Oleh Gifari Juniatama
Sebagai tokoh multidemensi, Gus Dur seolah menjadi kitab yang tidak pernah habis untuk dibaca. Sosoknya sebagai cendekiawan serba bisa membuat pandangan-pandangannya dapat ditarik ke berbagai macam bidang untuk ditelaah dan diteladani. Sikapnya yang terbuka dan keberaniannya menghadapi hal-hal baru mungkin menjadi aspek yang turut memperkaya paket kemampuannya yang sulit ditandingi.
Salah satu sisi hidup Gus Dur yang perlu dilihat secara lebih banyak adalah kegemarannya menonton film. Bukan sekadar penonton musiman yang hanya menonton film populer saja, Gus Dur adalah seorang penonton yang tekun dengan kemampuan reflektif yang mumpuni. Beberapa posisi yang pernah ia tempati seperti Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) atau juri pada gelaran Festival Film Citra tahun 1984 dan 1985 mungkin bisa menjadi bukti bahwa Gus Dur adalah seorang peminat film dan kesenian yang serius.
Dalam biografi Gus Dur yang ditulis oleh Greg Barton, kegemaran Gus Dur menonton film dikisahkan sudah tumbuh sejak ia masih kecil ketika tinggal di Jakarta. Bahkan, karena hobinya itu Gus Dur pernah sampai gagal ujian di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP).
- Iklan -
Kegemaran Gus Dur menonton film ini sepertinya tidak muncul begitu saja. Ada pengaruh kehidupan urban yang membuat budaya layar masuk dalam kehidupan Gus Dur. Lahir di Jombang di lingkungan pesantren, Gus Dur sudah bersentuhan dengan budaya perkotaan saat ia masih kecil saat pindah ke Jakarta. Pada usia empat tahun ia diajak oleh ayahnya, KH Wahid Hasyim untuk menjalankan tugas di ibu kota. Meskipun sempat kembali ke Jombang, masa kecil Gus Dur cukup banyak dihabiskan di Jakarta.
Ayah Gus Dur juga memberi ruang baginya untuk mengeksplorasi berbagai jenis produk budaya. Karena selain menonton film, Gus Dur di masa kecil juga sudah akrab dengan musik-musik klasik. Melalui gramofon milik seorang warga Jerman yang tinggal di Jakarta, ia sering mendengarkan musik setelah selesai sekolah. Salah satu komponis yang menjadi favoritnya kala itu adalah Beethoven.
Ketika Gus Dur pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikannya, kegemaran menonton film tidak pernah padam. Bahkan menjadi semakin serius. Yogyakarta sendiri saat itu menjadi tempat yang ideal baginya karena merupakan kota revolusi. Tempat Indonesia berpusat selama masa genting mempertahankan kemerdekaan. Kota itu menyediakan segala kesenangan yang dibutuhkannya berupa tontonan film bermutu dan toko-toko buku yang menyediakan beragam bacaan yang bisa memenuhi dahaganya pada ilmu pengetahuan.
Di kota inilah, Gus Dur lebih dekat memahami pemikiran filsuf semacam Plato dan Aristoteles. Gus Dur juga bersentuhan dengan tumpukan buku sosialis mulai dari Das Kapital karya Karl Marx, What is To be Done karya Lenin, sampai buku Little Red Book karya Mao Tse Tung. Tidak ketinggalan, karya sastra dunia juga masuk dalam daftar menu favorit bacaan Gus Dur selama tinggal di Yogyakarta. Bahkan, ada sebuah cerita dari Mohamad Sobary yang mengisahkan bahwa ketika teman-temannya di Pesantren Krapyak sibuk menghafal hadits, Gus Dur justru malah membaca buku The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway.
Film dan buku yang terus dikonsumsi oleh Gus Dur perlahan membentuk karakter pemikirannya yang terbuka dan memiliki kepedulian tinggi pada kemanusiaan. Menurut Greg Barton, hobi menonton film yang dimiliki oleh Gus Dur disebabkan oleh kecenderungannya untuk memahami kemanusiaan. Beragam genre film yang dilahap olehnya bukan semata karena untuk bersenang-senang, melainkan untuk mempelajari bagaimana cara agar mempunyai sifat manusiawi.
Tidak mudah untuk mengetahui secara pasti berapa banyak film yang sudah ditonton oleh Gus Dur. Dalam biografi yang ditulis oleh Greg Barton, penulis Australia ini tidak pernah menyebutkan jumlah film yang pernah disaksikan oleh Gus Dur. Namun sepertinya khazanah pengetahuan film yang dimilikinya sangat luas. Hal itu terlihat dari esai-esai karyanya yang menyebutkan puluhan judul film dari berbagai negara.
