oleh Abdul Wachid B.S.
I.
Karya Sastra merupakan miniatur kehidupan. Saya beranggapan demikian bukan hanya karena saya merupakan akademisi dan praktisi dalam ilmu kesusasteraan, tetapi ungkapan tersebut terlintas di dalam benak saya tersebab sastra mengandung nilai penghayatan atas fenomena-fenomena kehidupan manusia. Karya sastra, dalam hal ini adalah puisi, merupakan representasi pandangan hidup manusia (worldview) yang sedemikian kompleks sehingga apa-apa yang menjadi perenungan dan pengalaman manusia membutuhkan suatu medium agar bisa meruang dan mewaktu bersama zaman yang terus berkembang.
Berangkat dari Komunitas
- Iklan -
Pertanyaan yang senantiasa muncul dalam pikiran saya adalah bagaimanakah agar kehidupan bersastra di Indonesia tetap tumbuh-kembang? Menyuburkan komunitas-komunitas yang bergerak dalam bidang kebudayaan dan kesenian mungkin salah satu jawabannya. Dahulu, pada kurun waktu 1989-1992, di Yogyakarta ada Forum Pengadilan Penyair Yogyakarta. Pada saat itu, terdapat iklim kebersamaan, yaitu ketertekanan secara sosial dan politik akibat represi dari rezim Soeharto sehingga orang-orang ingin berkumpul dan melakukan aktivitas sebagai bentuk “perlawanan” terhadap rezim Soeharto. Ada dorongan massa secara psikologis sehingga orang-orang mampu menyatukan visi dan misinya.
Berangkat dari forum itulah, muncul nama-nama sepert Hamdy Salad, Mathori A Elwa, Otto Sukatno CR, Ulfatin Ch, Ahmad Syubbanuddin Alwy, dan Abidah el-Khaliqiey. Kemudian di situ terdapat juga Suminto A. Sayuti (sekarang menjadi Guru Besar di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta), lalu ada Labibah Yahya (sekarang dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga). Dari situlah muncul semangat kebersamaan, muncul pembelajaran, muncul situasi, serta memunculkan peristiwa-peristiwa berseni dan bersastra, kemudian tumbuhlah passion (kegairahan). Itulah yang menyebabkan Gabungan Apresiasi Sastra (GAS) di Bandung melahirkan orang seperti Nirwan Dewanto, Soni Farid Maulana, Acep Zamzam Noor, Acep Iwan Saidi, dan seterusnya. Dengan demikian, munculnya kantong-kantong kesenian dan kebudayaan menjadi penting dalam proses menjadi (to be) secara personality dari remaja menuju dewasa.
Pada kasus di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu), tempat di mana saya mengajar, muncul gerakan sastra yang cukup gencar karena kegairahan saya dalam berpuisi, meskipun di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) tidak memiliki Fakultas Sastra. Awalnya tidak melalui mata kuliah, tetapi melalui sinergi dengan beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa, seperti Komunitas Jurnalistik dan Komunitas Teater Didik. Dari kedua komunitas tersebut muncullah nama, yang sekarang sudah menjadi tokoh yang cukup berpengaruh seperti Kholid Mawardi, M.Hum. (Dekan Fakultas Tarbiyah UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu), Ecep S.Yasa (Direktur Pemberitaan TV One), dan Dr. Sumiarti, M.Ag. (Dosen UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu).
Pragmatisme Dunia Pendidikan
Sebagai guru, saya cukup prihatin dengan fenomena mahasiswa sekarang, yang sudah masuk dan terjerumus ke dalam budaya pop. Mahasiswa kehilangan identitasnya sebagai agent of change and agent of social control. Sebagai contoh, mahasiswa belajar di Fakultas Sastra dan Bahasa Indonesia, rata-rata bukan menjadi pilihan pertama, bisa jadi itu merupakan pilihan kedua, bahkan mungkin menjadi pilihan ketiga, atau memang diarahkan oleh orang lain untuk masuk ke fakultas tersebut. Artinya, jika sejak awal mahasiswa tidak memiliki keyakinan terhadap fakultas dan minat yang akan ditekuni, maka proses pembelajaran yang akan dilalui menjadi miskin kreativitas. Dalam kondisi semacam itu, hal tersebut menjadi problematika awal.
