Oleh: Vito Prasetyo
Tantangan dunia pendidikan kian berat. Bukan hanya sekedar menghasilkan peserta didik yang berkualitas dalam keilmuan, tetapi bagaimana juga output (hasil pendidikan) dapat menguasai revolusi teknologi global.
Tidak hanya segmen pendidikan formal, bahkan hampir semua lapangan pekerjaan mengalami transformasi digital yang akhirnya sangat bergantung dengan kemajuan teknologi. Konsep modernitas telah mengubah pola pikir (mindset) karena terbawa oleh revolusi industri teknologi. Pemikiran manusia sudah tergiring ke arah digital suspect (penalaran secara digital).
Lantas, bagaimana dengan pendidikan yang -mau tidak mau- harus bersinergi dengan tantangan yang dihadapi ini. Tidak hanya tantangan dari perubahan sosial yang mengalami pergeseran nilai, tetapi juga secara sistematik. Dukungan sistem konvensional sudah dianggap tidak sesuai dengan target waktu yang dibutuhkan dalam memenuhi target kurikulum. Transformasi dari konvensional ke arah teknologi digital, telah mengubah konsep modernitas pendidikan.
- Iklan -
Pertanyaannya, apakah kurikulum pendidikan kini, mampu menjawab semua tantangan tersebut? Atau, karena keterbatasan kita, terjebak dalam sebuah retorika yang pragmatis? Harus ada sistem pengurai yang menjadi jalan terbaik dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional, seperti termaktub dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jadi, dalam konteks ini problem pendidikan bukan hanya untuk mencari pemecahan masalah (problem solving), tetapi lebih dari itu menjadi konsep desain yang mampu mengatasi transisi dan transformasi pendidikan secara berkesinambungan. Maka pencapaian indikator (nilai ukur) pendidikan harus memiliki angka yang jelas. Sasarannya tentu adalah peserta didik dan pendidik. Ingat, stigma dalam masyarakat yang mengistilahkan: “ganti menteri, ganti aturan” seakan membaca kebijakan pemerintah itu tidak konsisten. Jelas, dampaknya kepada masyarakat.
Seyogianya, kurikulum bukanlah sebuah kebijakan. Tetapi sebagai perangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Jadi, meskipun kurikulum berganti beberapa kali, tetapi harus tetap mengacu pada undang-undang yang berlaku.
Sebagaimana kita ketahui, saat ini pendidikan menggunakan kurikulum merdeka belajar. Yang tentunya dalam pengaplikasian sistem pendidikan mengalami transisi dan transformasi. Masa dimana dunia pendidikan mulai meninggalkan peran buku cetak. Dengan transformasi, dunia pendidikan juga mulai beralih pada konsep digital. Tetapi sejauh ini, bagaimana tingkat pencapaian kepada output (hasil) pendidikan yang sudah tercapai sesuai dengan sasaran dan tujuan pendidikan nasional, seyogianya harus ada data rinci dan faktual dalam pencapaian kurikulum merdeka.
Tulisan ini tentu bukan sebagai antitesis bagi kurikulum merdeka. Bagaimana sudut pandang kita dalam membaca substansi tantangan yang harus dihadapi oleh sistem pendidikan, dalam hal ini kurikulum. Output pendidikan kini (3 tahun terakhir) tentu dikatakan sebagai produk kurikulum merdeka yang sedang digunakan dalam pendidikan. Maka hasil pendidikan harus bisa menunjukkan hasil yang dicapai. Termasuk, bagaimana perilaku peserta didik serhari-hari dalam berinteraksi sosial.
Membaca terminologi pendidikan, kita tidak akan bisa lepas dari prinsip-prinsip dasar edukasi. Dalam pemaknaan sekolah, kata ini menjadi bagian frasa yang sangat identik dengan perubahan positif yang dialami oleh peserta didik dalam melewati fase pendidikan. Sekolah bukan hanya sebagai pemaknaan tempat untuk belajar, tetapi lebih dari itu. Sebagai tempat penyerapan disiplin ilmu, termasuk juga sebagai tempat pembentukan akhlak siswa (peserta didik).