Dengan perbendaharaan pengetahuan tersebut, tidak aneh jika Gus Dur memiliki kejelian dalam mengamati watak manusia. Kompleksitas cerita dan tokoh-tokoh yang memiliki beragam kepribadian dalam film, nampaknya mampu memberikan inspirasi bagi Gus Dur. Bukan hanya dalam gagasan namun juga dalam perbuatan.
Menonton Film di Belahan Dunia Lain
Pada bulan November 1963, Gus Dur berangkat ke Mesir untuk melanjutkan studinya dengan beasiswa dari Deapartemen Agama. Kota Kairo mejadi tempat tinggalnya karena ia berkuliah di Universitas Al-Azhar. Menurut penuturan Greg Barton, pada awalnya ia sangat bersemangat untuk memulai perjalanan intelektual barunya. Namun, antusiasmenya meredup karena mendapati Al-Azhar sudah tidak lagi berada pada puncak masa kejayaannya.
Gus Dur lebih banyak mengembangkan pengetahuannya di perpustakaan, bioskop, dan kedai kopi ketimbang di dalam kelas. Kota Kairo telah menjadi kampus yang lebih besar dari Al-Azhar. Ruang publik kota itu yang hidup dan bergairah, membuat Gus Dur seolah hidup dalam sebuah laboratorium sosial besar yang darinya ia dapat mengamati dari dekat dinamika masyarakat Mesir di era Nasser.
Setelah bekerja di Kedutaan Besar Indonesia, kebiasaan menonton film tetap tidak bisa lepas dari rutinitas Gus Dur. Gaji yang diterimanya dari pekerjaan itu membuatnya lebih leluasa dari segi keuangan untuk menonton film atau membeli buku.
Ketika kemudian pindah ke Baghdad, hobi lamanya itu tetap dipertahankan. Meskipun kegiatannya di Irak lebih padat karena perlu kuliah sambil bekerja di perusahaan impor tekstil, Gus Dur selalu punya waktu untuk menonoton film. Termasuk film-film Prancis kesukaannya yang sudah pernah ditonton saat masih tinggal di Kairo.
Kesempatan Gus Dur untuk belajar di luar negeri itu nampak memberikan pengalaman yang lebih kaya bagi wawasan kebudayaannya. Interaksi dengan orang-orang dari negara lain dengan beragam identitas yang tidak ditemui di tanah air menjadi hal yang melengkapi kegemaran Gus Dur mengamati sifat-sifat manusia dari film. Ia menjadi lebih mudah memahami kompleksitas karakter manusia karena berhadapan langsung dengan berbagai macam karakter manusia yang ia temui.
Melihat Film Sebagai Kitab Kemanusiaan
Dalam pandangannya, Gus Dur memiliki standar ketika menilai kualitas sebuah film. Baginya, film dapat dikatakan bagus atau buruk bergantung pada nilai-nilai yang tersampaikan dalam cerita. Menurut Gus Dur, sebuah film bisa digolongkan sebagai film bagus jika memiliki universalitas gagasan yang tidak terbatas pada konteks tertentu.
Sebagai contoh, Gus Dur memberi kritik pada film-film dakwah di Indonesia yang memiliki kecenderungan untuk menampilkan agama Islam secara formalistik. Film dakwah dinilai sibuk melakukan justifikasi pada kebenaran formal agama tanpa menyentuh estetika yang substantif dan esensial. Simbol-simbol agama ditampilkan dengan sangat mencolok. Hal tersebut justru dapat mengaburkan makna nilai yang seharusnya tersampaikan.
Kritik serupa juga diberikan Gus Dur saat menilai sebuah naskah teater. Naskah drama gubahan Mohamad Yamin atau Sanusi Pane misalnya, oleh Gus Dur dinilai hanya memuat pemujaan pada kejayaan masa lampau sehingga tidak dapat menangkap renungan atas watak manusia. Seni pertunjukan baginya harus bebas dari glorifikasi berlebihan karena pada dasarnya merupakan hasil dari pengamatan atas kehidupan masyarakat.
Gagasan universal dan kosmopolit semacam inilah yang dihadirkan Gus Dur dari pengalamannya menonton banyak film. Hal yang tentunya bisa untuk ditiru oleh generasi yang lebih muda. Perkembangan budaya dan semakin bertumbuhnya film-film bagus sudah seharusnya dimanfaatkan untuk mengasah ketajaman batin saat merespon isu kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana telah dicontohkan oleh Gus Dur dalam masa hidupnya. (*)
-Gifari Juniatama adalah penulis lepas dan peneliti independen. Meminati kajian sosial, agama, dan budaya. Saat ini tinggal di Tangerang.