*) Oleh: Tjahjono Widarmanto
Merujuk A Teuuw, sastra daerah sebenarnya merupakan salah satu khazanah sastra Indonesia. Sastra daerah dapat dimaknai sebagai teks-teks sastra yang ditulis dengan menggunakan bahasa daerah. Sastra daerah bisa dibedakan menjadi sastra daerah lama dan sastra daerah modern. Sastra daerah lama biasanya disampaikan secara lisan, berbentuk folklore, memiliki bentuk yang tetap dan pada umumnya istana sentris atau mengandung unsur mistis. Adapun sastra daerah modern adalah sastra daerah yang ditulis, bentuknya dinamis, ekspresi kehidupan realitas yang sebenarnya dan memiliki peluang kebaruan.
Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa daerah. Jika kita berasumsi bahwa masing-masing bahasa daerah tersebut memiliki kesusastraan, maka setidaknya kita pun memiliki 700 sastra daerah. Hal ini menunjukkan kenyataan kekayaan budaya yang plural sekaligus cermin dari kebhineka tunggal ika-an yang kaya dengan varian-varian kearifan lokal.
Sejalan dengan perjalanan arus peradaban, sastra daerah berkembang sekaligus menghadapi tantangan-tantangan serius. Di arus global, mau tak mau sastra daerah menghadapi tantangan tarik-menarik atau ketegangan dengan sastra nasional dan sastra asing. Di era global ini terjadi ketegangan yang menarik antara sastra daerah dengan sastra nasional dan sastra asing. Terjadi hubungan yang rumit. Di satu sisi, sastra daerah bisa berkelindan dan berpilin, saling melengkapi dengan sastra nasional maupun sastra asing. Di sisi lain, mau tak mau, sadar tak sadar muncul pula saling dominasi antara sastra daerah, sastra nasional, dan sastra asing.
- Iklan -
Problem lain tak kalah menariknya adalah kenyataan bahwa bahasa daerah sebagai bahan baku sastra daerah semakin ‘menipis’. Bahasa daerah sebagai bahasa ibu hanya dipakai dalam lingkungan privacy atau keluarga, nyaris tak dipakai sebagai alat komunikasi dalam artian luas. Itu pun dalam kenyataannya sekarang, keluarga-keluarga muda lebih menggunakan bahasa Indonesia dalam ranah kesehariannya. Maka, yang terjadi adalah bahasa daerah semakin tampak kuno, terasing, kampungan serta dianggap tak mampu sebagai bahasa transformasi ilmu pengetahuan.
Ekosistem sastra daerah juga masih sangat lemah. Sumber daya sastrawan sastra daereh makin lama makin menipis sehingga berpengaruh pada kuantitas dan kualitas sastra daerah yang muncul. Pembacanya semakin terbatas karena tidak memiliki media ekspresi yang memadai. Penerbitan sastra daerah tergolong langka sehingga secara kuantitas terbitan-terbitan sastra daerah lemah dan tak menyebar.
Secara politis tidak disadari ada pelemahan sastra daerah, yaitu ketika sastra daerah hanya dianggap sebaga bagian dari sastra Indonesia. Dianggap sebagai hanya bagian dari sastra Indonesia itu berarti ada anggapan bahwa sastra daerah hanya subordinasi dari sastra Indonesia. Sastra daerah hanya dianggap sebagai irisan belaka dari sastra Indonesia.
Melihat situasi semacam itu perlu segera dibangun semacam kesadaran intertekstual antara sastra Indonesia dan sastra daerah. Kesadaran intertekstual tersebut akan berkelindan saling mengisi sekaligus menjalin koneksitas. Baik sastra derah maupun sastra Indonesia harus sama-sama saling menjadi sumber penciptaan.
Untuk meraih kesadaran intertekstual dan menjalin koneksitas antara sastra daerah dan sastra Indonesia diperlukan strategi politik sastra yang matang dan terarah. Harus dibangun politik kesusastraan yang setara antara sastra daerah dan sastra Indonesia (bahkan dengan sastra asing). Politik kesusastraan yang dimunculkan akan secara otomatis mengukuhkan kesadaran multikultural. Politik kesusastraan yang digagas haruslah bersifat inklusif.
Sebagai langkah konkrit dari politik kesusastran adalah perlunya penerjemahan besar-besaran karya sastra daerah kedalam bahasa Indonesia atau bahasa asing. Pun sebaliknya karya-karya sastra Indonesia dan sastra asing diterjemahkan ke dalam bahasa daerah. Dengan adanya penerjemahan-penerjemahan silang semacam ini intertekstual dan koneksitas antara sastra daerah, sastra Indonesia dan sastra asing akan terjalin.
Yang lebih utama lagi, politik kesusastraan harus mengevaluasi ulang anggapan bahwa sastra daerah bagian dari sastra Indonesia. Politik kesusasteraan yang sehat harus saling merajut tanpa harus mensubordinasi satu dengan yang lain. Politik kesusastraan harus mampu mengembalikan anggapan bahwa sastra daerah tak sekedar bagian dari sastra Indonesia, tapi roh dari sastra Indonesia itu sendiri!
*) Penulis adalah sastrawan, esais, dan guru yang tinggal di Ngawi. Buku puisinya “Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak” menjadi salah satu penerima anugerah buku puisi terbaik versi HPI di tahun 2016. Buku puisi terbarunya “Kitab Ibu dan Kisah-Kisah Hujan” (2019).