Sedikit merujuk pada konsep filsuf muslim, seorang yang dikatakan alim adalah gambaran seseorang yang memiliki keilmuan agama sekaligus juga memiliki akhlak yang baik. Lantas, apakah semua lembaga pendidikan memiliki orientasi seperti ini? Menciptakan atau menghasilkan siswa yang berpengetahuan (disiplin ilmu), sekaligus memiliki etika budaya yang baik.
Kini, tantangan zaman tidak hanya pada persoalan membantu anak menjadi lebih cerdas, tetapi juga menghadapi revolusi sosial akibat perubahan lingkungan yang begitu drastis. Pemetaan ini akibat perubahan secara simultan dan dengan tumbuhnya pengetahuan teknologi, terutama berbasis digital yang begitu cepat. Konsep modernitas sering meninggalkan aspek budaya yang dianggap sebagai peninggalan catatan masa silam.
Kembali kepada persoalan kurikulum pendidikan, ini yang sering menjadi polemik di kalangan masyarakat. Bahwa konsep kreativitas dan lokalitas, tentunya akan memunculkan perspektif yang berbeda. Konsep kurikulum merdeka sering dianggap sebagai formulasi ekstrem yang membuat peserta didik hanya berkonsentrasi pada nilai-nilai keilmuan dan pengembangan kreativitas, tetapi tidak berbanding lurus dengan pemahaman kultural bangsa secara implisit.
Munculnya stigma baru, akibat polarisasi kekuatan pemikiran khususnya di kalangan generasi muda, yang membenturkan paham ideologi dengan Al-Qur’an seolah sebuah pengetahuan baru yang menjadi dinamika perubahan sosial dalam menghadapi tantangan zaman. Pertanyaannya, apakah ini sebuah kontradiksi pemahaman khilafah yang mencari dalil kebenaran? Atau karena kegagalan kita dalam mendefinisikan opini media sosial dalam membaca sejarah masa lalu.
Pada sistem pendidikan kini, kurikulum yang digunakan adalah kurikulum merdeka belajar, dimana kurikulum yang meletakkan konsep yang bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk mengatur dan mengembangkan cara belajar mereka sendiri secara mandiri. Jika penalaran tekstual ini salah interpretasi, maka akan memunculkan perspektif yang beraneka ragam. Dampak yang dirasakan kini adalah munculnya pemikiran-pemikiran baru, yang bisa menjadi parsial (bagian dari keseluruhan) dalam proses edukasi sosial.
Seyogianya, kurikulum menjadi sebuah elementer dalam proses belajar-mengajar. Yang tentunya memiliki indikator (alat ukur) jelas. Perlu diingat, sistem pembelajaran saat ini sangat riskan bersentuhan dengan pengembangan teknologi informasi yang sifatnya digital. Maka harus ada batasan secara normatif tentang pengertian kebebasan kepada peserta didik dalam mengembangkan cara belajarnya.
Jika mengacu pada sistem pendidikan nasional, maka kurikulum merdeka belajar harus sejalan dengan peranti legal formal yang berlaku dan merujuk pada Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Maka, harus ada standar baku secara nasional yang tidak semata-mata hanya bergantung kepada kearifan lokal. Bagaimanapun juga, pemetaan kurikulum tidak hanya memberikan kebebasan kepada peserta didik dan/atau lembaga pendidikan dalam menjawab tantangan pendidikan di daerah masing-masing. Tantangan zaman berupa tantangan pendidikan era modern, memang harus bisa dikendalikan oleh lembaga pendidikan yang tidak hanya berorientasi kepada keilmuan, tetapi juga menjaga norma-norma nilai kehidupan sosial (termasuk budaya).
