan mimpi dan juga dengan tafsirannya yang aku buat sendiri.
“Lahir begitu saja Saskia,”
“Lahir begitu saja bagaimana, Mas?”
“Ya, begitu deh. Mimpi itu datang dari Tuhan,” aku coba menjelaskan lebih detail lagi.
“Maksud Mas, mimpi itu semacam ilham gitu?”
“Ya, Benar.”
“Semoga saja mimpi Mas, berakhir baik, dan tafsirannya juga benar,” ia tak mau memperpanjang masalah ini.
“Amin,” ucapku sambil berdiri pamit untuk pulang. Keeseokan harinya, aku melamarnya. Sudah kuduga, aku diterima dengan mulus.
* *
Akad nikah baru saja selesai di masjid tua itu. Tinggal menunggu besok untuk mengadakan resepsi pernikahan. Para tamu undangan baru saja pulang. Ibu dan ayah Saskia masuk ke dalam kamar, tinggal aku dan Saskia berduaan. Pelan-pelan aku giring ia ke atas ranjang. Sudah saatnya aku melakukan kewajibanku, menyentuhnya sebagai istriku, yang selama ini belum bisa aku lakukan, dan aku pun tidak terlalu buru-buru mencicipinya. Aku membaca doa, setelah itu mencium keningnya, lalu bibirku menjulur ke ubun-ubunnya, dan mengecup kedua perut telapak tangannya bolak-balik. Aku lihat ia tak bereaksi, membuatku ragu. Apakah ia senang dengan kemesraan seperti ini, atau malah ia tidak ridho. Aku lihat, ia tidak bergairah. Aku memegang cadarnya, ingin mencopotnya, lalu mencium pipinya kiri kanan, wajahnya berpaling. Kenapa di malam pertama ini dia sudah melakukan pendurhakaan di atas ranjang. Apakah karena wajahnya jelek.
“Apa sebenarnya yang terjadi dengan wajahmu Saskia?” Ia tak memberi respon. Dan anehnya ia merapatkan tubuhnya ke tubuhku, dan memelukku mesra.
“Maafkan aku, belum bisa melakukan itu. Aku masih trauma.” Aku semakin tak mengerti, apa sebenarnya yang terjadi. Dan ia pun bercerita, masih dalam keadaan wajahnya tertutup cadar. Ia punya seorang abang, namanya Lisdan. Bekerja di salah satu bank swasta. Suatu malam, Lisdan mencederai adiknya sendiri dalam kamar itu. Begitu ketahuan sama ayahnya, ia langsung menghajar anak lelakinya itu, dan menyuruhnya pergi dari rumah. Dasar anak kurangajar, disuruh nikah tidak mau. Bermula dari situ, Saskia malu pada dirinya sendiri, dan tidak ingin menampakkan wajahnya pada siapapun. Aku yang mendengar ceritanya yang menjijikkan itu menahan kecewa. Ternyata istriku tidak perawan lagi, dan aku tahu setelah melakukan pernikahan. Kenapa ia tidak bilang sebelumnya. Aku merasa dipermainkan, dan aku berhak menuntut.
“Kenapa kau diam saja, kau marah. Atau mau berubah pikiran ingin membatalkan pernikahan ini?” Aku masih terdiam, darahku yang mendidih semakin panas kobarannya.
“Kenapa tidak dari dulu kau bilang Saskia?” Ia melepas pelukannya. Mungkin ia mengerti sendiri, kalau ia tidak melepasnya juga, aku yang akan bergerak mengusir tangannya yang menempel di punggungku.
“Aku mencintaimu Mas, sungguh mencintaimu. Setelah ini kalau kau marah, atau setelah ini jika kau ingin menikah lagi silakan, tapi tolong jangan tinggalkan aku,” pernyataan bodoh, ternyata masih ada perempuan goblok seperti dia menyembunyikan rasa kecemburuan sendiri karena terlalu mencintai pasangannya. Mana ada perempuan yang setuju suaminya menikah lagi. Aku yakin ia termasuk perempuan yang setia untukku, tapi belum tentu kesetiaan yang menurutnya utuh itu akan bertahan selamnya, sewaktu-waktu dia bisa berubah. Aku saja yang pernah berpacaran sepuluh tahun dengan seorang perempuan yang siap berkorban apapun, masih saja mungkir akan janjinya, dan akhirnya ia yang cacat meninggalkanku. Dari pengalaman hidupku yang keruh itu aku punya falsafah sendiri, laki-laki dan perempuan ada yang jahat dan ada yang baik dalam bermain cinta. Karena laki-laki dan perempuan sama, ada yang buaya dan ada yang tidak.
“Sekarang ungkapkanlah keluhanmu di depanku, agar kau jangan merasa terpukul lagi. Aku siap mendengarnya. Walaupun kau memintaku uang dengan jumlah yang banyak sebagai denda atas perbuatanku, tidak masalah bagiku.” Kedua tangannya menempel di pipinya. Aku memperhatikan kukunya yang lentik dicoret-coret tinta yang berwarna-warni. Pelan-pelan ia menurunkan cadarnya, meletak di atas kasur. “Inilah wajahku, lihatlah, ciumlah jika kau inginkan karena itu hakmu. Tapi tolong jangan ceraikan aku,” kalimatnya yang terakhir begitu jelas. Pada wajahnya yang lembut, memantul sinar ketakutan. Aku yang terlanjur kecewa menjawab permohonannya, “Kasih aku waktu untuk berpikir,” aku membelaknginya dan aku tertidur.
-Depri Ajopan. Lulusan Pesantren Musthafawiah Purba-Baru Mandailing Natal. Sumatera Utara. Menyelesaikan S-1 Prodi Sastra Indonesia di UNP. Sudah menulis beberapa karya fiksi dan sudah diterbitkan. Cerpennya pernah dimuat di beberapa media cetak dan online. Novel barunya Pengakuan Seorang Novelis. Sekarang penulis aktif di Rumah kereatif Suku Seni Riau mengambil bagian sastra.