Problematika yang lain, mahasiswa sekarang sudah memiliki banyak akses bagi mediasi informasi dan hiburannya. Sekarang marak sekali tempat-tempat yang menyediakan fasilitas online game, bahkan anak kecil sudah mampu mengoperasionalkan mesin pencari Google. Fenomena tersebut di satu sisi dapat memudahkan, tetapi di sisi yang lain keinginan untuk tertib dan urut dalam menimba ilmu itu tidak terwujud. Ilmu sebagai nilai menjadi bias, yang muncul adalah orang sekolah menjadi pragmatis, untuk mendapatkan ijazah, tidak terkecuali imbas fenomena tersebut dialami di Fakultas Sastra dan Bahasa Indonesia. Hal tersebut menjadi permasalahan yang rumit. Mengapa demikian? Karena orientasi orang terjun ke dunia sastra adalah melestarikan budaya reading and writing habbit, sedangkan yang applied (terapannya) dia akan menjadi seorang guru. Pertanyaannya, jika menjadi guru tidak memiliki keinginan untuk membaca, lalu apa yang akan terjadi?
Sebagai guru, apabila jika saya langsung menyodori novel pada proses perkuliahan, apalagi novel Siti Nurbaya, pasti mahasiswa saya tidak mau membaca. Maka dari itu, kemudian terpikir mediasi yang bisa menjadikan seseorang “terpaksa” untuk membiasakan diri membaca dan menulis. Dan menulis itu harus berwujud, bukan hanya sekadar curahan hati belaka, menulis harus memiliki bentuk untuk menampung ekspresi pemikirannya. Karena setiap manusia adalah makhluk simbolik, hommo fabulan (pemberi makna), manusia juga hommo ludens (makhluk yang suka bermain), lalu hommo socius (manusia bersosial), maka dari itu saya memilih puisi untuk menjadi medium bagi mahasiswa agar mampu mengenyam pengalaman berbahasa dan meluaskan daya imajinasinya.
Puisi sebagai Medium Pembelajaran Bahasa Indonesia Kreatif
Sebagai upaya untuk melestarikan budaya membaca dan menulis, puisi sedikit banyak mampu merangsang mahasiswa untuk tumbuh menjadi mahasiswa yang kreatif. Kreativitas tersebut muncul karena beberapa faktor: pertama, mahasiswa dituntut untuk mengemukakan pemikiran dan gagasannya; kedua, mahasiswa “diajak” untuk masuk ke dalam pengalaman berbahasa dan peka terhadap fenomena; ketiga, mewujudkan iklim silaturrahmi keilmuan. Di situlah terjadi transformasi pendewasaan mahasiswa. Karena ketiga faktor eksistensial tersebut, akhirnya saya terdorong untuk menjadikan proses kreatif penulisan puisi sebagai bagian dari tugas mata kuliah Bahasa Indonesia. Selain mahasiswa dianjurkan untuk menuliskan pemikirannya ke dalam medium bahasa, puisi yang mereka tuliskan juga harus dibaca oleh orang lain (asessor). Maka dari itu, populerlah di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) istilah “acc puisi”. Budaya keilmuan seperti itu mampu mereduksi tingkat pragmatisme yang terjadi di kalangan mahasiswa. Mereka diharuskan untuk giat melakukan kajian terhadap fenomena-fenomena yang sedang terjadi, lalu mampu memotretnya menjadi sebuah gagasan yang ter-representasi di dalam puisi yang mereka tulis.
Secara pribadi, menulis puisi saya posisikan seperti sebuah keluarga yang mengkursuskan anaknya seni lukis atau seni musik. Pertanyaannya adalah, apakah mereka pasti menjadi musisi atau pakar seni lukis? Tidak juga. Hal itu digunakan untuk mengasah kecerdasan emosional sehingga terbangunlah kecerdasan spiritualnya, tidak melulu persoalan kecerdasan intelektual. Pendidkan Bahasa dan Sastra Indonesia, puisi mampu untuk menjadi bagian dari aksentuasi kecerdasan emosional dan spiritual itu. Wacana ini tentu saja bukan hanya sekadar kata-kata.***
– Penulis adalah penyair, dan menjadi dosen di UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu), Purwokerto.