Dalam catatan tentang konsep pembelajaran kurikulum merdeka belajar, dilandasi oleh 4 (empat) prinsip, yakni: pembelajaran yang berpusat pada peserta didik; pembelajaran yang berbasis kompetensi; pembelajaran yang kontekstual dan relevan; serta pembelajaran yang holistik dan integratif. Yang mana dalam implementasinya, konsep merdeka belajar dalam pendidikan nasional berfokus pada materi yang esensial dan fleksibel sesuai dengan minat, bakat dan kebutuhan masing-masing karakteristik siswa.
Sementara, dalam kacamata penulis, konsep desain pendidikan nasional yang menggunakan kurikulum merdeka belajar ini berorientasi jangka panjang. Sehingga, jika kita menggambarkan dalam sebuah indikator grafik, belum memperlihatkan hasil yang sesuai dengan konsep kurikulum tersebut. Alasannya, karena dalam 2 (dua) tahun terakhir ini, kita masih berusaha melepaskan diri dari keterpurukan sosial dan ekonomi (akibat pandemi), dan seharusnya konsep kurikulum melalui transisi, transformasi serta edukasi yang mudah diserap oleh pelaku pendidikan (baik siswa maupun tenaga pendidik).
Yang kedua, seharusnya sistem administrasi pendidikan dapat digunakan untuk akses yang lebih luas, meski kita tidak menampik keterlibatan teknologi digital sangat membantu dalam pencapaian efisiensi dan efektivitas. Hanya saja, penggunaan istilah yang berbasis program pendidikan masih banyak yang tumpang tindih. Meski kini kita dihadapkan dengan berkembangnya literasi digital yang begitu drastis cepat, tetapi kita juga harus berhitung dengan jangkauan pendidikan secara nasional, yang masih terbebani dengan keterbelakangan seperti di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar).
Dengan masih banyaknya problem tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan, maka kita sangat membutuhkan nalar kritis untuk penguatan sistem pendidikan nasional. Sebagaimana disampaikan di atas, bahwa kurikulum hanyalah sebuah perangkat rencana yang seharusnya memiliki orientasi dan visioner kepada generasi bangsa. Tantangan kian tahun tentunya jauh lebih berat. Jika siswa dibangun dengan pemahaman moral yang baik, maka otomatis nilai-nilai sosial akan stabil dan tidak hanya bergantung kepada baik-buruknya kurikulum.
Permasalahan yang muncul di masyarakat, seharusnya menjadi cerminan untuk melakukan perbaikan-perbaikan terhadap konsep yang digunakan dalam kurikulum merdeka belajar. Artinya, persoalan debat kusir di masyarakat diambil sisi positifnya untuk dijadikan kajian dalam perbaikan-perbaikan tersebut. Pemerintah sebagai pemangku kepentingan dalam membangun kerangka bangsa, tidak boleh antikritik, serta masyarakat harus terdidik dengan sub-sub budaya lokal yang juga harus berperan dalam penyempurnaan kurikulum merdeka belajar.
Kita tentunya sangat prihatin, dengan revolusi sosial di era digital masa kini, banyak unsur budaya dan tradisi lokal yang tergeser dan bahkan nyaris punah. Maka dunia pendidikan juga harus memberi ruang untuk mempertahankan ekosistem tersebut. Dampak ini sebagai tantangan yang tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Pemikiran kritis tidaklah cukup, tanpa ditunjang oleh kemauan dan praktik nyata. Kemajuan teknologi informasi berbasis digital, juga memberikan dampak terburuk bagi generasi muda. Banyak generasi muda kini, yang notabene sebagai calon penerus bangsa, telah gagal dalam membaca sejarah bangsa.
Maka sangat penting momentum untuk terus memperbaiki diri, dan berpikir bijak untuk kepentingan bangsa secara utuh. Pemikiran kritis harus dianggap sebagai upaya dalam memperkuat kurikulum pendidikan. Bangsa akan kuat, jika generasi bangsa sehat, cerdas dan memiliki jiwa nasionalisme besar. *****
*) penulis adalah sastrawan dan peminat pendidikan